Masa Muda untuk Membanggakan Bangsa
Tak ada kata "nanti" bagi petembak muda Rihadatul Asyifa, Arista Perdana Putri Darmoyo, dan Alif Satria Bahari. Pada usia yang masih belia, mereka rela jauh dari keluarga demi menjadi atlet kebanggaan bangsa.
Tatapan mata Rihadatul Asyifa (14) lurus ke arah papan target dengan titik hitam di tengahnya. Teriakan penonton beserta bunyi permainan angklung tak memecah fokusnya. Tangan kanan petembak muda Air Pistol ini lurus ke depan untuk menembak, sementara tangan lainnya masuk ke dalam saku celana. Senyumnya merekah kala diumukan sebagai pemenang kedua dalam nomor Air Pistol Putri 10 meter, pada ajang Piala Asia Menembak Rifle/Pistol 2023 di Lapangan Tembak, Senayan, Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Sebagai peserta termuda pada kejuaraan tingkat Asia tersebut, Asyifa mengumpulkan tiga medali pada tiga nomor disiplin Air Pistol. Selain mendapat perak, Asyifa bersama Lily Sulistyadewi Tirthajaya dan Arista Perdana Putri Darmoyo menyumbang emas dalam nomor Air Pistol tim putri 10 meter. Asyifa juga berpasangan dengan Alif Satria Bahari dalam nomor Air Pistol tim campuran 10 meter dan membawa pulang medali perunggu.
Meski masih berusia belia, prestasi Asyifa boleh diadu. Hingga kini, atlet 14 tahun tersebut mengoleksi lebih dari 20 medali beragam kejuaraan, yakni 16 medali nasional, dan 6 medali internasional.
Dalam rutinitasnya sebagai petembak, Asyifa setiap hari bangun pada pukul 05.45 pagi. Ia memulai aktivitas dengan berolahraga ringan atau meregangkan otot. Setelah itu, ia melakukan senam dan sarapan bersama atlet lain.
Asyifa memulai latihan menembak pada pukul 09.00 pagi. Latihan ini memiliki dua sesi. Sesi pertama dari pukul 09.00 hingga 12.00. Kemudian, sesi kedua dari pukul 13.00 hingga 17.00 di hari Senin hingga Jumat. Saat malam, para atlet juga melakukan latihan mandiri. Jika menuju perlombaan, mereka mendapatkan tambahan jam latihan pada hari Sabtu dan Minggu.
Baca juga: Persembahan Medali Perunggu dari Dua Petembak Pistol Muda
Adapun setiap hari Selasa dan Kamis, para atlet melakukan rutinitas jalan pagi. Mereka jalan kaki dari lapangan Tembak Senayan menuju sekitar Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat.
Berada di keluarga petembak membuat Asyifa dan ketiga saudaranya turut terjun dalam dunia menembak. Ayah Asyifa merupakan seorang petembak dan juga Polisi. Tanpa paksaan, ia memilih jalan hidup menjadi seperti Ayahnya.
Meskipun sudah terbiasa mengikuti perlombaan, Asyifa mengaku masih harus berlatih untuk mengontrol pikiran agar tidak terlalu memikirkan hasil tembakan. Hal inilah yang kadang mengganggunya selama bersiap membidik. Tidak hanya itu, tugas sekolah yang menumpuk juga sering membuyarkan fokusnya dalam membidik sasaran.
"Selain mengontrol pikiran, saya juga harus bisa mengontrol emosi. Biasanya, sebelum memasuki jalur perlombaan, saya mengontrol emosi dulu untuk menenangkan diri. Kuncinya, harus percaya diri dan fokus dengan teknik yang sudah diajarkan,” tutur atlet yang baru bergabung di Perbakin tahun lalu itu.
Selain sebagai ajang adu kemampuan, bagi Asyifa, perlombaan menjadi momen belajar untuk meningkatkan prestasi. Ia pun memiliki target menjadi atlet terbaik. Untuk itu, ia mengatakan akan terus berlatih untuk meningkatkan teknik menembaknya.
Bagi Asyifa, kalah atau menang dalam perlombaan bukan sesuatu yang harus disesali, tetapi harus dipelajari. Tidak ada hasil yang mengecewakan jika sudah melakukan yang terbaik dengan niat baik.
