Meski telah berusia 71 tahun, Louis van Gaal mau kembali memimpin tim nasional Belanda untuk mewujudkan impiannya, membawa tim Oranye untuk meraih prestasi setinggi-tingginya.
Oleh
SINDHUNATA, wartawan
·5 menit baca
Meneer Louis van Gaal sudah 71 tahun usianya. Mau pensiun, sudah waktunya. Mau tenteram dengan merawat taman bunga tulipnya di Amsterdam, sudah selayaknya. Mengapa masih juga ia mau bersusah-susah memimpin kesebelasan Belanda ke Piala Dunia Qatar 2022? Apalagi kesehatannya tidak lagi prima. Kan, ia sedang mengidap kanker?
Memang bukan Van Gaal jika ia mudah menyerah. Kanker pun dihadapinya dengan tabah. Sudah 25 kali ia menjalani bestraling, terapi radiasi sinar X untuk mengobati kanker prostatnya.
”Dalam 90 persen kasus, orang tidak mati karena kanker jenis tersebut, tetapi karena penyakit-penyakit lain yang diidapnya,” kilah Van Gaal. Ia optimistis, bila masih ada warna merah di pipinya, orang pasti berpikir, dia masih sehat.
Ketuaan juga bukan soal baginya. Seperti penyanyi rock Tony Marshall, Van Gaal berpegang, ”Dengan umur 70 pun, orang masih mempunyai mimpi.” Dan ia pergi ke Qatar untuk mewujudkan impiannya, membawa tim ”Oranye” meraih prestasi setinggi-tingginya. Bola memang menjadi sumber yang membuat ia masih boleh bermimpi.
”Saya meraba adanya daya kehendak yang luar biasa untuk terus berbuat dalam diri saya. Dalam usia saya ini sungguh sebuah anugerah jika saya boleh bekerja dengan pemain-pemain tim nasional,” katanya.
Apakah dengan usia dan kondisinya itu Van Gaal mampu mengejar impiannya bersama kesebelasan Belanda? ”Jangan pernah meremehkan Van Gaal,” kata Gertjan Verbeek, Pelatih AZ Alkmaar. Verbeek mengingatkan jasa Van Gaal yang berhasil mengantarkan Belanda meraih posisi ketiga dalam Piala Dunia Brasil 2014. Apalagi itu terjadi dengan memukul tuan rumah Brasil dengan skor telak, 3-0.
Di samping itu, menurut Verbeek, sekarang kualitas kesebelasan Belanda lebih baik daripada delapan tahun lalu. Di Brasil 2014 kala itu, bola lebih banyak disetor ke kaki Arjen Robben dan Robin van Persie. Atau dipercayakan pada Wesley Sneijder. Ketiganya tak lain bintang di dalam kesebelasan.
Leren van het verleden, belajar dari masa lalu. Itulah pegangan Van Gaal, pelatih yang juga dikenal sebagai pedagog atau guru bola itu. Dari masa lalu, Van Gaal belajar, bola jangan digantungkan nasibnya pada pemain bintang. Maka, sekarang Van Gaal mati-matian membentuk permainan Belanda menjadi permainan dan tanggung jawab tim.
Semua sama
Waktu melatih Bayern Muenchen, Van Gaal juga sudah nyaris tidak peduli dengan pemain bintang. Kata Franck Ribery, gelandang Bayern pada waktu itu, ”Di awal masa kepelatihan Van Gaal, tak seorang pun tahu, apa yang akan terjadi. Yang kami tahu, nama pemain, siapa pun, semuanya sama di hadapannya, bintang-bintang tidak diperhitungkannya.”
Jadi, bagi Van Gaal, siapa yang dianggap hebat tidaklah hebat di atas yang biasa. Yang hebat adalah tim dalam kebersamaannya.
