Potensi Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Tidak Diantisipasi
Saksi Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya mengungkap potensi kericuhan atau kerusuhan tidak diantisipasi sehingga terjadi insiden berdarah yang menewaskan 135 jiwa dan lebih dari 600 jiwa terluka.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Saksi Tragedi Kanjuruhan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (19/1/2023), mengungkapkan, potensi kericuhan dan kerusuhan tidak diantisipasi oleh panitia pelaksana dan petugas keamanan. Saksi juga melihat tembakan gas air mata dari lapangan yang menyebabkan penonton di tribune panik. Dalam suasana panik, tidak ada imbauan kepada penonton.
Seusai laga lanjutan Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, 1 Oktober 2022 terjadi kericuhan karena masuknya sejumlah pendukung sepak bola ke lapangan. Situasi itu dibalas dengan penembakan gas air mata oleh petugas keamanan yang memicu insiden mengakibatkan kematian 135 jiwa dan lebih dari 600 jiwa terluka yang hampir seluruhnya Aremania atau pendukung Arema FC.
PN Surabaya kembali menggelar sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi di Ruang Cakra. Sidang pemeriksaan dihadiri kedua terdakwa yakni Abdul Haris, bekas Ketua Panitia Pelaksana Arema FC, dan Suko Sutrisno, bekas security officer Panitia Pelaksana. Keduanya termasuk dalam lima terdakwa Tragedi Kanjuruhan dengan sidang perdana atau pembacaan dakwaan pada Senin (16/1/2023).
Dalam sidang, saksi Eka Naravia dari unsur Polri mengatakan, ia sedang bertugas di luar stadion ketika mendengar letusan senjata dari dalam arena. Selanjutnya, Eka melihat penonton berdesakan dan berimpitan berusaha keluar dari stadion. Menurut dia, situasi seperti itu tidak diantisipasi atau tidak tergambarkan dalam intruksi saat apel kesiagaan oleh Kepala Kepolisian Resor Malang saat itu, Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat, menjelang laga derbi Jatim antara Arema FC vs Persebaya.
Tidak ada petunjuk kalau terjadi chaos bagaimana.
”Tidak ada petunjuk kalau terjadi chaos bagaimana,” kata Eka. Ferli saat dalam apel menyampaikan agar anggota tidak eksesif yang oleh Eka kurang dipahami. Eksesif ialah tindakan tidak berlebihan dalam menangani aksi. Selama bertugas, dirinya belum pernah mendapat sosialisasi penanganan kejadian di luar dugaan untuk evakuasi penonton dalam laga sepak bola. Setahu Eka, jika terjadi hal tidak diinginkan, diselesaikan oleh steward di mana anggota Polri membantu.
Saksi lainnya, Estu Aji Kuncoro, mengatakan, ia tidak bisa melupakan kengerian pada Sabtu malam itu. Estu berada di tribune 13 dan melihat tembakan gas air mata dari lapangan dan mengarah ke luar. Situasi telah ricuh dan penonton panik. Kepanikan penonton kian menjadi karena petugas keamanan menembakkan gas air mata beberapa kali.
”Di pintu 12, 13, dan 14, penonton yang banyak ibu-ibu dan anak-anak menumpuk, berjubel berusaha keluar tetapi tidak bisa,” ujar saksi lainnya Eka Sandi. Saat kericuhan dan kepanikan terjadi, tidak ada imbauan atau suara panduan bagi penonton untuk evakuasi atau menyelamatkan diri. Penonton akhirnya berusaha menyelamatkan diri melalui jalur yang ada. Namun, banyak penonton yang berjubel, berimpitan, dan berakhir secara tragis.
Secara terpisah, Habibus Shalihin dari LBH Surabaya, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, menyatakan, sidang Tragedi Kanjuruhan seharusnya diakses seluas-luasnya oleh publik. Koalisi menilai ada keganjilan antara lain pembatasan akses, menghadirkan terdakwa secara dalam jaringan (online) dalam sidang perdana atau pembacaan dakwaan. Selain itu, keberadaan anggota Polri sebagai penasihat hukum.
”Koalisi mendorong Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan,” kata Habibus.
Pembatasan akses oleh majelis hakim Abu Achmad Sidqi Amsya (ketua), Mangapul dan I Ketut Kimiarsa (anggota) tidak tepat. Pasal 153 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juncto Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman mewajibkan majelis hakim dalam setiap pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum. Dalam sidang perdana, sifat sidang tertutup.
”Masyarakat, khususnya keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, dan media massa diberikan akses seluas-luasnya sehingga dapat melihat setiap proses dan tahapan persidangan para terdakwa,” kata Shalihin. Pembatasan mencederai rasa keadilan yang sedang diperjuangkan terutama oleh keluarga korban. Pembatasan juga dapat dinilai sebagai indikasi menutupi proses hukum.
Menghadirkan terdakwa secara online, kata Habibus, juga melanggar Pasal 154 Ayat (4) KUHAP. Di sana dinyatakan terdakwa wajib hadir pada sidang pemeriksaan di pengadilan. Di sisi lain, pemerintah sejak awal 2023 telah mencabut status pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) terkait pandemi Covid-19. Pencabutan status itu menjadi tidak ada alasan bagi majelis hakim menghadirkan terdakwa secara online.
”Keganjilan lain ialah anggota Polri sebagai penasihat hukum dalam persidangan pidana,” kata Habibus. Situasi itu bertentangan dengan Pasal 16 UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di sana dinyatakan dalam proses pidana, anggota Polri tidak memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan hukum di persidangan pidana. Yang berhak dan berwenang menempuh pendampingan hukum ialah advokat sesuai dengan UU No 18/2003 tentang Advokat.
Adapun tiga terdakwa lainnya dalam sidang Tragedi Kanjuruhan berstatus anggota Polri. Mereka ialah bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, bekas Kepala Satuan Samapta Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Komandan Kompi 3 Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarmawan.
Terdakwa Haris dan Suko didakwa pelanggaran Pasal 359 dan atau Pasal 360 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun. Selain itu, pelanggaran Pasal 103 juncto Pasal 52 UU No 11/2022 tentang Keolahragaan dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 1 miliar. Untuk tiga terdakwa, yakni Hasdarmawan, Wahyu, dan Bambang, dijerat dengan pelanggaran Pasal 359 dan atau Pasal 360 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun.