Mendukung dengan Heboh, tetapi Tetap Menghormati
Dengan lantang dan bangga, saya menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” di tengah ratusan orang Vietnam yang hadir di ”venue” akuatik. Tak sedikit yang mengapresiasi. Saya merasakan dari senyuman dan acungan jempol mereka.
Tak hanya persaingan medali yang membuat SEA Games Vietnam 2021 terkesan seru dan sengit. Keberadaan suporter juga menjadi warna tersendiri. Teriakan dan sorak-sorai untuk atlet jagoan hingga cacian untuk tim lawan terdengar ingar bingar di setiap arena.
Para pendukung hanya punya tujuan untuk menyemangati atlet dari negaranya dan merasakan kegembiraan saat atletnya membawa pulang medali, syukur-syukur medali emas. Mereka juga kadang berusaha menjatuhkan mental lawan atau pendukung negara lain, tak peduli apakah bahasa mereka dimengerti atau tidak.
Hal itu terasa saat saya berkunjung sebagai penonton di arena atletik dan akuatik yang berada di kompleks My Dinh, Hanoi, Vietnam, Selasa (17/5/2022). Tidak sulit untuk masuk dan menonton pertandingan SEA Games di cabang atletik dan akuatik.
Di setiap arena, saya hanya perlu satu kali melewati gerbang pemeriksaan sinar X. Tas yang saya bawa memang perlu dimasukkan alat pemindai. Namun, tubuh saya sama sekali tak diperiksa.
Setelah itu, saya melenggang bebas ke arah stadion. Saya sempat sedikit kebingungan untuk mencari pintu masuk. Nyaris tak ada penanda. Kalaupun ada, tidak dalam bahasa Inggris. Saya pun tak paham apa arti tulisan di penanda itu.
Berbekal nekat dan bludas-bludus. Saya menemukan pintu masuk. Tak perlu tiket untuk masuk. Hanya perlu kepekaan telinga untuk mencari sumber keriuhan suara dukungan suporter. Suara itu yang menuntun saya akhir melihat langsung arena pertandingan.
Baca juga: ”Pesta” yang Samar, tetapi Terasa
Atletik
Di My Dinh National Stadium, tempat para atlet nomor atletik berlaga, ratusan orang bergerombol di tribune utara dan selatan. Posisi itu dipilih karena nomor lompat jangkit dan lompat jauh sedang diperlombakan di sisi utara. Sementara di sisi selatan dekat dengan lokasi finis nomor lari dan lokasi pengalungan medali para juara.
Sore itu saya justru memilih duduk di tribune barat. Saya melihat beberapa orang atlet, ofisial dan pelatih dari Indonesia. Beberapa di antara mereka adalah Abdul Hafiz yang baru saja meraih perak lempar lembing putra, Maria Londa yang membawa pulang perunggu di nomor lompat jangkit, Agustina Manik Mardika peraih perak lari 800 meter putri, dan Ong Kok Hin, pelatih tolak peluru Indonesia.
Mereka sedang mendukung atlet tolak peluru Indonesia, Eki Febri Ekawati, yang tengah berlaga. ”Wah, potensi emas nih,” batinku sembari berjalan mendekati mereka. Usai mengenalkan diri dan mohon izin bergabung, saya pun larut dalam sorak-sorai mendukung Eki yang tengah berjuang.
Saya dan para atlet langsung bersorak gembira mengelu-elukan nama Indonesia saat Eki mematok batas tinggi di percobaan pertamanya, 15,14 meter. Di percobaan kedua, raihan jaraknya menurun menjadi 14,48 meter. Ia kembali menunjukkan performanya di tolakan ketiga dengan jarak 15,05 meter.
Hingga putaran ketiga, Eki masih unggul dibandingkan lawan-lawannya. Hanya atlet Thailand, Areerat Intadis, yang membuat kami ketar-ketir. Intadis mampu mendekati Eki dengan lemparan terbaik, 15,04 meter.
