Ketika Asmara dan Prestasi Berkelindan di Vietnam
Kisah Fathur Gustavian dan Dewi Laila Mubarakoh mengingatkan kita pada ”Pengantin Emas” bulu tangkis, Susy Susanti dan Alan Budikusuma. Mereka sekali lagi membuktikan cinta bisa merubuhkan kesulitan di arena.
Indonesia pernah punya pasangan atlet legendaris, Susy Susanti dan Alan Budikusuma. Mereka dijuluki ”Pengantin Emas” setelah mengawinkan emas bulu tangkis nomor individu di Olimpiade Barcelona 1992.
Kisah serupa terulang di arena menembak SEA Games Vietnam 2021. Dua kekasih petembak Indonesia, Dewi Laila dan Fathur Gustavian, kembali membuktikan cinta bisa meruntuhkan berbagai tantangan dan kesulitan.
Fathur dan Dewi menunjukkan, baik sebagai kekasih maupun atlet, mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Namun, kisah kasih mereka berbeda dari pasangan kebanyakan. Ketika pasangan lain memadu kasih di tempat-tempat romantis, mereka melakukannya di arena menembak. Perjuangan mereka pun berbuah manis dengan raihan dua medali emas untuk Indonesia.
Tanpa Fathur, barangkali tidak akan ada emas menembak bagi Indonesia. Demikian pula sebaliknya. Tanpa Dewi, Fathur mungkin tidak akan mampu menaklukkan petembak Singapura, Zen Joi Lionel Wong, di final nomor senapan angin 10 meter individu putra.
Baca juga: Fathur Raih Emas, Indonesia "Kawinkan" Gelar Menembak
Ketika Fathur dan Wong berlomba memperebutkan emas, ketegangan menyelimuti arena menembak SEA Games di National Sports Training Center, Hanoi, Selasa (17/5/2022) siang. Fathur, yang unggul tipis 0,1 poin, mendapat ancaman serius dari Wong. Tembakan terakhir pun akan menjadi penentu pemenang final tersebut. Raut wajah Fathur seketika tegang.
Meski begitu, dia berusaha mengendalikan perasaannya. Sesaat sebelum aba-aba menembak dimulai, Fathur menoleh ke arah tribune. Dia termenung selama lima detik. Matanya tak berkedip memperhatikan Dewi dan rekan-rekannya berteriak memberikan semangat.
Setelah menatap ke tribune, Fathur menghela napas. Dia kembali memfokuskan pandangannya ke arah sasaran. Begitu aba-aba menembak terdengar, ia memusatkan konsentrasi. Setelah cukup yakin, dia lalu melepaskan tembakan.
Layar monitor di atas arena menunjukkan Fathur memperoleh 10,9 poin di tembakan terakhir. Medali emas pun resmi menjadi milik Fathur. Dia memenangi final itu dengan perolehan 247,4 poin, adapun Wong 246,5 poin.
Mengetahui dirinya berhasil merebut emas, Fathur langsung mengepalkan tangan dan berteriak. Matanya pun berkaca-kaca di tengah keriuhan penonton. ”Di tembakan terakhir, saya berpasrah. Ternyata, kena 10,9. Saya sempat tidak menyangka,” katanya.
Berbalut ”Merah-Putih”
Sejurus kemudian, Fathur menghampiri Dewi yang baru turun dari tribune. Keduanya berpelukan sembari membawa ”Sang Merah-Putih”. Bila sehari sebelumnya Fathur yang berteriak menyemangati Dewi, hari itu, dia melakukan hal sebaliknya. Berkat dukungan Fathur, Dewi melampaui rintangannya dan mampu memberikan kejutan dengan raihan emas di nomor yang sama.
Keberadaan Dewi juga membuat Fathur bertahan menghadapi tekanan saat lomba. Saat tembakannya jauh dari target, Fathur selalu menoleh ke tribune. ”Saya merasa mereka memberi kekuatan ke saya. Saya menembak dibantu mereka. Jadi, tidak sendiri,” kata Fathur kemudian.
Bagi Dewi, Fathur adalah orang yang memahami kebutuhan dirinya, meskipun dia harus kehilangan kesempatan bersama untuk sementara. Sehari sebelum berlomba, Dewi merasa tidak mampu fokus dan memusatkan pikirannya.
Ini menjadi contoh bahwa hubungan itu saling mendukung. Bukan saling menjatuhkan. Mereka menjalani suka dan duka bersama, tidak saling meninggalkan. (Ipung Saeful)
Seperti kebiasaannya, Dewi memilih menyendiri selama satu hari penuh. Dia mematikan ponsel dan menghindari kontak dengan orang-orang di sekitarnya. Ketika itu, Fathur cemas dan menanyakan keadaannya.
