Rafael Nadal, Raja "Grand Slam" yang Ditempa Cinta
Rafael Nadal membuktikan kekuatan tekad dan mental mampu melampaui logika. Dalam usia yang tidak lagi muda dan dirongrong cedera, ia mengklaim takhtanya sebagai ”raja” tenis putra. Semua itu ditempa oleh cinta tak biasa.
Oleh
YULVIANUS HARJONO
·5 menit baca
Rafael Nadal (35), petenis veteran asal Spanyol, menjungkirbalikkan nalar, prediksi, sains olahraga, bahkan emosi, ketika merebut gelar juara tunggal putra Australia Terbuka di Melbourne, Australia, Minggu (30/1/2022). Sempat diragukan bisa kompetitif karena baru pulih dari cedera kaki bawaan dan lama menepi, ia mengalahkan lawannya yang lebih muda dan jauh diunggulkan, Daniil Medvedev (25).
Berkat gelar juara di Melbourne Park, Nadal menjadi petenis putra pertama di dunia yang mengoleksi 21 gelar Grand Slam. Ia melampaui dua rival terberatnya, Novak Djokovic dan Roger Federer, yang masing-masing mengemas 20 trofi. Tak heran, sejumlah pihak saat ini menyebutnya sebagai petenis terhebat sepanjang masa.
Padahal, empat bulan lalu, Nadal masih dibantu kruk untuk berjalan. Ia pun harus absen di Amerika Serikat Terbuka 2021, September lalu. Jangankan juara, bisa kembali tampil di panggung tertinggi tenis, seperti Grand Slam, terdengar mustahil. Pensiun, ketika itu, menjadi opsi yang lebih masuk akal.
Namun, Nadal enggan kalah sebelum bertarung. Pelan-pelan, ia kembali berlatih dan mulai pulih pada Desember lalu. Ia pun sempat tampil di Mubadala World Championship, ajang ekshibisi di Uni Emirat Arab, 16-18 Desember lalu. Bukan hanya kalah di semifinal, ia pun pulang dari UEA terkena Covid-19. Tubuhnya kolaps, ia pun harus terbaring empat hari. ”Saya hancur secara fisik,” ujarnya, dikutip Tenis365, saat itu.
Bagi atlet biasa, kesulitan bertubi-tubi seperti itu bisa berdampak destruktif. Namun, tidak dengan Nadal. Meskipun terlahir di keluarga sangat mapan—ayahnya pemilik perusahan asuransi—Nadal tidak lantas hidup manja. Sejak usia tiga tahun, ia telah digojlok di lapangan tenis oleh paman yang sekaligus menjadi pelatihnya, Toni Nadal.
Dalam bukunya berjudul Rafa: My Story (2011) yang ditulis John Carlin, Nadal bercerita, Toni bersikap keras terhadapnya, melebihi murid-murid sebayanya. Sebagai contoh, jika Nadal kehilangan fokus saat berlatih, Toni sering melempar bola ke arahnya. Teriakan dan omelannya pun terasa seperti ”tonjokan di ulu hati”.
Lalu, ketika anak-anak sebayanya bisa pulang, Nadal tak bisa serta-merta beristirahat seusai berlatih. Ia disuruh Toni memunguti seluruh bola dan menyapu tanah liat dari permukaan lapangan. Jika Nadal lupa membawa botol minumnya, ia bahkan dibiarkan kehausan di tengah sengatan terik matahari di Mallorca, daerah asalnya.
Dalam wawancaranya dengan BBC, baru-baru ini, Toni bercerita, ia bersikap keras karena menyadari besarnya potensi keponakannya itu. ”Saya menuntut banyak darinya karena saya sangat peduli dengannya. Saya yakin dia bisa mengatasi berbagai tekanan itu,” ujarnya.
Saya menuntut banyak darinya karena saya sangat peduli dengannya. Saya yakin dia bisa mengatasi berbagai tekanan itu
Ibarat banteng
Sejak kecil, di mata Toni, Nadal memang berbeda. Ia pemberani. Ketika memegang raket, sorot matanya tajam, seperti toro bravo, banteng adu di Spanyol. ”Ketika anak-anak seumurannya terpaku dan menunggu bola, Nadal sebaliknya. Ia justru berlari menyambut bola pukulan saya,” kenang Toni.
