Untuk pertama kali sejak 13 tahun silam, Antonio Conte membuat tim asuhannya kalah tiga kali beruntun. Manajer kelas dunia ini mulai kesulitan menangani Spurs yang berstatus tim medioker.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LONDON, MINGGU — Fase bulan madu manajer Antonio Conte bersama Tottenham Hotspur resmi berakhir setelah tim asuhannya menelan tiga kekalahan beruntun di Liga Inggris. Tren buruk ini menjadi cermin realitas untuk Conte yang baru tiga bulan melatih. Dia hanya manajer, bukan pesulap, tidak bisa mengubah tim medioker jadi papan atas dalam sekali jentikan jari.
Spurs takluk dari tim tamu Wolverhampton Wanderers 0-2 di markas sendiri, Stadion Tottenham Hotspur, pada Minggu (13/2/2022). Turun dengan skuad terbaik, mereka kalah akibat kecerobohan di lini pertahanan pada 18 menit awal. Kecerobohan itu berbuah dua gol cepat lawan dari penyerang Raul Jimenez dan gelandang Leander Dendoncker.
Sepasang gol Wolves berasal dari skema yang nyaris sama. Dua-duanya melibatkan kiper sekaligus kapten tim, Hugo Lloris. Lloris mencoba untuk mengamankan bola, tetapi tepisannya justru jatuh di kaki lawan. Pemain tim tamu tanpa kesulitan mengeksekusi peluang yang jatuh dari langit tersebut.
”Penampilan tadi cukup baik. Masalahnya adalah kami memulai laga dengan kemasukan dua gol. Sulit untuk bangkit ketika kami memulai dengan skor 0-2. Pada akhirnya, ini adalah kekalahan untuk kami. Itulah yang dihitung, tidak peduli betapa bagusnya kami bermain,” ucap Conte seperti dikutip BBC Sport.
Bagi Lloris dan rekan-rekan, ini merupakan kekalahan ketiga beruntun di liga. Mereka yang menyimpan beberapa laga belum dimainkan justru tidak bisa mengambil satu pun poin. Klub berjuluk ”Si Lili Putih” ini pun turun hingga peringkat ke-8, juga disusul oleh Wolves.
Conte, setelah menggantikan manajer sebelumnya, Nuno Espirito Santo, pada November 2021, sempat menjalani fase bulan madu. Spurs tidak terkalahkan di liga selama dua setengah bulan, dalam sembilan pertandingan. Rekor kemenangan mereka mencapai 66,6 persen.
Namun, performa klub asal London ini tiba-tiba terjun bebas dalam tiga laga terakhir. Conte yang terkenal sebagai motivator hebat tidak mampu membangunkan tim. Adapun sang manajer tidak pernah mengalami kekalahan tiga kali berturut-turut dalam 13 tahun terakhir melatih. Hal ini cukup untuk memperlihatkan bahwa Conte belum mampu meningkatkan status medioker Spurs.
Menurut Conte, Spurs memang masih memiliki pemain kunci, seperti Harry Kane dan Heung-min Son yang tampil di final Liga Champions 2019. Namun, dia menilai, banyak yang telah berubah dalam tiga tahun terakhir. Tim ini seperti kehilangan jiwa juara karena sudah paceklik gelar sejak 2008.
Masalahnya adalah Anda tidak bisa membeli mentalitas juara. Mentalitas pemenang sangat dibutuhkan.
”Masalahnya adalah Anda tidak bisa membeli mentalitas juara. Mentalitas pemenang sangat dibutuhkan. Ketika bermain, Anda harus siap membunuh lawan untuk bertahan hidup. Hal itu akan membuat perbedaan besar dalam setiap duel di lapangan. Saya selalu mengatakan, pekerjaan ini tidak mudah. Kami butuh waktu banyak untuk bisa terus berkembang,” kata manajer yang pernah mengantar Chelsea juara liga tersebut.
Di sisi lain, skuad Spurs saat ini tampak tidak memiliki jati diri. Hal itu disebabkan pergantian pelatih empat kali dalam rentang kurang lebih dua tahun. Santo, pelatih terakhir sebelum Conte, bahkan hanya melatih empat bulan sebelum dipecat. Spurs kehilangan sosok Mauricio Pochettino yang menukangi tim cukup lama, pada 2014-2019.
Pekerjaan Conte semakin berat karena Kane belum menunjukkan kualitasnya musim ini. Dia baru menghasilkan lima gol dan dua asis dalam 21 penampilan. Tidak terlihat performa penyerang yang musim lalu memuncaki daftar gol (23) dan asis (18) di liga itu.
Sementara itu, dua pemain baru Spurs yang datang pada bursa transfer Januari, yaitu Dejan Kulusevski dan Rodrigo Bentacur, masih belum banyak berkontribusi. Para mantan pemain Juventus ini masih perlu beradaptasi dengan atmosfer permainan Liga Inggris yang jauh lebih intensif.
”Pendukung kami perlu memahami. Anda mungkin harus bersabar untuk menunggu tim ini membangun ulang sesuatu yang pernah didambakan pada masa lalu,” pungkas Conte yang dijuluki sebagai spesialis juara liga.
Taring Wolves
Wolves justru terus menebar harapan untuk bisa finis di empat besar pada akhir musim. Padahal, harapan itu lebih seperti mimpi di siang bolong pada awal musim. Wolves yang kedatangan pelatih baru pada musim panas, Bruno Lage, sempat kalah tiga kali beruntun saat laga pembuka.
Tim berjuluk ”Sang Serigala” ini sudah menemukan ritme bermain sejak Desember. Jimenez dan rekan-rekan meraih lima kemenangan dalam tujuh laga teranyar. Hal itu membuat mereka hanya terpaut 4 poin dari peringkat ke-4 yang ditempati West Ham United. Adapun Wolves punya dua laga lebih sedikit dibandingkan West Ham.
”Kami berada di sini untuk menghadapi setiap pertandingan dan menciptakan tekanan untuk tim lain. Kami berhasil melakukannya hari ini. Sekarang kami akan bekerja lagi untuk minggu depan. Kami perlu melanjutkan tren ini,” ucap Lage yang baru musim ini menukangi tim divisi teratas di Inggris.
Bagi Lage, kemenangan memang penting, tetapi itu bukan tujuan utamanya. Sang manajer lebih mengutamakan anak asuhannya bermain bagus. Dia meyakini, hasil positif akan datang sendiri jika mereka bisa tampil sesuai rencana.
”Saya mengatakan kepada para pemain, yang terpenting adalah cara kami bermain. Saya kesal setelah pertandingan melawan Norwich dan Arsenal karena kami tidak bermain seperti yang diinginkan. Kami datang ke sini dengan motivasi itu, dan itu berhasil. Cara bermain yang akan memberi banyak hal, mulai dari gol hingga poin,” pungkasnya. (AP)