Carolina Rieuwpassa, Pelari Putri Pertama Indonesia di Olimpiade, Berpulang
Pelari putri pertama Indonesia yang tampil di Olimpiade, Carolina Rieuwpassa, wafat dalam usia 74 tahun di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis. Dia adalah teladan pelari muda agar tidak segan mengejar prestasi tertinggi.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH, RENY SRI AYU ARMAN
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia atletik Indonesia berduka. Pelari putri pertama Indonesia yang tampil di Olimpiade, Carolina Rieuwpassa, wafat di RS Stella Maris, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (16/3/2023) pagi. Semasa aktif, Carolina yang wafat dalam usia 74 tahun ini dikenal sebagai pribadi yang bermotivasi tinggi, tekun, disiplin, dan rendah hati. Dia patut menjadi teladan bagi para pelari nasional saat ini, lebih-lebih pelari putri, agar tidak segan mengejar prestasi setinggi langit.
”Kak Nina (sapaan akrab Carolina) adalah pelari pertama Indonesia yang tampil di Olimpiade (tepatnya di Muenchen, Jerman, 1972 dan Montreal, Kanada, 1976). Selain itu, dia bisa dibilang sebagai peletak fondasi pelatihan atletik modern Indonesia. Sebab, dia sempat berlatih di Jerman dan membawa ilmu baru ke Indonesia yang sebagian besar masih diterapkan hingga sekarang, termasuk saya sendiri dalam melatih,” ujar Emma Tahapary, yunior sekaligus rekan Nina di pelatnas atletik era 1970-1980-an saat dihubungi dari Jakarta, Kamis.
Emma yang satu kamar dengan Carolina selama di pelatnas mengatakan, Carolina bisa dibilang pula sebagai ratu atletik pertama di Indonesia. Dahulu, dia adalah penguasa rekor nasional (rekornas) lari 100 meter, 200 meter, dan 400 meter. Prestasinya tidak hanya di level nasional, tetapi juga internasional. Merujuk sejumlah informasi, Carolina setidaknya meraih perunggu 100 meter dengan waktu 12,4 detik dan 200 meter dengan 25,4 detik pada Asian Games Bangkok, Thailand, 1970.
Carolina pun pernah merebut emas 100 meter dengan 12,22 detik dan perak 200 meter dengan 25,41 detik pada SEA Games Kuala Lumpur, Malaysia, 1977. Maka itu, Carolina berkesempatan mewakili Indonesia di Olimpiade 1972 dan Olimpiade 1976.
Sayangnya, Carolina yang tampil pada nomor 100 meter dan 200 meter di kedua Olimpiade itu belum bisa lolos dari babak penyisihan ke semifinal. ”Semua prestasi itu diperoleh Kak Nina karena dia punya semangat luar biasa, tekun, dan disiplin dalam menjaga diri ketika latihan maupun di luar latihan,” terang Emma yang lahir di Jakarta, 7 April 1961, tersebut.
Rendah hati
Kendati lebih berpengalaman dan berprestasi, lanjut Emma, Carolina tetap rendah hati. Bahkan, Carolina yang lahir di Makassar, 7 Februari 1949, itu tidak segan berbagi ilmu baru yang didapatnya dari latihan dan ikut kejuaraan di luar negeri. Berkat itu pula, Emma akhirnya bisa memecahkan rekornas lari 400 meter milik Carolina menjadi 54,2 detik pada kejuaraan di Manila, Filipina, 1 Desember 1984. Rekor itu bertahan selama 37 tahun sebelum dipecahkan pelari putri Sumatera Selatan, Sri Mayasari, dengan 53,22 detik pada Pekan Olahraga Nasional Papua, 12 Oktober 2021.
Selepas menjadi atlet, Carolina sempat mengabdi sebagai pelatih di pelatnas dan ikut membentuk pelari Mardi Lestari. Mardi adalah sprinter kedua Indonesia yang menembus semifinal 100 meter Olimpiade di Seoul, Korea Selatan, 1988 setelah Purnomo pada Olimpiade Los Angeles, Amerika Serikat, 1984.
