Tim-tim memillih markas dan lokasi yang beragam selama tinggal di Qatar. Inggris mencari markas sederhana, adapun Jerman mengincar resor mewah nan terpencil. Pengalaman berbicara, lokasi bisa menentukan prestasi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·6 menit baca
Inggris memilih tempat yang tidak terlalu menonjol di Kota Doha, yaitu Hotel Souq Al Wakra. Hotel sekaligus resor bebas alkohol itu berada di pinggir pantai dengan konsep tradisional, antara lain beratapkan jerami.
Southgate menghindari kejatuhan Tiga Singa seperti pada masa lalu. Kemewahan di markas adalah alasan utama tumbangnya generasi emas Inggris pada Piala Dunia Jerman 2006.
Jerman langsung berburu tempat setelah dipastikan lolos kualifikasi Piala Dunia 2022. Mereka memilih tinggal di resor mewah di tepi laut, Zulal Wellness, yang berada di ujung utara Qatar.
Posisi menentukan prestasi, demikian bunyi kalimat bijak yang kerap kita dengar selama ini. Pada ajang olahraga besar, seperti Piala Dunia FIFA, wejangan itu bukanlah isapan jempol.
Pada Piala Dunia Qatar 2022, tim-tim peserta berebut lokasi markas tinggal dan latihan (base camp) terbaik. Ada tim yang memilih lokasi terpencil dan menyulapnya menjadi ”rumah”, sebagian lagi mengubahnya menjadi villa mewah lengkap dengan fasilitas mentereng. Berbagai upaya itu dilakukan untuk membuat staf tim dan pemain kerasan selama sebulan menjalani turnamen.
Inggris misalnya, memilih resor sederhana sebagai tempat tinggal dan latihan tim selama sebulan berada di Qatar. Pelatih Inggris Gareth Southgate meyakini, markas yang sederhana mampu menebalkan kebersamaan antarindividu. Pilihan itu diambil berdasarkan pengalaman mereka di edisi-edisi lalu.
Pada Piala Dunia Rusia 2018 dan Piala Eropa 2020, tim Inggris menghindari markas yang mewah. Southgate memilih tempat tinggal sederhana, di area pinggiran yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Para pemain bintang dipaksa meninggalkan keglamoran mereka.
Harry Kane dan rekan-rekan tinggal di forRestMix Club Hotel, daerah Repino, pinggiran Kota St. Petersburg, Rusia, pada 2018. Hotel berarsitektur klasik di area pedesaan itu seperti kota ”hantu”. Saking sepinya, dikutip The Guardian, agen perumahan saja sampai kesulitan menjual properti di sekitar area itu.
Markas berlatar belakang pedesaan kembali digunakan ”Tiga Singa” di Piala Eropa lalu. Inggris memilih pusat sepak bola St George Park di Burton Upon Trent yang berjarak sekitar 215 kilometer atau tiga jam berkendara dari London. Markas mereka itu sama seperti di Repino yang punya fasilitas latihan modern, tetapi terpencil dan tidak banyak hiburan.
Hasilnya, pada 2018, Inggris menembus semifinal pertamanya di Piala Dunia dalam kurun 28 tahun atau sejak Piala Dunia Italia 1990. Lalu, di Piala Eropa 2020, yang digelar tahun lalu, Tiga Singa menembus final pertamanya di turnamen besar sejak Piala Dunia Inggris 1966.
Kedua capaian itu, meskipun belum juara, telah menginspirasi Southgate untuk mengulang prinsip sederhana di Qatar. Dia meminta markas di daerah terpencil. Namun, karena keterbatasan tempat, mengingat kondisi geografis Qatar yang tidak terlalu luas, Inggris mendapatkan markas yang tidak terlalu jauh dari pusat kota.
Di Piala Eropa lalu, Southgate bahkan mengundang penyanyi ternama, Ed Sheeran, sebelum menghadapi musuh bebuyutan, Jerman, di laga babak 16 besar. Dia sengaja melakukan itu untuk menghilangkan beban pasukannya.
Namun, mereka tetap memilih tempat yang tidak terlalu menonjol di Kota Doha, yaitu Hotel Souq Al Wakra. Hotel sekaligus resor bebas alkohol itu berada di pinggir pantai dengan konsep tradisional, antara lain beratapkan jerami.
Meskipun berbintang lima, hotel yang bisa dicapai dalam waktu hanya lima menit berkendara dari lapangan latihan mereka itu terbilang sederhana. Harga kamar per malamnya hanya sekitar Rp 2 juta. Harga itu jauh dibandingkan tim Amerika Serikat yang menginap di The Pearl, resor pulau reklamasi, yang harga per kamarnya sampai 100 kali lipat lebih mahal.
Southgate menghindari kejatuhan Tiga Singa seperti pada masa lalu. Kemewahan di markas adalah alasan utama tumbangnya generasi emas Inggris pada Piala Dunia Jerman 2006. Saat itu, para pemain Inggris yang diasuh Sven-Goran Eriksson berpesta bersama pasangannya di hotel mewah. Mereka seperti lupa ada pertandingan.
Kejatuhan itu lantas membuat pelatih selanjutnya, Fabio Capello, menjadikan markas Inggris bagaikan penjara pada Piala Dunia Afrika Selatan 2010. Capello mengeluarkan kalimat legendaris saat ditanya tentang markas timnya, saat itu. ”Kami di sini untuk bertanding, bukan liburan,” ucapnya.
