Capaian menakjubkan Maroko di Piala Dunia Qatar bukanlah kebetulan. Mereka menghidupkan kembali "Moneyball" Oakland Athletics, kisah kuda hitam yang menggemparkan dan mengubah wajah olahraga dunia.
Oleh
YULVIANUS HARJONO
·6 menit baca
Nilai total 26 pemain Maroko, mengacu Transfermarkt, adalah salah satu yang terendah di Qatar, yaitu hanya 241 juta euro (Rp 3,9 triliun). Nilai itu sangat jomplang jika dibandingkan barisan raksasa, seperti Belgium (Rp 9,1 triliun), Spanyol (Rp 14,4 triliun), dan Portugal (Rp 14,3 triliun).
Bersama Kroasia, "Singa Atlas" adalah tim yang belum terkalahkan di Qatar. Sejarah berbicara, tim-tim yang tak terkalahkan biasanya menjadi juara karena memiliki mental prima. Hal itu antara lain dialami Perancis (2018), Jerman (2014), Italia (2006), dan Brasil (2002).
Seperti Oakland Athletics, Walid Regragui membangun tim Maroko berdasarkan keunggulan dan karakteristik pemainnya. Keunggulan itu bertumpu pada ketangguhan kiper Bono dan soliditas lini pertahanan.
Tepat dua dekade lalu, Oakland Athletics menggegerkan jagat bisbol melalui capaian menakjubkan, 20 kemenangan beruntun di Major League Baseball (MLB) Amerika Serikat. Ajaibnya, prestasi itu diraih dengan cara tidak biasa. Ditinggal tiga bintangnya dan berbujet minim, Athletics menjungkir-balikkan logika dan menampar tim-tim mapan.
Manajer Umum Oakland Athletics Billy Beane merekrut barisan pemain, sebagian free agent, yang selama ini dianggap sebelah mata. Namun, berkat metode sabermetrik, di matanya, para pemain seperti Chad Bradford, Jeremy Giambi, dan David Justice, itu adalah “berlian yang belum terasah”. Meski sempat dikritik dan dicibir koleganya, Beane dan metodenya terbukti ampuh.
Athletics memuncaki Liga Barat MLB tahun itu, tim Beane pun menjelma pasukan menakutkan pengukir rekor-rekor. Kisah underdog itu lantas menginspirasi penulis ternama, Michael Lewis, menerbitkan buku berjudul, Moneyball: The Art of Winning an Unfair Game (2003). Hollywood pun tidak ketinggalan mengabadikan momen inspiratif nan bersejarah itu melalui film Moneyball (2011) yang dibintangi Brad Pitt sebagai pemeran Beane.
Athletics telah mengubah wajah bisbol, bahkan olahraga, selamanya. Itulah tonggak lahirnya era statistik, “big data”, olahraga. Ilmuwan statistik dan matematikawan olahraga mendadak dianggap sama pentingnya dengan pencari bakat, bahkan pelatih.
Sabermetrik lantas menjadi cetak biru klub dalam merekrut pemain. Itu tidak hanya dipakai di bisbol, melainkan juga bola basket dan sepak bola. Klub sepak bola ternama Inggris, Liverpool, adalah salah satu yang mengadopsi ilmu itu.
Dua puluh tahun berlalu sejak Beane memperkenalkan Sabermetrik, kisah underdog yang tidak kalah menakjubkan tercipta di Piala Dunia FIFA Qatar 2022. Pelakunya adalah Maroko, tim Afrika utara yang ditempatkan sebagai unggulan ke-29 dari 32 peserta, sebelum turnamen itu dimulai. Tim “Singa Atlas” bak reinkarnasi Athletics di cabang sepak bola.
Kalah materi
Nilai total 26 pemain Maroko, mengacu Transfermarkt, adalah salah satu yang terendah di Qatar, yaitu hanya 241 juta euro (Rp 3,9 triliun). Nilai itu sangat jomplang jika dibandingkan barisan raksasa, seperti Belgium (Rp 9,1 triliun), Spanyol (Rp 14,4 triliun), dan Portugal (Rp 14,3 triliun).
Kami adalah Rocky Balboa di Piala Dunia ini. Kami adalah tim yang dicintai semua orang karena kami menunjukkan ke dunia bahwa Anda bisa sukses, meskipun tidak punya cukup bakat dan uang. (Walid Regragui)
Realitasnya? Maroko kini di semifinal, tim pertama Afrika yang bisa melakukannya. Ketiga raksasa Eropa itu satu-persatu menjadi mangsa Singa Atlas, mulai dari babak penyisihan grup hingga perempat final. Gilanya, gawang Maroko yang dijaga kiper fenomenal, Yassin Bounou, tidak sekalipun kebobolan dari mereka, termasuk Kroasia yang menjadi semifinalis lainnya. Satu-satunya gol kebobolan Maroko, dari lima laga yang dijalani di Qatar, yaitu bunuh diri saat menghadapi Kanada.
Kisah Maroko, bagi sebagian orang, bak dongeng rekaan Disney, Cinderella. Director of Business Develepment Asia Pacific Stats Perform Maria Rowe, dalam webinar How Big Data Reshaping Football at Qatar yang digelar Kompas, Senin (12/12/2022), mengatakan, Maroko seperti Leicester City yang menjadi juara kejutan Liga Primer Inggris pada musim 2015-2016.
“Kisah underdog selalu menjadi daya tarik sepak bola. Semua menyukainya,” ujarnya.