Pada akhirnya, Carolina ikut membangun sekolah atletik Menteng Raya 72 yang dimiliki oleh mantan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) Bob Hasan. Sekolah atletik itu terus eksis hingga kini dan banyak melahirkan atlet-atlet muda yang menembus prestasi nasional ataupun internasional.
”Kak Nina adalah sosok yang sangat rendah hati dan tidak pelit berbagi ilmu. Salah satu ilmu yang sangat visioner yakni mengenai teknik start block yang menjadi kunci penting dalam lari jarak pendek. Dia mau mengoreksi langsung teknik start block rekan-rekannya, termasuk saya yang masih yunior dan bisa dibilang saingan dia di nomor yang sama,” ungkap Emma yang masih aktif sebagai pelatih pelatda DKI Jakarta.
Terbawa hingga pensiun
Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung menuturkan, dirinya mengenal Carolina saat pertama kali bergabung dengan PB PASI sekitar 1986. Waktu itu, Carolina pernah menjadi pelatih dan akhirnya menjadi staf Sekretariat PB PASI hingga 2008-an. Secara umum, menurut Tigor, etos kerja Carolina yang disiplin dan rendah hati itu terbawa hingga dirinya pensiun sebagai atlet.
Namun, karena sikap apa adanya yang tidak berubah itu, Carolina sangat disukai oleh para atlet dan pelatih. Bahkan, walau tidak lagi menjadi pelatih, Carolina sering dikunjungi atlet dan pelatih selepas latihan untuk dimintai saran ataupun masukan.
Mungkin karena lama berlatih di Jerman yang dikenal sangat disiplin, itu membentuk Carolina sebagai pribadi yang konsisten dalam kedisiplinan. Sikap itu perlu dicontoh oleh para atlet saat ini, khususnya para pelari putri.
”Mungkin karena lama berlatih di Jerman yang dikenal sangat disiplin, itu membentuk Carolina sebagai pribadi yang konsisten dalam kedisiplinan. Sikap itu perlu dicontoh oleh para atlet saat ini, khususnya para pelari putri. Carolina telah membuktikan bahwa pelari putri Indonesia sejak lama hebat dan mampu bersaing di level internasional kalau punya kemauan kuat dan disiplin di dalam maupun luar lintasan,” kata Tigor.
Sprinter putri Indonesia era 2009-2013, Nurul Imaniar, mengenang masa-masa awal masuk pelatnas pada 2008. Ketika itu, Imaniar yang baru lulus SMP masuk asrama di bawah kantor PB PASI di Stadion Madya Senayan, Jakarta. Setiap hari, mereka harus bangun pagi pukul 04.15 untuk ibadah dan latihan sebelum berangkat sekolah di SMA Ragunan pukul 06.00.
Meskipun tidak lagi menjadi pelatih, Carolina selalu datang ke kantor setiap pagi saat para atlet masih berlatih. Carolina ikut menyemangati para atlet muda yang tidak dimungkiri mengeluh dengan jadwal latihan pagi buta dan mesti tetap sekolah. ”Ibu Carolina sering meneriaki kami, ’Ayo semangat. Ga boleh manja kalau kalian mau maju’,” tutur Nurul mengenang ucapan Carolina kala itu.
Ingin yang terbaik
Kendati sering meneriaki dengan gaya khas Indonesia timur, Carolina bukan berarti sosok yang keras. Dia cuma ingin para yuniornya bisa menjadi lebih baik dibandingkan dirinya. ”Kalau latihan, Ibu Carolina sering mengamati kami. Nanti, sesekali, dia mendekati kami dan memberikan masukan mengenai teknik berlari dengan cara yang tidak menggurui,” ujar Nurul yang mundur sebagai atlet karena cedera lutut jelang SEA Games Naypyidaw, Myanmar, 2013.