Baca juga: Petembak Putri Indonesia Raih Empat Medali Dalam Satu Hari
Biasanya, sebelum memasuki jalur perlombaan, saya mengontrol emosi dulu untuk menenangkan diri. Kuncinya, harus percaya diri dan fokus dengan teknik yang sudah diajarkan.
Saat ini, Asyifa masih duduk di bangku kelas dua SMP. Ia menempuh pendidikan di SMP Negeri 20 Pekanbaru. Berprestasi sebagai petembak, tidak lantas membuat Asyifa melupakan pendidikan wajibnya. Hampir setiap hari, gurunya memberikan tugas secara daring.
"Saya tidak bersekolah seperti murid pada umumnya. Saya hanya mengerjakan tugas dan mendapat materi secara daring. Biasanya malam hari atau saat hari libur, saya gunakan untuk mengerjakan tugas," tutur Asyifa.
Sejak memutuskan menjadi atlet, Asyifa jarang pulang ke rumah. Terakhir, ia pulang ke Pekanbaru, Riau, pada Desember 2022. Jarak yang jauh mengharuskannya untuk tinggal di asrama bersama atlet lain. Jika rindu sudah memuncak, ia hanya bisa menelepon (video call) kedua orangtuanya.
Namun, Asyifa tidak sendiri di Jakarta. Bersama kakak perempuannya yang juga merupakan petembak, Aisyah Raihanatul Qalbi (16), mereka saling mengisi. Hari-hari panjang yang dihabiskan untuk berlatih menembak terasa lebih mudah jika dilewati bersama. Bahkan, mereka berada di kamar yang sama.
Asyifa dan Aisyah kerap berlatih bersama, terlebih pada malam hari. Selain menambah kelihaian menembak, momen ini juga dapat membuat mereka lebih dekat.
Seperti halnya adiknya, Aisyah juga beberapa kali mendapatkan penghargaan di kejuaraan menembak. Terbaru, ia memperoleh medali perunggu dalam nomor Air Pistol junior putri 10 meter Piala Asia Menembak Senapan dan Pistol 2023.
Baca juga: Rutinitas Para Atlet Menembak Menuju Kemenangan
Mencontoh Kakek
Cerita lain datang dari petembak Arista Perdana Putri Darmoyo (17). Keinginan untuk seperti Eyangnya (Kakek), mengantar Arista menjadi atlet tembak. Kakek Arista merupakan pelatih tembak dan sudah lama bergabung di Perbakin. Sejak masih berada di kelas dua SD, ia sudah memiliki keinginan untuk kelak menjadi seperti kakeknya.
"Bahkan, kalau Eyang tidak mengajak saya ke lapangan tembak, saya akan menangis," tuturnya sembari tertawa mengingat masa kecilnya.
Ia pun mengambil langkah untuk bergabung di Perbakin Jakarta pada 2021, juga tergabung di Pelatnas (pemusatan latihan nasional) sejak tahun 2022. Arista merasa bersyukur karena seluruh keluarga dan juga kepala sekolah mendukung keputusannya. Hanya saja, masih ada beberapa guru yang kurang mendukung karena menghambat rutinitas sekolah.
Hal itu tak menyurutkan bara api semangat Arista dalam belajar. Ia terus membuktikan keseriusannya untuk bersekolah dengan rajin bertanya perihal tugas kepada teman dan juga gurunya. Setelah itu, ia akan mengerjakan semua tugas pada sisa waktu kesibukannya menjadi atlet nasional.
Seperti halnya Asyifa, Arista juga tidak setiap hari mengikuti pelajaran karena jadwal latihan menembak yang padat. Namun, jika sedang ada ujian praktik atau ujian akhir sekolah (UAS), ia meminta izin untuk pulang kampung dan mengikuti ujian susulan.
Baca juga: Dua Kali Gagal Raih Emas, Petembak Korea Selatan Sebut Indonesia Saingan Terberat
Keseriusannya dalam mengejar pendidikan formal tergambar kala ia memikirkan ketertinggalan UAS saat perlombaan Piala Asia Menembak 2023. Ia pun harus mengikuti ujian susulan pada akhir bulan ini.
"Saya merasa kurang maksimal saat perlombaan Piala Asia menembak 2023, terlebih pada nomor tim campuran dan nomor putri Air Pistol 10 meter. Saya sedang kepikiran karena belum mengikuti UAS. Padahal, setelah ini saya lulus SMA," tutur siswi kelas 3 SMA Negeri 1 Semarang itu.
