Liverpool berada di titik nadir setelah dipermalukan Brighton and Hove Albion. Taktik ”gegenpressing”, yang sempat membawa Liverpool ditakuti, kini tidak lagi berarti.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
BRIGHTON, MINGGU — Kekalahan 0-3 dari Brighton and Hove Albion menjadi klimaks dari penampilan buruk Liverpool pada musim ini. Liverpool kalah segala-galanya pada laga Liga Inggris di Stadion Amex, Brighton, Sabtu (14/1/2023) malam WIB itu. Manajer Liverpool Jurgen Klopp bahkan terus terang menyebut laga itu adalah penampilan terburuk Liverpool sepanjang karier kepelatihannya.
Seusai laga, Klopp menghampiri suporter Liverpool yang hadir di markas Brighton itu. Manajer asal Jerman itu langsung meminta maaf atas hasil buruk tersebut. Dia juga melontarkan pujian kepada suporter yang tetap datang mendukung timnya kendati Liverpool sedang tidak dalam performa bagus, beberapa pekan terakhir. Dari sembilan laga tandang, Liverpool menelan lima kekalahan.
”Kami tidak bagus hari ini. Saya tidak ingat pertandingan yang lebih buruk dari ini dalam hal penampilan kami. Melakukan hal yang lebih baik dari ini seharusnya mudah karena ini titik terendah,” kata Klopp.
Tidak berlebihan Klopp sampai mengatakan hal itu. Liverpool sungguh sedang berada di titik nadir. Mereka memulai tahun baru dengan dua kekalahan beruntun di liga untuk pertama kalinya sejak 1993. Sebelumnya, mereka juga dibekap Brentford, 1-3. Untuk pertama kalinya pula sejak musim 2017-2018, ”Si Merah” lima kali kalah dalam laga tandang di Liga Inggris.
Upaya mengejar finis di empat besar pun kian sulit. Dengan 20 laga tersisa, Liverpool terpaut tujuh poin dari zona empat besar. Dengan kompetisi seketat Liga Inggris, Liverpool paling tidak harus tampil konsisten mulai pertandingan selanjutnya hingga akhir musim, jika masih ingin mengejar target itu. Saat ini, Liverpool menempati peringkat kesembilan.
Pada laga itu, Liverpool dibuat tidak berdaya dengan hanya mencatatkan dua tembakan tepat sasaran. Jumlah tembakan itu jauh lebih minimalis ketimbang Brighton yang membuat total sembilan tembakan.
Klopp sebetulnya menyadari performa buruk timnya dalam lima laga sebelumnya. Maka, ia sedikit memodifikasi taktik melawan Brighton. Jika biasanya tampil dengan formasi 4-3-3, Klopp hanya memasang dua penyerang, Mohamed Salah dan Cody Gakpo, di depan. Klopp mengarahkan Thiago Alcantara untuk berada di belakang dua penyerang itu. Upaya Klopp itu kurang sukses. Baik Salah maupun Gakpo hanya mencatatkan satu tembakan ke gawang.
Gegenpressing adalah taktik bertahan yang dimulai dari lini depan. Maka itu, saat jumlah tekel di sepertiga akhir serangan mereka menurun drastis, artinya ada yang salah dengan kinerja lini depan Liverpool.
Di sisi lain, bek sayap kanan, Trent Alexander-Arnold, berkali-kali terlambat kembali ke posnya saat membantu serangan. Area kanan pertahanan Liverpool kerap dieksploitasi oleh pemain sayap kiri Brighton, Kaoru Mitoma. Dua gol Brighton berawal dari area yang ditinggalkan Alexander-Arnold.
”Kami mencoba membantu para pemain dengan organisasi yang sedikit berbeda. Kami memiliki momen di mana perubahan taktik itu bekerja dengan baik dan sempat menekan lawan. Tetapi, kami kehilangan bola terlalu mudah. Jadi, kami tidak berhasil,” ujar Klopp.
Kehilangan Mane
Selama ini, kesuksesan Liverpool di bawah arahan Klopp kerap disebut adalah buah taktik gegenpressing. Mereka kerap agresif merebut kembali bola saat lawan berusaha membangun serangan. Namun, kepergian Sadio Mane pada awal musim ini membuat keseimbangan dalam menjalankan taktik itu sedikit terganggu.
Para remain depan Liverpool banyak menekan, tapi tidak bisa segera merebut bola kembali. Ketiadaan sosok seperti Mane membuat organisasi serangan Liverpool saat melakukan gegenpressing tidak berjalan mulus. Darwin Nunez, yang baru didatangkan, belum mampu menggantikan peran Mane.
Hingga pekan ke-18, data FBref menunjukkan Si Merah mencatatkan rerata 1,94 tekel per laga di area sepertiga akhir serangannya. Angka itu adalah keempat terendah di Liga Inggris. Jika angka itu konsisten berlanjut hingga akhir musim atau 20 laga lagi, rerata tekel Liverpool akan berjumlah 74. Jumlah itu 33 tekel lebih kecil atau turun 30,8 persen dari musim lalu. Liverpool mampu menjadi tim yang ditakuti karena kemampuan mereka menekan bek-bek lawan.
Gegenpressing adalah taktik bertahan yang dimulai dari lini depan. Maka itu, saat jumlah tekel di sepertiga akhir serangan mereka menurun drastis, artinya ada yang salah dengan kinerja lini depan Liverpool.
Selain itu, Liverpool tidak beruntung seiring cederanya sejumlah pemain penting, seperti Luiz Diaz, Virgil van Dijk, dan Diogo Jota. Di lini tengah, Klopp masih percaya kepada duet Jordan Henderson dan Fabinho, kendati mereka tampil buruk sepanjang musim ini. Padahal, Klopp punya pilihan untuk memainkan Naby Keita dan Fabio Carvalho.
Henderson dan Fabinho tidak efektif dalam membantu serangan. Mereka juga kerap mudah ditembus pemain Brighton. Dalam beberapa momen, para pemain Brighton sangat leluasa mengalirkan bola ke jantung pertahanan Liverpool. Tidak ada upaya berarti dari Henderson dan Fabinho untuk melindungi empat bek sejajar di belakang mereka.
”Pertahanan Liverpool sama buruknya dengan siapa pun di Liga Inggris saat ini. Untungnya, mereka memiliki kiper terbaik (Alisson Becker) yang berarti mereka tidak berada jauh di bawah klasemen,” kata mantan bek tengah Liverpool, Jamie Carragher.