Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan melindungi hak dan kewajiban setiap suporter olahraga. Pelindungan itu bisa didapatkan jika kelompok suporter berbadan hukum.
Oleh
STEPHANUS ARANDITO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkumpulan suporter dari berbagai macam cabang olahraga di Indonesia diusulkan untuk berbentuk badan hukum agar bisa berdaya mengembangkan kreativitas selain kegiatan mendukung atlet kebanggaannya. Perkumpulan suporter yang terkoordinasi ini juga memudahkan edukasi dan koordinasi untuk menciptakan pertandingan yang aman dan nyaman.
Hal ini juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan yang mengatur hak dan kewajiban setiap suporter olahraga. Tepatnya pada pasal 55 ayat 2 yang menyebut setiap suporter olahraga harus membentuk organisasi atau badan hukum suporter olahraga dengan rekomendasi dari klub atau induk organisasi cabang olahraga.
Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Kementerian Pemuda dan Olahraga Sanusi menjelaskan, organisasi atau badan hukum suporter ini bertanggung jawab mengelola dan membina anggota suporter. Jika sudah berbadan hukum, setiap suporter akan mendapat pembinaan, perlindungan hukum baik di dalam maupun di luar pertandingan, hingga bisa membuka kesempatan memiliki klub melalui kepemilikan saham.
Namun, setiap individu suporter yang dilindungi UU tersebut harus terdaftar sebagai anggota dalam organisasi suporter yang berbadan hukum dan berkomitmen menciptakan pertandingan yang aman dan nyaman, serta mendukung pengembangan industri olahraga.
”Suporter harus tergabung dalam badan hukum, ini amanat undang-undang untuk menertibkan dan mengendalikan suporter yang lebih baik agar hak dan kewajibannya lebih jelas dan diberdayakan,” kata Sanusi dalam bincang Presidium Nasional Suporter Indonesia di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Minggu (5/2/2023).
Kepala Divisi Pembinaan Suporter Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Budiman Dalimunthe menambahkan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan sejumlah klub Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 untuk mendorong mereka berbadan hukum. Bahkan sudah ada Presidium Suporter Sepak Bola Indonesia yang diinisiasi oleh sejumlah organisasi suporter seperti Bonek, The Jakmania, Viking, Aremania, Pusamania, dan Red Genk.
”Federasi menawarkan dan seharusnya diwajibkan bahwa setiap klub itu punya petugas penghubung, seperti Alex di Persebaya, Bung Ferry di Persija, dan Heru Joko di Persib. Mereka ini bisa menjadi penghubung, mereka bisa mengadakan forum dengan suporter agar ada hubungan antara suporter dan klub,” ucap Budiman.
”Kalau kami menyebut mereka ini tenor atau tenaga olahraga, kalau klub Liga 2 dan Liga 3 tidak mampu membayar tenor, saya harapkan di inpres atau peraturan pemerintah nanti bisa dibantu renumerasinya lewat implementasinya agar ada profesional yang melakukan edukasi dan menjadi penghubung,” tuturnya.
Sosok pengurus organisasi suporter ini diharapkan mempunyai jiwa kepemimpinan yang bisa dicontoh oleh suporter hingga ke akar rumput sehingga mereka bisa menjadi suporter yang dewasa baik saat klub kebanggaannya menang maupun kalah.
Selain itu, suporter dengan keanggotaan terorganisasi akan mudah mengawasi setiap individu. Dengan demikian, ketika terjadi insiden atau kekacauan, bisa terindentifikasi dan dapat ditangani dengan cepat. Misalnya, melarang orang tersebut untuk masuk ke stadion seumur hidup, seperti yang dilakukan suporter Persib Bandung terhadap satu oknum yang menyalakan bom asap beberapa waktu lalu.
”Suporter itu pasti menekan lawan agar grogi dan kalah, tetapi kan ada batasnya, yaitu di tribune. Jadi, kalau terjadi pelemparan di luar stadion, itu bukan klub yang dihukum, tapi orang itu yang dihukum oleh undang-undang pidana. Kami sebut mereka impostor (penyusup), bukan suporter. Orang seperti itu jangan dijadikan teman lagi, dia merusak nama suporter se-Indonesia,” kata Budiman.
Sementara itu, Manajer Hubungan Suporter Persebaya Shiddiq Maulana Tualeka menilai suporter tidak boleh lagi diposisikan sebagai obyek penonton biasa yang dihitung dari penjualan tiket, tetapi dilibatkan dalam pengembangan klub. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 jiwa seharusnya menjadi momentum untuk edukasi pengelolaan suporter yang baik.
”Ini bukan berarti kita mengapitalisasi saudara korban Kanjuruhan itu untuk perubahan, bukan. Dari situlah kita belajar untuk mempercepat perubahan, ini mitigasi. Negara sudah hadir dengan undang-undang itu, suporter sudah menjadi obyek, dulu kami tidak dibahas, hanya dianggap pendukung biasa, sekarang dia sudah diatur di undang-undang,” tutur Shiddiq.
Suporter yang terorganisasi, lanjut Shiddiq, juga bisa menjadi peluang baru memberdayakan suporter di luar kegiatan mendukung klub. Suporter bisa dibina untuk mengembangkan usaha melalui berbagai cara. Namun, suporter yang berbadan hukum ini tidak lantas membuat suporter menjadi tidak independen atau bergantung pada manajemen klub. Mereka tetap bisa memberikan kritik kepada setiap permasalahan klub.
”Ini bukan hanya tentang bisnis, tetapi kami juga ingin membuat olahraga sepak bola ini menjadi olahraga yang bersahabat. Suporter Persebaya itu aktif di dunia sosial dan kemanusiaan, misalnya Bonek Disaster Reponses Team ketika ada bencana mereka bisa turun, jadi ini tidak hanya mendukung di stadion. Ini kegiatan kolektif suporter yang penting untuk mengembalikan kepercayaan publik pada sepak bola,” tuturnya.