PN Surabaya Diminta Transparan Gelar Sidang Tragedi Kanjuruhan
Majelis hakim dinilai melakukan pembatasan akses persidangan Tragedi Kanjuruhan dan membiarkan polisi yang bukan advokat menjadi kuasa hukum terdakwa. Komisi Yudisial pun diminta bertindak cepat merespon aduan itu.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Koalisi masyarakat sipil mengadukan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya ke Komisi Yudisial, Jakarta, pada Kamis (19/1/2023) terkait proses sidang Tragedi Kanjuruhan. Majelis hakim yang diketuai Abu Achmad Sidqi Amsya itu dianggap melakukan sejumlah pembatasan akses sehingga proses peradilan kasus itu tidak berjalan transparan.
Koalisi yang dimaksud terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Pos Malang, LBH Surabaya, IM 57+ Institute, Lokataru dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Mereka menilai pembatasan itu tidak beralasan secara hukum, sehingga seharusnya majelis hakim kasus itu membuka akses ke persidangan agar bisa dipantau masyarakat.
Mereka berargumen, Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juncto Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman mewajibkan bagi majelis hakim dalam setiap pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum. Selain itu, pemerintah juga sudah mencabut status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pandemi Covid-19, sehingga dinilai tidak ada alasan sidang itu digelar tertutup.
"Sebetulnya, jika berkaitan dengan alasan keamanan, seharusnya PN Surabaya bisa membuat opsi lain untuk bisa terbuka ke publik, seperti menyiarkan secara langsung atau tidak langsung, atau dalam bentuk lainnya," kata Andi Muhammad Rezaldy, perwakilan dari KontraS, di Gedung Komisi Yudisial, Kamis (19/1/2023).
Dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Ruang Cakra, Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/1/2023), kelima terdakwa dihadirkan secara dalam jaringan dan sidang bersifat tertutup. Majelis hakim juga melarang setiap orang di ruang sidang untuk menyiarkan sidang itu secara langsung.
Humas PN Surabaya Anak Agung Gede Agung Parnata beralasan, keputusan mengenai jalannya sidang itu merupakan kewenangan majelis hakim. Adapun anggota majelis hakim lainnya, selain Abu, adalah Mangapul dan I Ketut Kimiarsa.
Selain menuntut pengadilan terbuka, mereka juga mempertanyakan kapasitas Kepala Bidang Hukum (Kabidkum) Polda Jawa Timur Komisaris Besar Adi Karya Tobing yang menjadi kuasa hukum dari tiga terdakwa bekas anggota kepolisian. Kombes Adi, lanjut Andi, seharusnya tidak bisa menjadi kuasa hukum karena bukan advokat.
Ketiga terdakwa itu yakni bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, mantan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Komandan Kompi 3 Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarmawan.
"Anggota Polri bukan advokat sehingga dia tidak memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan hukum dalam proses persidangan pidana. Menurut kami, pembiaran ini dapat merusak atau melecehkan sistem hukum di indonesia," ucapnya.
Atas dasar hal itu, koalisi meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa majelis hakim PN Surabaya dan mengawal langsung persidangan tragedi yang menewaskan 135 jiwa dan lebih dari 600 korban luka tersebut. Horor di yang dipicu oleh gas air mata polisi itu terjadi usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada pekan ke-11 BRI Liga 1, Sabtu (1/10/2022).
Juru Bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting menjelaskan, pihaknya sudah menerjunkan tim pemantauan ke PN Surabaya sejak sidang pertama Tragedi Kanjuruhan. Terkait dengan akses persidangan, Komisi Yudisial berpandangan bahwa persidangan terbuka untuk umum tidak sama dengan penyiaran secara langsung. "Penentuan penyiaran sidang secara langsung berada pada domain Ketua Majelis Hakim," kata Miko.
Namun, aduan koalisi dengan nomor surat 113/1/2023/P tersebut akan menjadi catatan bagi mereka untuk terus melakukan pengawasan terhadap kinerja majelis hakim. Komisi Yudisial juga tetap akan mendorong ketua majelis hakim untuk mempertimbangkan tiga aspek penting, yaitu akses dan partisipasi masyarakat, keselamatan dan keamanan para pihak, serta integritas pembuktian dalam memeriksa dan memutus perkara.
Sidang perdana terhadap lima terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan sudah dimulai di Ruang Cakra, Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/1). Selain tiga terdakwa anggota polisi di atas, ada pula dua terdakwa lain dari kalangan sipil, yakni bekas Ketua Panitia Pelaksana Abdul Haris dan bekas security officer Suko Sutrisno. Kelimanya didakwa melanggar Pasal 359 dan atau Pasal 360 KUHP dengan ancaman pidana maksimal penjara 5 tahun.
Terdakwa Abdul Haris dan Suko Sutrisno juga didakwa melanggar Pasal 103 juncto Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Dia terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Sementara satu tersangka lain, mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita belum menjalani sidang. Berkas perkara Lukita masih dilengkapi oleh Polda Jatim sehingga belum bisa didaftarkan untuk persidangan.