”Meskipun sama aku, kamu enggak mau ketemu juga?” ucap Dewi menirukan perkataan Fathur.
Dewi mengiyakan pertanyaan itu. Fathur tidak marah dan mencoba mengerti. Ia membiarkan kekasihnya itu menyendiri sejenak.
Saling mendukung
Seolah melupakan sikap dingin Dewi sehari sebelumnya, Fathur tetap menjadi orang terdepan yang memberikan dukungan saat kekasihnya itu tampil. Sepanjang perlombaan, Fathur tiada henti berteriak memberikan semangat. Ketika orangtua Dewi tidak bisa mendukung secara langsung di Hanoi, Fathur menggantikan peran mereka.
Sama seperti Dewi, Fathur juga mendapatkan semangat dan energi baru ketika menatap mata kekasihnya. Luapan semangat dari orang terkasih itu menjadikan Fathur yakin dirinya mampu memenangi final, kemarin.
Ipung Saeful Tammammie, pelatih tim menembak Indonesia, bercerita, Fathur dan Dewi sudah saling mengenal sejak 2014 atau beberapa saat sebelum PON Remaja di Jawa Timur. Mereka tergabung di pemusatan latihan daerah (puslatda) Jawa Barat. Dimulai dari latihan bersama, perasaan mereka bertumbuh, melewati suka maupun duka.
Selama menjalani hubungan, keduanya saling mendukung karier masing-masing. Fathur dan Dewi sama-sama selalu ada saat salah seorang di antaranya membutuhkan. Sebagai contoh, ketika belum berhasil mewakili Jawa Barat di PON Papua 2021, Dewi sempat terpukul.
Baca juga: Penebusan Tertunda Dewi Laila Mubarokah
Namun, Fathur menghibur Dewi dan membesarkan hatinya. Sebaliknya, karena tidak tampil di PON, Dewi pun mengerahkan tenaga untuk mendukung Fathur sepenuhnya. Dukungan dari Dewi memantik semangat Fathur sehingga berhasil menyabet tiga medali emas di PON.
”Ini menjadi contoh bahwa hubungan itu saling mendukung. Bukan saling menjatuhkan. Mereka menjalani suka dan duka bersama, tidak saling meninggalkan,” kata Ipung.
Ipung menambahkan, pihaknya tidak membatasi para atlet untuk menjalin hubungan asmara. Hanya saja, mereka harus bisa profesional dan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Jangan sampai masalah pribadi berdampak terhadap performa mereka di lapangan.
Setelah SEA Games, Fathur dan Dewi memancang target yang lebih tinggi. Selain terus saling mendukung untuk mengejar prestasi lebih tinggi, kedua pasangan atlet itu juga memutuskan akan menikah pada tahun ini.
Maria Londa dan suami
Dukungan pasangan di arena juga memotivasi atlet lompat jauh kawakan, Maria Natalia Londa, untuk memberikan upaya terbaik di Vietnam, meskipun dalam situasi tak mudah. Dibayangi cedera lutut kambuhan, Maria masih mampu meraih medali perunggu lompat jauh dan lompat jangkit.
Ia senantiasa didampingi pelatih sekaligus suaminya, I Made Sukariata. ”Sabarnya saya (meneruskan karier) karena banyak yang mendukung dan sayang ke saya, salah satunya Made. Jika tidak, mungkin saya sudah lama menyerah,” ujar Maria yang sempat berniat pensiun, akhir 2019 lalu.
Baca juga: Maria Londa Raih Perak Golden Fly Series 2021
Maria mengatakan, awal perkenalannya dengan Made terjadi pada 2003 ketika mereka sama-sama berstatus atlet Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Bali. Mereka sering bertemu di asrama karena satu pelatih dan satu nomor pertandingan, yakni lompat jauh dan lompat jangkit.
Kedekatan keduanya semakin erat pada 2004 karena menjadi rekan permanen dalam berlatih. Kedekatan itu terus terjadi sampai 2019 sewaktu Made memilih ”banting setir”: menjadi pelatih. Sejak 2018, Made memang mulai mengambil kursus kepelatihan lompat level 1 dan level 2 nasional serta strength and conditioning level 1.