Setelah lulus SMA, Arista berencana melanjutkan pendidikan dengan mengambil jurusan Olahraga. Menurut dia, jurusan Olahraga akan lebih pas untuk dia yang ingin melanjutkan prestasi sebagai petembak.
Hingga saat ini, Piala Dunia Menembak 2023 menjadi ajang tertinggi yang pernah Arista ikuti. Pada kejuaraan tersebut, ia mencetak sejarah dengan meraih emas pertama bersama Muhamad Iqbal Raia Prabowo. Mereka menjadi yang terbaik pada nomor Air Pistol tim campuran 10 m. Kala itu, semangat dia sangat menyala karena kedua orangtuanya turut menonton.
Baca juga: Persiapan Akhir Indonesia Menuju Asian Rifle/Pistol Cup 2023
Untuk menghilangkan grogi sebelum berlomba, Arista biasanya mengalihkannya dengan berdoa. Selain itu, ia mencoba menyampingkan semua pikiran yang mengganggu. Adapun targetnya dalam waktu dekat ialah mendapatkan kuota Olimpiade Paris 2024 untuk menjadi petembak yang lebih profesional.
Meskipun tidak ditemani keluarga untuk berjuang di Jakarta, Arista tidak pernah merasa sendirian. Apalagi, ia mendapatkan kamar yang berisi 20 atlet. Setiap pagi, harinya dibuka dengan bunyi nyaring alarm yang saling bersahutan.
Seperti remaja pada umumnya, Arista juga kerap menyempatkan waktu untuk menghibur diri di kala bosan dengan rutinitasnya. Ia dan atlet lain biasanya pergi berbelanja ke mal, menonton bioskop, atau berburu makanan populer.
Untuk Ayah
Berbeda dari Asyifa dan Arista, Alif Satria Bahari (18), memulai perjalanan sebagai petembak karena kemauan sang Ayah. Alif mulai belajar menembak pada usia 15 tahun. Satu tahun kemudian, ia masuk Perbakin.
"Dulu, saya terpaksa masuk dunia menembak karena disuruh Ayah. Kebetulan Ayah saya Tentara dan ingin saya bisa menjadi seperti dia. Namun, kini dari terpaksa telah menjadi terbiasa. Perlahan, saya menikmatinya," ujar atlet laki-laki asal Purwokerto, Jawa Tengah itu.
Baca juga: Pasangan Muda Indonesia Raih Emas Tim Campuran Senapan Angin Piala Asia 2023
Alif tidak pernah menyangka bahwa keterpaksaan tersebut mengantarnya meraih berbagai penghargaan dan mengharumkan nama bangsa. Beberapa prestasi yang pernah ia raih di antaranya mendapatkan emas bersama Asyifa pada nomor Air Pistol tim campuran junior 10 meter Piala Menembak Asia Tenggara 2022 di Bangkok, Thailand, serta membawa pulang medali perunggu dalam nomor Air Pistol tim campuran 10 m bersama Asyifa pada Piala Asia Menembak 2023.
Saat ini, Alif tengah menempuh pendidikan di kelas tiga SMK, tepatnya di SMK Negeri 2 Purwokerto. Alif mengajukan surat dispensasi untuk meminta keringanan atau pemakluman terkait jadwal latihan menembaknya. Setiap tiga bulan sekali, ia memperbarui surat izinnya.
Ketua Komite Kepelatihan dan Pendidikan PB Perbakin Glenn Clifton Apfel mengatakan, atlet tembak memang sebaiknya memulai karir sejak usia belia. Hal ini lantaran proses pembentukan karakter atlet memerlukan proses yang panjang. Untuk menuju ke tingkat perlombaan tingkat tertinggi, para atlet pun memerlukan waktu 10 tahun atau 10.000 jam berlatih dengan pelatihan yang berkualitas.
Asyifa, Arista, dan Alif merupakan contoh atlet muda dengan segudang prestasi membanggakan. Hujan medali dari para calon bintang masa depan Indonesia ini patut dirayakan. Dukungan untuk menjadi "bintang besar" harus diperkuat dari sekarang demi menuju kejayaan pada masa depan.