Cilakanya, pendekatan ekstrem Capello itu ternyata juga gagal. Para pemain tenggelam dalam rasa bosan karena hanya boleh bertemu pasangannya seminggu sekali, tepat setelah laga. Mereka merasa terkekang. Jermain Defoe, salah satu anggota skuad Tiga Singa saat itu, bahkan sampai menonton video pernikahan Wayne Rooney berulang-ulang saking bosannya.
Pendekatan berbeda dilakukan Southgate, pelatih yang menangani Tiga Singa seusai Piala Eropa Perancis 2016. Southgate punya cara untuk mencegah kebosanan para pemainnya, meskipun memilih tempat yang jauh dari pusat kota. Dia suka membuat kegiatan dadakan, seperti kompetisi tenis meja hingga biliar. Sang pelatih juga tidak jarang mengundang pasangan dari para pemain, meskipun melarang mereka tinggal di markas tim.
Mengundang Ed Sheeran
Di Piala Eropa lalu, Southgate bahkan mengundang penyanyi ternama, Ed Sheeran, sebelum menghadapi musuh bebuyutan, Jerman, di laga babak 16 besar. Dia sengaja melakukan itu untuk menghilangkan beban pasukannya yang sering dikalahkan Jerman di turnamen besar. Hasilnya, Inggris menang pertama kalinya atas Jerman di turnamen besar sejak terakhir kali sebelumnya pada 2000.
Pendekatan gaya sederhana, tetapi tidak membosankan, ala Southgate itu akan kembali diulang di Qatar. Dia ingin memastikan pikiran timnya fokus ke pertandingan. Namun, pada saat bersamaan, ia juga tak ingin anak asuhannya kehilangan rasa bahagia saat bermain.
”Siasat perang” dari markas akan berpengaruh besar di Qatar. Nyaris semua pemain datang dalam kondisi lelah, baik fisik dan mental, seusai agenda padat di klub masing-masing. Dengan jeda istirahat terpendek sepanjang sejarah, yaitu hanya sepekan antara agenda klub dengan Piala Dunia, mereka butuh rumah terbaik untuk berlatih sekaligus beristirahat.
Melihat pentingnya lokasi markas, Jerman langsung berburu tempat setelah dipastikan lolos kualifikasi Piala Dunia 2022. Mereka tidak mau markas incarannya dicuri tim lainnya. Pelatih Jerman Hansi Flick memilih tinggal di resor mewah di tepi laut, Zulal Wellness, yang berada di ujung utara Qatar.
Jerman nampak ingin mengasingkan diri mengingat mayoritas tim lainnya berkumpul di Doha dan sekitarnya. Markas tim ”Panser” adalah yang terjauh, yaitu berjarak sekitar 112 kilometer dari Doha. ”Kami punya segalanya yang dibutuhkan di sana, mulai dari fasilitas latihan yang dekat sampai suasana tenang. Itu hal terpenting untuk saya,” kata Flick, pelatih yang pernah berjaya saat menangani Bayern Muenchen.
Manuel Neuer dan rekan-rekan ingin mengulangi memori indah saat menjadi juara dunia pada 2014 di Brasil. Pada saat itu, mereka menetap di markas bernuansa tropis, Hotel Campo Bahia. Resor mewah yang berada di tepi pantai itu membuat pemain bisa rileks sebelum dan setelah laga. Mereka tidak merasa terbebani status unggulan.
Jerman tersingkir dini di penyisihan grup setelah dikalahkan Korea Selatan asuhan Shin Tae-yong, pelatih yang kini menangani tim Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam 80 tahun, mereka pulang cepat.
Jerman tidak mau mengulang nasib buruk empat tahun lalu di Rusia. Saat itu, mereka menginap di sebuah kompleks hotel di Vatutinki, wilayah yang beriklim dingin di barat daya Moskwa. Meskipun tidak jauh dari ibukota Rusia, lokasi itu terpencil dan dikelingi hutan. Hangatnya sinar matahari, yang biasa mereka dapat saat di Brasil, tak dirasakan di Vatutinki.
Pasukan Jerman pun tak kerasan di resor dengan arsitektur klasik ala Soviet itu. Mereka bak terpenjara, seperti tahanan perang di masa Perang Dunia II. Kata Neuer, mereka tidak merasakan atmosfer meriah Piala Dunia dari tempat tersebut.
Mereka lantas pindah markas ke Sochi, kota di tepi Laut Hitam yang bermandikan sinar matahari. Pemindahan markas secara mendadak itu menguras emosi dan fisik mereka. Pengalaman buruk itu berubah menjadi sejarah kelam Jerman.
Tim berjuluk spesialis turnamen tersebut tersingkir dini di penyisihan grup setelah dikalahkan Korea Selatan asuhan Shin Tae-yong, pelatih yang kini menangani tim Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam 80 tahun, mereka pulang cepat.
Selain Jerman dan Inggris, tim-tim lain juga bersiasat. Perancis memilih resor mewah di Doha yang nyaman dan dekat dengan tempat latihan maupun arena laga. Adapun Spanyol dan Argentina tinggal di Qatar University yang punya fasilitas latihan ekstra lengkap.
Berbagai siasat itu dilakukan untuk menjadi yang terbaik di Qatar. Sebab, pepatah lainnya berkata, kemenangan berawal dari rumah. (AP/REUTERS)