Kritik keras terus menyerang penyelenggaraan Piala Dunia Qatar, turnamen sepak bola akbar yang akan segera dibuka. Banyak penggemar memilih tidak berangkat menonton pesta bola terakbar di negara yang konservatif itu.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
AFP/GIUSEPPE CACACE
Suporter Argentina memotret suasana di Doha, 11 November 2022, sembilan hari sebelum pembukaan Piala Dunia Qatar 2022,
Sepak mula Piala Dunia Qatar 2022 tersisa empat hari, tetapi serangan kritik keras dan keraguan atas pesta bola akbar itu tidak berhenti. Piala Dunia perdana di Timur Tengah itu dianggap tidak ideal karena menabrak pakem waktu penyelenggaraan dan sejumlah kasus kontroversial.
Kapten Jerman saat menjuarai Piala Dunia Brasil 2014, Philipp Lahm, dalam kolomnya di koran Die Zeit menilai, adalah suatu kesalahan mengizinkan Qatar, negeri emirat di jazirah Arab, menyelenggarakan pesta bola terakbar itu. Qatar dianggap tak berkomitmen terhadap hak asasi manusia, misalnya pekerja migran dan kaum LGBT+.
“Masih terjadi kriminalisasi terhadap homoseksual,” kata Lahm, mantan penggawa Bayern Muenchen yang akan bertindak sebagai Direktur Pertandingan Piala Eropa Jerman 2024.
Lahm berpandangan, konstitusi Qatar belum mengakomodasi kesetaraan hak antara perempuan dan lelaki. Kebebasan pers dan kemerdekaan berekspresi pun turut dibatasi.
Seorang pria berjalan melewati poster bergambar La'eeb, yaitu maskot Piala Dunia Qatar di Doha, Qatar, Rabu (9/11/2022).
Sebelumnya, duta Piala Dunia dan mantan pemain Qatar, Khalid Salman, mengatakan, homoseksual merupakan kerusakan pikiran. Pernyataan itu menjawab pertanyaan dalam wawancaranya dengan televisi publik Jerman, ZDF. Pernyataan itu mengundang protes keras dan ancaman boikot dari fans tim-tim Bundesliga, misalnya Bayern Muenchen, Borussia Dortmund, Hertha Berlin, dan Borussia Moenchengladbach.
FIFA dianggap telah merusak sepak bola dengan tetap mengizinkan Qatar mengadakan Piala Dunia. Padahal, penunjukan Qatar sebagai tuan rumah dinodai dugaan praktik suap dan korupsi. Sepp Blatter terjungkal dari kursi Presiden FIFA.
Selain itu, sepak bola sesungguhnya bukan olahraga terpopuler di Qatar. Perempuan bahkan belum berkesempatan bermain sepak bola.
Berbagai atmosfer negatif itu membuat Lahm tidak tertarik terbang ke Qatar sebagai fans sepak bola. “Saya tidak akan pergi, selain mendukung (Jerman) dengan menonton di televisi,” katanya.
AFP/GABRIEL BOUYS
Suasana di pantai berhias spanduk La'eeb, maskot Piala Dunia Qatar 2022, 3 November 2022. Pesta bola akbar itu akan berlangsung pada kurun 20 November - 18 Desember 2022 dengan diikuti 32 tim.
Kritik pedas juga disuarakan duo pemain Manchester United, yakni gelandang Portugal, Bruno Fernandes; dan gelandang Denmark, Christian Eriksen. Turnamen yang diadakan di akhir tahun itu dianggap menabrak pakem. Selain itu, Qatar dikritik karena kurang melindungi hak-hak pekerja migran yang menurut catatan pemantau HAM terjadi kematian ratusan jiwa.
Qatar 2022 adalah Piala Dunia pertama yang diadakan pada November-Desember, alih-alih Juni-Juli seperti biasanya, untuk menekan dampak negatif iklim gurun yang teramat panas. Selain itu, kematian pekerja migran dikaitkan dengan lemahnya perlindungan dari serangan iklim gurun yang panas.
“Ini bukan waktu yang tepat dan kami inginkan untuk bermain di Piala Dunia,” kata Bruno sebelum jeda Liga Inggris.
Kematian pekerja migran sebagai bagian dari ambisi Qatar menghadirkan prasarana dan sarana bonafide bagi 1,2 juta pengunjung internasional bukan informasi yang ingin didengar. Piala Dunia Qatar gagal mewujudkan sepak bola bagi seluruh umat manusia.
Gelandang Portugal, Bruno Fernandes (kiri), bergembira bersama rekannya, Cristiano Ronaldo, seusai Bruno mencetak gol kedua pada laga persahabatan melawan Aljazair, Kamis (7/6/2018), di Estadio da Luz, Lisabon. Portugal memenangi laga kandang itu 3-0.
Seharusnya, sepak bola hadir untuk semua orang. “Pesta bola untuk fans, pemain, semua, untuk dinikmati dan seharusnya terwujud dalam jalan yang lebih baik daripada ini,” kata Bruno.
Eriksen sependapat dengan Bruno. Bahkan, dirinya mengkritik ancaman atau potensi kriminalisasi terhadap fans, pemain, dan ofisial dari LGBT+. “Kami pesepak bola, politik berada di luar dalam pengambilan keputusan. Kami tetap ingin menyuarakan sesuatu,” ujar Eriksen yang selamat dari ancaman kematian akibat serangan henti jantung di Piala Eropa 2020.