Ricky Balboa
Diakui Pelatih Maroko Walid Regragui, timnya adalah kebanggaan bersama. Ia menyamakan kisah heroik timnya di Qatar dengan film Hollywood. “Kami adalah Rocky Balboa di Piala Dunia ini. Kami adalah tim yang dicintai semua orang karena kami menunjukkan ke dunia bahwa Anda bisa sukses, meskipun tidak punya cukup bakat dan uang,” ujarnya seusai mengalahkan Portugal, 1-0, di babak perempat final, seperti dikutip AFP.
Pelatih eksentrik berkepala pelontos itu sering disebut “Pep Guardiola ala Maroko”. Namun, ia tidak seperti Guardiola yang selalu dikelilingi uang dan talenta terbaik dunia. Maroko pun melampaui Balboa karena mereka sejauh ini belum pernah KO dari lawan-lawannya. Bersama Kroasia, Singa Atlas adalah tim yang belum terkalahkan di Qatar. Sejarah berbicara, tim-tim yang tak terkalahkan biasanya menjadi juara karena memiliki mental prima. Hal itu antara lain dialami Perancis (2018), Jerman (2014), Italia (2006), dan Brasil (2002).
Regragui, sosok di balik kehebatan Maroko, lebih mirip Beane, alih-alih Guardiola. Sebelum Piala Dunia Qatar digelar, serupa Beane dulu di Athletics, Regragui banyak dicibir. Kariernya di Singa Atlas baru seumur jagung, sejak Agustus 2022, namun dia sudah berani melawan arus.
Pria Maroko kelahiran Perancis itu memanggil banyak diaspora Maroko di Eropa dan Amerika, tidak terkecuali Hakim Ziyech yang sempat masuk “daftar hitam” pelatih sebelumnya, Vahid Halilhodzic, karena dianggap sebagai “pemberontak” setelah sempat berkali-kali indisipliner.
Ditentang banyak orang
Media-media Maroko juga sempat menentang ide Regragui dan menyarankannya mengutamakan para pemain kelahiran Maroko agar lebih mudah “dibentuk”. Regragui bergeming. Dari 26 pemain yang dipanggilnya untuk tampil di Qatar, 14 di antaranya lahir di luar negeri, termasuk Ziyech yang lahir di Belanda dan Bounou yang lahir dan dibesarkan di Kanada.
Bukan tanpa alasan ia memanggil pemain seperti Bounou. Ia ibarat David Justice, pemain outfield di tim Athletics yang dikelola Beane. Bakat Bounou tersamarkan dan nyaris tidak disorot publik, sebelum Qatar 2022 digelar. Padahal, secara statistik, yaitu sabermetrik, Bounou alias Bono adalah “intan”. Dia adalah “senjata rahasia” Regragui di Qatar.
The Analyst Opta, mencatat, kiper Sevilla itu menggagalkan lebih dari seperempat penalti, termasuk adu penalti, yang ia hadapi di berbagai kompetisi di Spanyol. Rekornya adalah 5/19. Pada usia 21 tahun, ia hijrah ke Spanyol dan sejak itu telah membela empat klub berbeda di negara itu. Jadi, tidak ada yang lebih memahami Spanyol ketimbang dirinya.
Tak pelak, Bono menjadi pahlawan Maroko ketika menyingkirkan Spanyol di babak 16 besar lalu. Ia menggagalkan dua tendangan penalti pemain Spanyol dan menjadi satu-satunya kiper asal Afrika yang melakukan itu pada satu laga Piala Dunia.
“Tidak ada yang namanya keajaiban. Banyak yang mengatakan itu. Faktanya, kami mengalahkan Belgia, Spanyol, dan Portugal, tanpa kebobolan,” ujar Regragui kemudian.
Ia benar. Capaian Maroko bukanlah kebetulan. Seperti Beane, Regragui membangun timnya berdasarkan keunggulan dan karakteristik pemainnya. Keunggulan itu bertumpu pada ketangguhan Bono dan soliditas lini pertahanan.
Menahan gempuran
Seperti Balboa, Maroko didesain memiliki pertahanan kuat, tampil sabar, dan menerima gempuran serangan lawan, sebelum akhirnya melayangkan serangan kilat bak tinju uppercut mematikan yang tanpa basa-basi. Dengan cara itu, Belgia dan Portugal dibuat terkapar, knocked out.
Maroko adalah salah satu tim dengan serangan paling direct, selain Iran. Rata-rata penguasaan bola mereka hanya 31,6 persen, kedua yang terendah di Qatar. Mereka banyak menumpuk pemain di sepertiga akhir wilayah permainannya sendiri.
Namun, ketika mendapatkan bola, mereka menyerang cepat dengan jumlah operan seminimal mungkin. Bola lebih sering digulirkan ke sayap, melalui sejumlah pemain seperti Achraf Hakimi, Ziyech, Sofyan Amrabat, dan Sofiane Boufal.
Kecepatan transisi dari bertahan ke menyerang menjadi ciri khas Maroko. Taktik itu terbukti sangat efektif di Qatar. Mereka mencatatkan jumlah expected goals (xG) sebesar 3,1 dari total 30 tembakan hingga laga 16 besar. Angka itu adalah yang tertinggi.
Maka, Singa Atlas bisa menjadi ancaman bagi siapa pun, apalagi mereka didukung puluhan ribu penggemar yang senantiasa mengintimidasi tim lawan. Suara riuh yang diciptakan penggemar mereka bisa mencapai 87 desibel atau di atas batas kenyamanan yang bisa ditolerir telinga manusia.
Kombinasi itu membuat Maroko kini menjelma kuda hitam menakutkan. Kini, langit adalah batas mereka. Pemegang “sabuk” juara dunia, Perancis, pun wajib berhati-hati jika tidak ingin terkapar oleh pukulan uppercut Maroko di semifinal...