Hebatnya, tambah Nurul, Carolina nyaris tidak pernah menyombongkan prestasinya di masa lalu kepada para yunior. Bahkan, Nurul baru belakangan ini tahu ternyata Carolina adalah olimpian pertama Indonesia dari cabang atletik. Boleh jadi, karena kerendahan hati itu, Carolina bisa menjadi atlet elite di eranya.
”Coba kita bayangkan, di masa itu, sport science belum terlalu dikenal di Indonesia. Di era saya juga rasanya belum ada penerapan sport science. Tetapi, Ibu Carolina bisa menembus prestasi internasional. Di samping karena disiplin, itu tidak lain karena sikapnya yang rendah hati yang membuatnya tetap konsisten menjaga diri walau sudah berprestasi. Kalau atlet sekarang, meski sudah menjadi atlet nasional dan berprestasi, sering kali tetap butuh orang lain untuk mengingatkan soal kedisiplinan di dalam dan luar latihan,” pungkas Nurul.
Meninggal dalam sunyi
Ellong Tjandra, mantan Ketua KONI Sulawesi Selatan dan orang yang sangat dekat dengan Carolina, mengatakan, mantan atlet ini meninggal setelah sebulan dirawat di rumah sakit.
”Sebenarnya dia punya saudara kembar, pelari estafet, tapi saat ini juga dalam kondisi sakit. Saya sungguh sangat kehilangan. Sampai akhir hidupnya dia masih sering berdiskusi mengenai olahraga. Dia masih memberi perhatian pada atlet-atlet muda,” kata Ellong.
Menurut Ellong, Carolina sudah beberapa tahun lalu divonis kanker. Namun, selama ini Carolina berusaha menyembunyikan penyakitnya. Saat bertemu Ellong, dia berusaha tampak kuat. Namun, pada stadium akhir, Caroline menyerah. Dia dirawat selama sebulan hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir pada Kamis pagi.
Ellong mengenang Carolina sebagai orang yang sangat tekun. Saat muda dulu, Ellong yang karateka sering menghabiskan waktu berolahraga pagi dengan Carolina.
”Saya selalu tertinggal saat lari berdua dengan dia. Biasanya kalau kami sudah berkeliling lari, dia akan meminta saya memegang alat penghitung waktu dan dia berlatih untuk menghitung waktu larinya. Mau ada pertandingan atau tidak, dia terus berlatih,” katanya.
Prestasi Carolina dimulai saat dia sering mewakili Sulsel dalam ajang lomba lari 100-200 meter. Ketekunan berlatih dan prestasi Carolina membawanya menjadi perempuan pelari pertama yang menembus Olimpiade di Muenchen, Jerman, pada 1972. Seusai di Jerman, Carolina kembali menjajal ajang lari serupa di Kanada. Di kedua lomba, dia masuk perempat final. Beberapa ajang olahraga lain baik di dalam maupun luar negeri rutin diikutinya.
Saat aktif menjadi atlet, Carolina sempat tinggal di Jakarta dan bekerja pada perusahaan milik pengusaha Bob Hasan. Saat itu, Bob Hasan banyak menyokong Carolina dalam berlatih hingga berprestasi. Setelah mulai tak aktif, dia kembali ke Makassar. Di kota kelahirannya ini, dia melatih atlet.
Ellong mengatakan, Carolina sangat memperhatikan perkembangan dunia olahraga, terutama atletik. Sering kali dia mengeluh jika mendapati atlet-atlet yang menurut dia kurang mau mengembangkan diri.
”Dia bilang, kami dulu berlatih tanpa disuruh. Sekarang harus disuruh, bahkan harus diiming-imingi dengan sesuatu. Nina menjadi teman diskusi soal olahraga saat saya menjadi ketua KONI,” katanya.
Ellong menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah kepada mantan atlet ini. Di akhir hidupnya, dia tinggal bersama saudara kembarnya dalam kesederhanaan.