Kami sempat terdiam dan lesu saat lemparan keempat Eki dinyatakan tidak sah. Kaki Eki menginjak balok. ”Coba itu sah, selesai sudah Thailand,” ujar Agustina Manik Mardika.
Beruntung di lemparan kelima Eki bisa mencatatkan lemparan terbaiknya hari itu. Ia mendapatkan jarak 15,20 meter. Areerat Intadis yang mencoba menyusul Eki justru gagal memperbaiki catatan lemparannya. Lemparannya juga dinyatakan tidak sah. Eki pun langsung bersujud syukur mengetahui hal itu.
”Indonesiiiaaaa…..!!! Emas pertama atletik…!!!,” teriak Maria Londa. Saya dan para atlet larut dalam kegembiraan. Kami berjingkrak, mengepalkan tangan, meneriakkan nama Eki dan Indonesia. Sementara Eki berlari kecil sembari membentangkan bendera Merah Putih.
Baca juga: Eki Penebus Dahaga Emas Atletik
Akuatik
Euforia yang sama juga saya rasakan saat berkunjung ke Aquatics Sport Palace, National Sport Compleks. Stadion akuatik yang digunakan untuk perlombaan renang dan menyelam ini hanya berjarak tak lebih dari 1 kilometer dari stadion atletik.
Keriuhan langsung memekakkan telinga saat saya masuk ke tribune penonton. Saat itu di lintasan renang sedang dipertandingkan nomor gaya bebas 4 x200 meter estafet putra.
Venue berkapasitas 2.800 orang itu penuh sesak. Hampir seluruh kursi terisi. Penonton yang duduk di dua baris terdepan memilih berdiri di dekat besi pembatas. Sebagian lainnya duduk sambil bersorak mendukung atlet jagoannya.
Malam itu, atlet Vietnam berlaga. Suporter Vietnam tentu bersorak untuk untuk empat perenang mereka. Setiap terjadi estafet dari satu perenang Vietnam ke perenang Vietnam lainnya, penonton bersorak sangat keras.
Sorakan makin memekakkan telinga saat perenang keempat Vietnam menyentuh finis. Gegap gempita. Mayoritas penonton yang hadir larut dalam kegembiraan.
Baca juga: Flairene Candrea, Metamorfosis Karier ”Si Penakluk Air”
Lagu kebangsaan
Laga gaya bebas 4 x 200 meter estafet putra malam itu ternyata merupakan nomor terakhir yang diperlombakan. Setelah itu, upacara pengalungan medali dilakukan. Perenang putri Indonesia, Flairene Candrea, masuk dalam jajaran penerima medali.
Perenang debutan itu menyumbangkan emas kedua bagi tim renang Indonesia. Flai merebut emas dengan catatan waktu 1 menit 3,36 detik di nomor 100 meter gaya punggung putri. Tak hanya itu, di sesi penyisihan, Flai memecahkan rekor nasional dengan catatan waktu 1 menit 3,23 detik.
Prestasi Flai membuat saya kembali mendengarkan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” berkumandang untuk kedua kalinya. Dengan lantang dan bangga, saya menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”. Sebagian orang di sekitar saya kaget dengan aksi yang saya lakukan, tetapi banyak yang mengpresiasi. Saya merasakan dari senyuman dan acungan jempol mereka.
Kamu dari Indonesia? Selamat ya! Kamu sangat cinta dengan negaramu ya.
”Kamu dari Indonesia? Selamat ya! Kamu sangat cinta dengan negaramu ya,” ujar Le Trung Kien, warga Vietnam yang duduk di samping saya.
Saat pengalungan medali Laga gaya bebas 4 x 200 meter estafet putra, saya juga ikut berdiri mendengarkan lagu kebangsaan Vietnam dikumandangkan malam itu. Ini bentuk penghormatan dan apresiasi saya kepada atlet dan negara yang meraih kemenangan.