Secara terpisah, bekas petugas keamanan asal Kenya, Malcom Bidali (30), berbagi pengalaman tentang pekerjaan di Qatar yang pernah dijalaninya. Satu hal yang membuat dirinya tidak ingin menonton Piala Dunia di Qatar adalah karena lokasinya.
“Saya tidak bisa melihat stadion yang telah dibangun untuk laga Piala Dunia mengingat berapa banyak yang belum dibayar, pekerja yang menderita akibat kondisi kerja dan iklim, dan banyak yang mati,” katanya yang diusir dari Qatar pada 2021.
Bidali adalah aktivis pekerja migran untuk para korban kebijakan ketenagakerjaan Qatar. Bidali tiba di Qatar pada Januari 2016 dan bekerja sebagai petugas keamanan yang memantau kamera pengawas atau CCTV selama 12 jam per hari. Pendapatannya 420 dollar AS per bulan, lebih besar daripada jika bekerja di Kenya.
Mengonsumsi minuman beralkohol juga terbatas di bar atau lokasi tertentu yang telah diizinkan dengan harga yang tinggi. Berpakaian tidak sopan atau bermesraan di tempat publik juga dianggap kejahatan.
Namun, saat pindah ke perusahaan lain, pendapatannya turun menjadi 350 dollar AS per bulan. Bidali tinggal dalam kamar seluas 20 meter per segi bersama lima pekerja migran lainnya.
AFP/KIRILL KUDRYAVTSEV
Pekerja berjalan di luar Stadion Al-Thumama, Doha, Qatar, 8 November 2022, dua pekan jelang pembukaan Piala Dunia Qatar 2022.
Untuk bekerja di Qatar, Bidali membayar 1.200 dollar AS kepada agen tenaga kerja di Kenya. Selama di Qatar, Bidali mengklaim mengadukan kondisi kerja secara tertulis kepada Kementerian Dalam Negeri dan Ketenagakerjaan. Namun, tak satu pun keluhannya ditindaklanjuti.
Selanjutnya, Bidali menyuarakan situasi kerja di Qatar melalui laman migrant-rights.org. “Situasi kerja di Qatar seperti perbudakan,” katanya.
Bidali mendapat masalah ketika berbagai kritiknya menyinggung keluarga Emir Qatar. Dia ditangkap dan baru bisa dikeluarkan pada Agustus 2021 setelah hadirnya dukungan diplomatik dan internasional serta membayar denda 6.000 dollar AS.
Di sisi lain, Qatar menggelontorkan 220 miliar dollar AS atau Rp 3.410 triliun untuk penyelenggaraan Piala Dunia. Tak pelak, Qatar 2022 menjadi Piala Dunia termahal sepanjang sejarah.
Biayanya 15 kali lipat dari penyelenggaraan Piala Dunia Brasil 2014 sebesar 15 miliar dollar AS. Qatar menghabiskan 500 juta dollar AS setiap pekan untuk konstruksi, jalan, rumah sakit, hotel, bandara, stadion, dan kota sepak bola.
Pendukung Inggris saat berkumpul di Doha, Qatar, 11 November 2022, sembilan hari dari pembukaan Piala Dunia Qatar 2022.
Mengutip Daily Mail, Ashley Brown dari Free Lions bentukan Asosiasi Suporter Sepak Bola Inggris, mengatakan, tak lebih dari 4.000 pendukung "Tiga Singa" yang akan berangkat ke Qatar. Biaya yang terlalu tinggi mengakibatkan banyak fans memilih tidak berangkat.
Brown mencontohkan, akomodasi per malam menyentuh 400 poundsterling atau setara Rp 6,8 juta. Hak siar untuk pengelola hotel, apartemen, dan villa, juga terlalu tinggi, yakni 24.000 pounds atau Rp 408 juta. Para turis yang tidak punya tiket ke stadion juga terancam gagal menonton di layar kaca di penginapan. Bisa juga harga menonton bersama di bar terlalu tinggi.
Selain itu, hukum di Qatar membatasi aktivitas fans dalam mencari dan menikmati hiburan. Misalnya, membuang sampah merupakan kejahatan yang dapat membuat seseorang didenda amat besar atau penjara 1 tahun.
Mengonsumsi minuman beralkohol juga terbatas di bar atau lokasi tertentu yang telah diizinkan dengan harga yang tinggi. Berpakaian tidak sopan atau bermesraan di tempat publik juga dianggap kejahatan.
“Itulah yang memaksa sebagian besar tidak pergi sebab pembatasan yang ketat menjadikan Piala Dunia hanya sekadar turnamen sepak bola,” kata Brown.
Adapun penyelenggara berulang kali menyatakan, semua orang bakal diterima. CEO Piala Dunia Qatar 2022 Nasser Al Khater pernah mengaku mendukung hak-hak LGBT+ agar bisa diterima di negeri tersebut. Namun, di sisi lain, pengunjung juga perlu menghormati norma budaya Qatar yang berbeda.
“Kami selalu mengatakan bahwa semua orang diterima, tetapi kami meminta rasa saling menghormati untuk budaya kami,” katanya. (AP/AFP/REUTERS)