Sempat terpuruk yang membuat performanya jalan di tempat dan cedera parah, pelari Pretty Sihite bangkit berkat sentuhan sains olahraga. Salah satu dampaknya, dia bisa kembali menjuarai Borobudur Marathon di tahun ini.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
Pelari putri Pretty Sihite (25) sempat terpuruk yang membuat performanya jalan di tempat dan cedera patah telapak kaki kiri. Setelah mengevaluasi diri, pelari asal Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, itu menyadari ada yang salah dalam pola latihannya. Akhirnya, dengan sentuhan sains olahraga, dia bangkit dan menembus puncak prestasi, antara lain meraih emas lomba maraton Borobudur Marathon 2020 dan 2022.
”Waktu itu, saya berlatih dengan cara ortodok atau tradisional karena pemahaman minim. Selama di daerah, banyak pola latihan yang ternyata salah, tetapi dianggap benar karena sudah kebiasaan. Fenomena ini jadi penghambat dalam pembinaan sehingga regenerasi prestasi tidak berkelanjutan, salah satunya rekor nasional (rekornas) lari jarak jauh sulit dipecahkan,” ujar Pretty seusai pengalungan medali Borobudur Marathon 2022 Powered by Bank Jateng di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (12/11/2022).
Dengan langkah yang mantap, Pretty menjadi pelari putri pertama yang memasuki kompleks Candi Borobudur sehabis melahap lima putaran jalur lomba maraton yang mengitari kawasan candi Buddha terbesar di Indonesia tersebut. Berkisar 10-20 meter sebelum garis finis, telunjuk tangan kanannya beberapa kali mengacung ke langit dengan wajah semringah.
Sesampai di garis finis, Pretty mengangkat kedua tangan dan tersenyum lebar. Garis finis berwarna merah itu dibentangkan sebelum dikalungkan ke lehernya. Seusai panitia mengalungkan medali emas, pelari kelahiran 21 Desember 1996 itu melambaikan telapak tangan kanan kepada orang-orang di sekitar area finis.
Pretty finis pertama dengan waktu 3 jam 10 menit 44 detik. Dia unggul atas pelari asal Sumatera Barat Yulianti Utari yang finis kedua dengan 3 jam 15 menit 42 detik dan mantan ratu lari jarak jauh Indonesia Triyaningsih di urutan ketiga (3 jam 17 menit 21 detik).
Itu menjadi emas kedua Pretty dalam lomba maraton Borobudur Marathon setelah 2020. Catatan waktu kali ini juga mempertajam catatan waktu terbaik individunya atau personal best (PB) dari sebelumnya 3 jam 11 menit 51 detik saat finis pertama dua tahun lalu. Dia sekaligus meraih medali maraton ketiga di ajang ini setelah merebut perak dengan 3 jam 18 menit 59 detik tahun lalu.
”Prestasi ini buah dari latihan tanpa putus walaupun banyak kejuaraan ditunda dan dibatalkan selama pandemi Covid-19 (2020 dan 2021). Apalagi ini perlombaan maraton, sekali berhenti latihan maka sulit untuk kembali ke performa terbaik. Kerja keras dalam latihan itu pasti tidak akan membohongi hasil,” kata Pretty.
Proses perjuangan
Prestasi Pretty meraih dua emas dan satu perak di Borobudur Marathon itu bukanlah keberuntungan ataupun kebetulan belaka. Itu dicapai melalui proses panjang berliku yang diwarnai dengan perjuangan bercucur keringat, air mata, dan darah.
Pretty sempat berada di titik nadir dalam periode 2018-2021 atau ketika bergabung dalam pemusatan latihan nasional atau pelatnas Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia. Di sana, dia merasa tidak berkembang atau cenderung jalan di tempat.
Selama di pelatnas, Pretty masih fokus berlaga di nomor perlombaan lari 1.500 meter dan halang rintang 3.000 meter. Pada lari 1.500 meter, prestasi Pretty mentok di tingkat nasional. Adapun pada halang rintang 3.000 meter, dia pernah ikut sejumlah ajang internasional, tetapi belum bisa menyumbangkan prestasi terbaik, yakni finis ke-12 di Asian Games Jakarta-Palembang 2018 dan perunggu SEA Games Filipina 2019.
Oleh karena itu, Pretty mencoba peruntungan lain pada nomor lari jarak jauh dimulai dari 5.000 meter, 10 kilometer (km), dan separuh maraton (21,0975 km) sejak 2019, serta maraton (42,195 km) sejak 2020. Namun, alih disiplin perlombaan itu tidak semulus yang dibayangkannya.