Penghormatan dan apresiasi kepada negara yang menang sangat terasa. Baik di arena atletik maupun akuatik, penonton akan berdiri saat lagu kebangsaan dari negara mana pun dikumandangkan.
Di arena atletik, perlombaan yang sedang berjalan akan dihentikan sementara untuk memberi kesempatan lagu kebangsaan dikumandangkan saat pengalungan medali di nomor lainnya. Pertandingan kembali berjalan ketika lagu rampung dinyanyikan.
Baca juga: Mencoba ”Nge-drip” Langsung di Negara Asalnya, di Vietnam
Pendukung
Rasa menghormati antarpendukung merupakan salah satu fenomena positif yang saya temukan di SEA Games Vietnam 2021. Di atletik, pendukung tuan rumah bahkan memberikan penghormatan kepada pelari dari negara lain yang jauh tertinggal.
Saat pelari Vietnam sudah mencapai finis, ada seorang pelari dari negara lain yang masih harus menyelesaikan satu putaran. Saat sang pelari itu melintasi tribune yang dipenuhi warga Vietnam, tepuk tangan bergemuruh. Sang pelari membalasnya dengan lambaian tangan sembari memasuki garis finis.
Suporter memang punya kekuatan magis dalam setiap pertandingan atau perlombaan. Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PP PGSI) Trimedya Panjaitan mengakui hal itu.
”Suporter sangat berpengaruh. Benar kalau disebut suporter itu pemain ke-12 dalam sepak bola. Dukungan suporter itu bisa membangkitkan semangat atlet sekaligus membuat ciut nyali lawan,” ujarnya.
Trimedya mengakui Pemerintah Vietnam berhasil mengoordinasi dan mengerahkan warganya untuk mendukung atlet-atletnya. Ia berharap, hal ini bisa dicontoh Indonesia saat menjadi tuan rumah gelaran serupa.
”Saat ada atlet Vietnam bertanding, arena gulat punuh. Sebanyak 80 persen isinya suporter Vietnam. Mereka menyebar di berbagai sisi. Tiap sisi ada koordinator lapangannya masing-masing. Pertandingan di atas pukul 14.00 dipenuhi anak-anak sekolah. Luar biasa memang,” ujarnya.
Seperti di arena gulat, apa yang saya alami dan rasakan di arena atletik dan akuatik juga terasa. Warga dengan sukacita datang mendukung atletnya. Lagi pula Pemerintah Vietnam menggratiskan tiket di banyak pertandingan.
Baca juga: Dari Penyambutan hingga Akomodasi Suporter, Bentuk Dukungan KBRI di Hanoi
Hanya pertandingan tertentu, seperti sepak bola, yang dipungut biaya. Di sepak bola, tiket dijual 200.000 hingga 300.000 VND atau setara dengan Rp 127.000 hingga Rp 190.000.
Upaya untuk pengerahan suporter sebenarnya juga telah dilakukan oleh KBRI Hanoi. Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Denny Abdi mengatakan, pihaknya berupaya untuk mengerahkan warga Indonesia yang ada di Vietnam untuk dapat mendukung atlet yang sedang berlaga. ”Kami menggunakan media sosial untuk menyampaikan jadwal dan tempat pertandingan dan juga informasi tentang transportasi. Kami juga menyediakan bantuan untuk pemesanan tiket,” ujarnya.
Di seluruh Vietnam, ada 600 warga negara Indonesia. Di bagian selatan, di Ho Chi Minh dan sekitarnya ada 400 orang, sedangkan di bagian utara, di Hanoi dan sekitarnya ada 200 orang. Khusus di Hanoi, mereka adalah tenaga terampil yang biasanya sibuk bekerja di hari biasa. Namun, pada akhir pekan, Denny melihat ada keaktifan warga Indonesia untuk datang ke lokasi pertandingan demi bisa mendukung atlet Indonesia.