Beralihnya Made menjadi pelatih bukan berarti keduanya terpisah. Justru, mereka menjadi kian erat sebagai satu hati. Sebab, pada 2019, Made lantas melamar dan menikahi Maria. ”Kami menikah di Kuta Bali, 19 September 2019. Saya bingung juga kenapa bisa sama dia. Karena sudah telanjur nyaman sepertinya,” kata Maria sambil tertawa.
Saling pamer prestasi
Maria mengisahkan, saat sama-sama menjadi atlet, mereka selalu bersama dalam membela Provinsi Bali dalam sejumlah kejuaraan level nasional, seperti Kejuaraan Nasional Atletik dan Pekan Olahraga Nasional (PON). Dari sejumlah momen bersama itu, mereka saling dukung satu sama lain. Salah satu cara unik mereka adalah saling pamer prestasi untuk memacu motivasi masing-masing.
”Walau kadang nyebelin, Made tidak pernah iri kalau saya berprestasi lebih baik. Malah dia lebih sering memotivasi saya. Dia terus mendorong saya untuk berprestasi biar tidak malu-maluin,” ujar atlet kelahiran 29 Oktober 1990 tersebut.
Dirinya sangat bersyukur bisa bersama dengan Made, sosok yang disayanginya dari masa awal menjadi atlet hingga pengujung kariernya. Keduanya bisa lebih mudah untuk saling mengerti karena menggeluti dan menyukai bidang yang sama.
Bahkan, hidup menjadi lebih berwarna tatkala berlomba didampingi sosok tercinta. Berkat itu, rasa sakit yang dirasakan menjadi tidak seberapa besar. Rasa kecewa yang dirasakan pun menjadi tidak terlalu dalam karena suka dan duka dilalui dan dipikul bersama-sama.
Efek positif
Efek positif itu tampak betul dalam kiprah Maria, akhir-akhir ini. Sejatinya, Maria telah berniat pensiun sebagai atlet seusai meraih emas lompat jauh dan perak lompat jangkit SEA Games Filipina 2019. Salah satu alasannya adalah cedera lutut yang kadang kambuh dan mengganggu latihan maupun performa dalam perlombaan.
Walau kadang nyebelin, Made tidak pernah iri kalau saya berprestasi lebih baik. Malah dia lebih sering memotivasi saya. Dia terus mendorong saya untuk berprestasi biar tidak malu-maluin. (Maria Londa)
Namun, Made coba meyakinkan bahwa Maria belum habis. Maka itu, Maria memutuskan tetap melanjutkan kariernya sampai kini. Maria pun seolah terlahir kembali. Selain masih bisa merebut emas PON Papua 2021, dia bisa membawa pulang perak ajang lompat jauh elite dunia, Golden Fly Event Series Jumps Meet di Phuket, Thailand, akhir tahun lalu.
Prestasi itu berlanjut di SEA Games Vietnam 2021. Di tengah segala hambatan, Maria bisa membawa pulang perunggu lompat jauh dan lompat jangkit dari pesta olahraga terbesar antarnegara Asia Tenggara tersebut. Capaian itu memang cenderung menurun dibandingkan prestasi tiga tahun lalu, tetapi cukup optimal untuk Maria yang memang tidak muda lagi dan baru pulih dari cedera, akhir-akhir ini.
Baca juga: Maria Londa di Jalur Kebangkitan Kedua
”Ini kedua kalinya Made mendampingi sebagai pelatih saya. Rasanya agak aneh karena Made masih takut-takut untuk bersikap tegas kepada saya pas latihan. Dia masih sering terbawa suasana sebagai suami. Padahal, di lapangan, statusnya pelatih yang tidak boleh segan untuk tegas ke atletnya,” ungkap terang Maria.
Sebelum keduanya bertolak ke Vietnam, Made pernah menyampaikan, salah satu yang paling dikaguminya dari Maria ialah semangat juang yang luar biasa. Maria tidak pernah menyerah begitu saja walau kadang merasa sakit karena beberapa kali dihantam cedera. Sebagai orang yang spesial, Made tak henti-henti juga untuk terus memupuk semangat itu agar tak goyah.
Keduanya memang serasi. Maria punya jiwa pantang menyerah tinggi, sebaliknya Made merupakan sosok motivator ulung. Boleh jadi, itu pula yang menjadi resep rahasia kenapa Maria memiliki karier cukup panjang dan selalu diwarnai dengan prestasi.
Kisah Fathur-Dewi dan Londa-Made menunjukkan, asmara dan prestasi tidak jarang saling berkelindan di olahraga. Keduanya tidaklah saling menegasikan, tetapi justru saling menguatkan, setidaknya terlihat di SEA Games Vietnam.