Kata Van Gaal, ”Sering ego besar menjadi sosok paling kreatif di lapangan. Harus diakui, dalam sepak bola, Anda membutuhkannya. Namun, sering kali mereka juga keras kepala dan tergesa-gesa yakin, mereka berada di atas pemain lain karena bakat kreatifnya. Saya berpegang, sepak bola selamanya adalah olahraga tim, dan sebagai pelatih, saya bertugas mengatur mereka. Saya memuji kehebatan mereka. Namun, tak segan-segan, saya juga sering mengoreksinya jika itu perlu dilakukan untuk kepentingan kelompok.”
Pemain bola adalah anak zamannya. Maka, menurut Van Gaal, apa yang terjadi dalam masyarakat sekarang mau tak mau juga melekat pada pemain bola. Lebih daripada dulu, zaman ini ditandai dengan individualisme yang tinggi. Individu-individu kurang mau berpikir tentang satu sama lain. Yang diingat lebih kepentingannya sendiri.
Saya berpegang, sepak bola selamanya adalah olahraga tim, dan sebagai pelatih, saya bertugas mengatur mereka. Saya memuji kehebatan mereka. Namun, tak segan-segan, saya juga sering mengoreksinya jika itu perlu dilakukan untuk kepentingan kelompok.
Sikap ini juga merambat ke sepak bola. Karena itu, di persepakbolaan pun sekarang tidak mudah membentuk tim, dengan orang mau mengecilkan arti diri dan individunya. Apalagi bila tim itu terdiri atas pemain-pemain yang sangat berprestasi.
Praktikkan disiplin
Jalan untuk menjinakkan egoisme dan individualisme itu adalah disiplin. Dalam konsep Van Gaal, disiplin sepak bola bukan sekadar disiplin permainan. Orang juga harus bisa menunjukkan disiplin itu di luar lapangan. Karena itu, ”Jika di luar lapangan, kamu tidak bisa berdisplin, di dalam lapangan pun orang akan sulit melihat kamu bisa berdisiplin. Disiplin itu adalah sikap plus perilaku.”
Untuk menegakkan disiplin itu, tak cukup sekadar menyepakatinya dengan kata-kata. Lebih dari itu dituntut agar pemain bola mau mempraktikkan disiplin itu menjadi perilaku nyata di lapangan hingga mereka tidak begitu saja meninggalkannya ketika menghadapi tantangan. Maka, siapa siap menegakkan disiplin, dia harus siap pula dikoreksi bila ia melanggarnya.
Di mata Van Gaal, disiplin adalah perihal yang tak boleh ditawar. Waktu dilatih Van Gaal, Xavi, legenda Barcelona, pernah mencemooh, ”Setelah dua hari latihan di bawah dia, saya berpikir, siapa gerangan orang idiot ini?”
Namun kemudian, Xavi, yang sekarang menjadi pelatih klub Catalan itu, mengakui, disiplin yang diletakkan Van Gaal merupakan keuntungan yang sempat diperolehnya sebagai pemain bola.
Juga rekannya, Andreas Iniesta, amat menghargai pelatih asal Belanda itu. Kata Iniesta, ”Dia adalah pelatih terpenting bagi saya.”
Menjelang Piala Dunia 2022, Van Gaal telah membuktikan kehebatan tim Oranye di bawah kepelatihannya. Belanda tak pernah kalah dalam 15 pertandingan, 11 kali menang, dan 4 kali seri. Ditambah kemenangannya, Selasa lalu, 2-0, melawan Senegal, beralasan bila Belanda disebut kuda hitam.
Namun, harus dicatat, menghadapi Senegal, Belanda belum memperlihatkan kelasnya. Van Gaal mengakui, para pemain asuhannya belum bermain dengan baik. ”Pemain-pemain kami kelihatan tegang. Sebelumnya kami pergi ke pantai, minum kopi. Namun, itu semua tak membantu juga,” katanya.
Melawan Ekuador, Van Dijk dan kawan-kawannya harus bisa melepas ketegangan itu. Van Gaal ingin agar mereka menjadi dirinya sendiri dan bermain sesuai dengan kemampuan mereka. Hal itu belum terjadi ketika mereka menghadapi Senegal walau mereka menang. Bila Belanda tidak bermain dengan cair dan bebas, Ekuador pasti akan menjadi lawan yang berbahaya dan mengancam mereka.