Toni pun tumbuh persis seperti toro bravo. Dia sangat agresif, kuat, lincah, dan pantang menyerah. Pemain yang memiliki logo khas berupa dua tanduk banteng dan petir itu pun dijuluki ”si banteng mengamuk”. Akhir pekan lalu, Medvedev menjadi korban amukan Nadal. Babak belur dan terpojok karena tertinggal dua set awal, Nadal enggan menyerah melawan unggulan kedua itu.
Tampil selama 5 jam dan 24 menit—laga terlama kedua sepanjang sejarah di final Grand Slam—ia mengerahkan energinya tersisa untuk bangkit. Di luar dugaan, unggulan keenam tersebut memenangi tiga set tersisa secara dramatis dan memaksa “sang matador” dari Rusia, Medvedev, bertekuk lutut.
Untuk kali pertama di era Terbuka, seorang petenis menjadi juara Australia Terbuka setelah nyaris tanpa harapan dan tertinggal dua set. Tidak kalah menariknya, rekor itu diukir Nadal, petenis yang selama ini kesulitan juara di lapangan keras, seperti Melbourne Park. ”Nadal mengubah misi mustahil menjadi keajaiban,” puji The Telegraph soal perjuangan ”sang raja lapangan tanah liat” di Australia.
Diakui Nadal, yang tampak sangat emosional saat memenangi gelar itu, trofi Grand Slam di Australia sangatlah spesial baginya. Dari sekian banyak gelar yang ia raih, hanya dua kali ia bisa juara di Melbourne Park. Terakhir sebelumnya pada 2009.
”Beberapa bulan lalu, kami sempat bergurau tentang (kondisi) kami berdua yang memakai kruk. Nyatanya, kini ia (Nadal) juara. Luar biasa. Janganlah pernah meremehkan seorang juara sejati,” ujar Federer (40), rival sekaligus sahabat Nadal yang juga tengah memulihkan diri dari cedera.
Selain rekor Grand Slam terbanyak sepanjang sejarah, Nadal kini menjadi petenis putra kedua di era Terbuka, selain Djokovic, yang mampu meraih minimal dua trofi dari empat Grand Slam, yaitu Australia Terbuka, Wimbledon, Perancis Terbuka, dan AS Terbuka. ”Saya sangat bangga dan merasa beruntung bisa meraih satu lagi hal spesial dalam karier saya,” ujarnya dikutip AFP.
Jujur saja, saya tak terlalu peduli apakah saya yang paling banyak (meraih Grand Slam), terbaik sepanjang sejarah, atau bukan. Bagi saya, hal terpenting adalah menikmati momen seperti malam ini. Itu segalanya bagi saya,
Namun, baginya, rekor bukanlah segalanya, hal yang menjadi tujuannya bertanding. ”Jujur saja, saya tak terlalu peduli apakah saya yang paling banyak (meraih Grand Slam), terbaik sepanjang sejarah, atau bukan. Bagi saya, hal terpenting adalah menikmati momen seperti malam ini. Itu segalanya bagi saya,” ujar Nadal kemudian.
Nadal benar. Rekor selalu menanti untuk dilampaui. Rekornya di Grand Slam masih sangat mungkin dilewati Djokovic atau petenis muda-muda, seperti Medvedev, walaupun tak akan mudah. Namun, kisah heroiknya mengatasi berbagai kesulitan dan rintangan untuk menjadi kampiun di Melbourne Park, Minggu malam lalu, tidaklah ada duanya.
Didasari pula atas kecintaannya terhadap tenis, Nadal telah mendirikan akademi tenis Rafa Nadal di tempat kelahirannya, Manacor, Mallorca. Di akademi seluas 40.000 meter persegi dengan 26 lapangan tenis itu, Nadal dibantu Toni mengasah toro-toro baru. Setiap tahun, ada sekitar 130 anak dilatih di sana.
”Masa kecil saya seperti kisah dongeng. Saya ingin anak-anak lainnya juga merasakannya,” ujar Nadal yang belum memutuskan kapan akan gantung raket.