Bahkan, Pretty jatuh terpuruk saat mengalami cedera patah telapak kaki kiri di awal 2020 dan butuh pemulihan total sekitar satu bulan. Pada momentum itu, dia mencari tahu apa yang membuat dirinya sulit untuk menjadi lebih baik. Dirinya bertanya kepada pelatih dan berdiskusi dengan tim medis di pelatnas, serta mengulik informasi dari sejumlah jurnal ilmiah dan dosennya di Program Strata Dua Jurusan Pendidikan Olahraga Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat.
Dari sana, Pretty menemukan jawaban atas permasalahan yang menghambatnya, yaitu pola pembinaan yang tidak tepat. Selama fase pembentukan dasar di daerah, dia terus dicekoki dengan latihan fisik dan teknik. Hal-hal lain yang turut mendukung kemajuan grafik atlet kurang diperhatikan, seperti penggunaan peralatan dan asupan nutrisi yang tepat.
Penggunaan sepatu lari misalnya. Selama ini Pretty salah kaprah mengenai masa pakai sepatu. Dia mengira sepatu bisa dipakai hingga sol atau telapak sepatu tipis. Ternyata masa kedaluwarsa sepatu itu berdasarkan jarak yang ditempuh. ”Jadi, kita harus paham berapa jarak tempuh maksimal sepatu yang dimiliki. Kalau sudah lewat, itu tidak bisa dipakai lagi. Kalau dipakai, itulah yang berisiko menyebabkan cedera,” tutur atlet binaan pelatih Wita Witarsa tersebut.
Secara umum, Pretty menemukan banyak kesalahpahaman dalam pembinaan olahraga di Indonesia, terutama atletik. Sering kali, atlet, pelatih, dan pemerintah tidak konsisten menjalankan roda pembinaan. Padahal, mengejar prestasi itu butuh proses yang tidak singkat.
”Prosesnya bukan sekadar satu-dua tahun, melainkan bisa lebih dari lima tahun, khususnya pada nomor lari jarak jauh. Kita harus benar-benar sabar mengarunginya,” ucap Pretty yang terdepak dari pelatnas seusai gagal membawa pulang medali dari lari 1.500 meter dan halang rintang 3.000 meter di Pekan Olahraga Nasional Papua 2021.
Pengejawantahan
setelah sedikit memahami pola pembinaan yang benar, Pretty mengejawantahkan ilmu-ilmu bermanfaat itu dalam latihannya. Hasilnya pun mulai terlihat, terutama pada lari maraton. Setidaknya, dalam tiga tahun terakhir, dia konsisten meraih prestasi bergengsi di ajang-ajang nasional, antara lain Borobudur Marathon.
”Menurut saya, ini fase terbaik tubuh saya. Makanya, saya bisa mencetak PB maraton di Borobudur Marathon kali ini. Selain latihan rutin, itu semua berkat pemahaman lebih baik dalam penggunaan peralatan dan asupan nutrisi yang tepat,” ungkapnya.
Akan tetapi, Pretty tidak ingin cuma merasakan sendiri manfaat dari ilmu-ilmu tersebut. Dia berniat menyebarkannya secara luas, terkhusus kepada para atlet yunior dan pelatih di daerah. Dirinya merasa pelatih daerah adalah ujung tombok regenerasi atlet di Indonesia.
”Masalahnya, sebagian besar pelatih daerah belum paham dengan pola pembinaan yang ideal, seperti masih ada yang memberikan program latihan atlet senior kepada atlet remaja-yunior. Memang cara itu bisa membuat grafik atlet muda cepat melesat. Tetapi, itu hanya sesaat. Memasuki level senior, biasanya atlet itu mengalami kejenuhan sehingga tidak berkembang lagi. Dengan kata lain, mereka hanya jadi atlet karbitan,” ujarnya.
Salah satu cara Pretty menyebarkan ilmu itu melalui tesis yang sedang disusunnya. Dia berharap karya ilmiahnya itu bisa tuntas tahun ini. Nantinya, karya itu bakal menjadi benih cakrawala berpikir terbarukan yang ingin ditebar secara luas agar bisa menumbuhkan buah-buah prestasi gemilang untuk olahraga Indonesia di masa depan.
”Salah satu keprihatinan saya, kenapa sulit sekali rekornas lari jarak jauh terpecahkan (seperti rekornas 10 km putra milik Eduardus Nabunome yang bertahan 33 tahun dan rekornas maraton putra Eduardus yang bertahan 29 tahun, atau rekornas maraton putri Triyaningsih yang bertahan nyaris 12 tahun). Saya yakin itu akibat minim sentuhan sains olahraga dalam pembinaan. Semoga kelak, tesis saya bisa menjadi rujukkan untuk mewujudkan pembinaan yang lebih baik,” kata Pretty yang bercita-cita menjadi pelatih.
Pretty Sihite
Lahir: Tapanuli Tengah, 21 Desember 1996
Pendidikan: S-1 Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Universitas Negeri Medan (2013-2017)