Cornet dan Monfils Tunjukkan Tidak Ada Kata Terlambat
Bagi Alize Cornet dan Gael Monfils, tidak pernah ada kata terlambat untuk mencoba. Meskipun sempat didera kegagalan bertubi-tubi dan rasa frustrasi, mereka pantang menyerah dan menggapai perempat final Australia Terbuka.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Memulai debut di arena Grand Slam pada Perancis Terbuka 2005, Alize Cornet (32) tak bisa membayangkan bisa menembus perempat final Grand Slam untuk pertama kalinya, 17 tahun kemudian, di Australia Terbuka. Gael Monfils (35), sesama petenis Perancis yang juga lolos ke perempat final, bahkan dalam masa frustasi, awal tahun lalu.
Namun, sikap pantang menyerah akhirnya memberikan hasil dan sukacita yang lama tak mereka rasakan. Keduanya akan bersaing dalam babak delapan besar Australia Terbuka di Melbourne Park. Monfils akan menghadapi unggulan ketujuh, Matteo Berrettini (Italia), Selasa (25/1/2022). Sementara Cornet melawan Danielle Collins (AS), Rabu.
Monfils akan merasakan kembali perempat final Grand Slam setelah terakhir kali tampil pada laga delapan besar di AS Terbuka 2019. Di Melbourne Park, mantan petenis peringkat keenam dunia itu mengulang yang pernah dicapainya pada 2016. Ketika itu, langkah Monfils dihentikan Milos Raonic (Kanada).
Cornet bahkan harus menanti 17 tahun untuk merasakan perempat final Grand Slam. Penantian panjang itu membuatnya menangis setelah mengalahkan juara Perancis Terbuka 2019 dan Wimbledon 2020, Simona Halep, 6-4, 3-6, 6-4, di babak keempat, Senin.
Perempat final yang akan dijalaninya nanti terjadi pada Grand Slam ke-63 yang diikuti petenis peringkat ke-61 dunia itu. Dari 62 Grand Slam sebelumnya, hanya lima kali dia menembus babak keempat.
Rekor penantian terlama sebelumnya, yaitu untuk menembus perempat final, dipegang Tamarine Tanasugarn (Thailand). Ia mencapai babak perempat final Wimbledon 2008 pada Grand Slam ke-45 yang diikutinya.
Langit adalah batasnya. Untuk pertama kalinya, saya punya kepercayaan bisa melangkah hingga akhir. (Alize Cornet)
Kegagalan menembus level tinggi di arena Grand Slam sering menghantui Cornet, apalagi setelah beberapa kali berpeluang besar mencapainya. Peluang terakhir didapatnya di AS Terbuka 2020 saat menghadapi Tsevatana Pironkova. Ketika itu, Cornet kalah dalam laga ketat, 4-6, 7-6 (5), 3-6.
Momen buruk itu sempat terlintas kembali dalam pikiran Cornet saat melawan Halep. ”Setelah melewatkan kesempatan besar itu, saya berpikir tak boleh membuat kesalahan yang sama,” katanya.
Buah meditasi
Capaiannya di Australia sejauh ini juga adalah buah kesabaran setelah belajar bermeditasi dan menerima semua momen yang dijalaninya dalam hidup. Dia bahkan menuliskan perjalanan kariernya dalam otobiografi yang ditulis dalam bahasa Perancis dan Inggris.
Mengenai penantian 17 tahun untuk menuju apa yang akan dijalaninya, Rabu nanti, Cornet merefleksikannya dengan menyebut, "tak pernah ada kata terlambat untuk terus mencoba”.
Setelah mengalahkan Halep dan menyingkirkan juara Grand Slam lainnya, Garbine Muguruza, pada babak kedua, Cornet pun kian percaya diri.
”Saya masih punya ambisi. Saat ini, saya masih mencoba mencerna apa yang telah saya dapat. Saya bangga dengan penampilan saya. Tetapi, besok, saya harus mulai berpikir untuk pertandingan berikutnya. Langit adalah batasnya. Untuk pertama kalinya, saya punya kepercayaan bisa melangkah hingga akhir,” tuturnya.
Monfils mengungkapkan kepercayaan diri serupa. Ia yakin perjalanannya belum akan berakhir. Itu diucapkannya seusai mengalami perjalanan yang membuatnya frustrasi.
Rasa frustrasi
Setelah tersingkir pada babak pertama Australia Terbuka 2021 lalu, Monfils bahkan sempat menangis. Itu mimpi buruk baginya. ”Saat itu, saya tak punya rasa percaya diri. Saya ingin bangun dari mimpi buruk itu, tetapi tidak bisa. Saya juga tak tahu kapan itu akan berakhir,” tuturnya.
Sebagai dampak dari rasa frustrasi itu, Monfils pun selalu merasa dalam sorotan besar setiap kali bertanding. Dia pun bermain buruk, hingga akhirnya tak pernah bisa melewati babak kedua dalam delapan turnamen setelah Australia Terbuka tahun lalu.
Saya telah melalui banyak momen dan sangat senang ketika akhirnya tiba pada tahap ini. Namun, perjalanan saya belum selesai. Saya ingin melakukan dengan lebih baik lagi. (Gael Monfils)
Namun, berkat dukungan orang-orang terdekatnya, salah satunya Elina Svitolina, petenis Ukraina yang dinikahinya pada Juli 2021, Monfils bangkit. Menjalani musim baru, dia pun bisa melupakan rasa frustrasinya. Sebelum tampil di Melbourne Park, petenis peringkat ke-20 dunia itu menjuarai turnamen pemanasan di Adelaide.
“Saya telah melalui banyak momen dan sangat senang ketika akhirnya tiba pada tahap ini. Namun, perjalanan saya belum selesai. Saya ingin melakukan dengan lebih baik lagi,” katanya.
Jika bisa mengalahkan Berrettini, finalis Wimbledon 2021, Monfils bisa saja bertemu petenis seusianya, Rafael Nadal. Seperti Monfils, Nadal ditantang salah satu petenis generasi muda, Denis Shapovalov (Kanada). Petenis berusia 22 tahun itu mengalahkan Nadal dalam turnamen ekshibisi di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Desember 2021.
Dengan 20 gelar Grand Slam, Nadal menjadi salah satu petenis di atas usia 30 tahun paling sukses, selain Roger Federer dan Novak Djokovic yang juga mengoleksi jumlah gelar Grand Slam yang sama. Adapun di kategori putri, ada Serena Williams (40) dengan 23 gelar.
Meski tak pernah lepas dari cedera, yang pernah membuatnya mundur dari pertandingan di Australia Terbuka, Nadal selalu memiliki faktor yang membuatnya bertahan pada persaingan elite sejak 2005. Faktor itu adalah motivasi untuk menjalani apa yang dicintai dalam hidupnya. (afp/reuters)