Sejumlah peserta PON 2021 kaget dengan mahalnya komoditas pokok dan biaya transportasi di Papua. Biaya transportasi yang sama mahalnya dengan ke Jepang itu harus terus ditekan guna meningkatkan geliat ekonomi di Papua.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA, ADRIAN FAJRIANSYAH, m ikhsan mahar, kelvin hianusa
·4 menit baca
TIMIKA, KOMPAS - Disparitas harga komoditas dan kebutuhan hidup di Papua dengan daerah-daerah lainnya masih cukup tinggi terlepas gencarnya pembangunan infrastruktur di provinsi ujung timur Indonesia itu, akhir-akhir ini. Hal itulah yang dirasakan sejumlah orang dari luar Papua saat menginjakkan kakinya di sana untuk mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021.
Bukan tanpa alasan Shafwan Hafizah (23), atlet lompat jauh Sumatera Utara, membawa banyak stok makanan ringan saat bertolak ke Timika, Papua, untuk mengikuti PON 2021. Selain karena kebiasaan, atlet asal Asahan, Sumut, itu khawatir tidak ada yang berjualan makanan ringan kesukaannya di Timika.
Saat tiba di Timika, ia terkejut. Ternyata, banyak makanan ringan yang dijual di sana. Begitu pula dengan kebutuhan pokok seperti beras, ayam, dan sebagainya. Namun, hal yang membuatnya tidak kalah terkejut adalah soal harga komoditas itu. Sebungkus nasi dengan lauk ayam atau ikan, misalnya, dijual Rp 30.000 di sana. Padahal, di Sumut, ia terbiasa membelinya Rp 15.000 per bungkus.
”Namun, kami memakluminya karena banyak alasan yang mengakibatkan harga di sini lebih mahal. Mungkin, akibat biaya pengiriman bahan baku yang mahal. Ke sini (Timika) kan butuh perjalanan jauh,” ujar Shafwan, yang baru kali pertama ke Papua, saat diwawancarai Kamis (7/10/2021).
Kendati dinilai agak mahal, dia dan 19 rekannya di tim atletik Sumut tetap membeli nasi bungkus itu. Mereka membelinya karena jatah nasi kotak sebanyak tiga kali sehari yang diberikan panitia sering terlambat pada hari-hari awal PON Papua.
”Selain itu, kami jenuh dengan nasi kotak dari panitia. Kami juga butuh makanan tambahan karena porsi makan atlet harus banyak,” ujarnya.
Cerita nyaris serupa dialami pelatih sepatu roda asal Jawa Tengah, Bramanto Setiawan (40). Meskipun telah dua kali ke Papua, termasuk dalam rangka PON 2021, namun dia masih terkejut dengan tingginya biaya hidup di sana. Ia kaget ketika mampir di sebuah restoran di pinggir jalan.
Dia membungkus masing-masing dua ayam goreng dan ikan goreng, serta es teh. Ia mengira harga total pesanannya itu Rp 100.000. ”Ternyata, totalnya Rp 400.000. Ikan mujair yang saya beli, (harga) per buahnya, Rp 100.000! Tentu saja kaget. Beda sekali dengan harga di Jawa,” kata pria asli Semarang itu.
Bukan hanya komoditas, biaya transportasi ke Papua pun sangatlah tinggi. Sebagai gambaran, biaya penerbangan sejauh 4.400 kilometer dari Jakarta ke Jayapura berkisar Rp 3 juta hingga Rp 5,5 juta. Biaya itu setara tarif rata-rata penerbangan dari Jakarta ke Tokyo, Jepang, sejauh 5,800 km.
Tingginya biaya transportasi bisa menjadi kendala terbesar bagi Pemerintah Papua dalam upayanya menggelar berbagai ajang olahraga, baik berskala nasional maupun internasional, seusai PON 2021. Tanpa ajang rutin dan pemasukan, berbagai arena yang sudah dibangun untuk PON terancam terbengkalai di masa depan. Total 44 arena di PON Papua kini telah berstandar nasional dan internasional.
Jika biaya transportasi dan akomodasi lebih murah, itu bisa meningkatkan geliat kejuaraan olahraga di Papua seusai PON,
Salah satu arena megah itu adalah gedung bulu tangkis di Kota Jayapura. Kualitasnya dinilai setara dengan arena serupa di Pulau Jawa. ”Namun, tiket pesawat yang mahal bisa menjadi kendala untuk menarik minat banyak peserta, apabila kejuaraan nasional dilaksanakan di Jayapura,” ungkap Mimi Irawan, delegasi teknis cabang bulu tangkis PON Papua.
Akibat mahalnya biaya transportasi ke Papua, Riska Anjani, pelatih angkat besi asal Banten, berkata, pihaknya hanya mampu mengirimkan satu atlet untuk tampil di PON 2021. Tiket pesawat Jakarta-Jayapura yang dibelinya adalah Rp 5 juta.
”Jika biaya transportasi dan akomodasi lebih murah, itu bisa meningkatkan geliat kejuaraan olahraga di Papua seusai PON,” ujar Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia Brata Tryana Hardjosubroto menyarankan perlunya kebijakan keringanan tiket pesawat dalam mengikuti kejuaraan di Papua.
Tiga faktor penyebab
Wakil Bupati Mimika Johannes Rettob menjelaskan, ada tiga faktor yang menyebabkan tingginya biaya komoditas dan kebutuhan hidup di Timika dibandingkan daerah lain di Papua maupun Indonesia. Ketiga faktor itu adalah distribusi, produksi, dan konsumsi.
Sebagian besar bahan pokok di Timika belum bisa diproduksi sendiri sehingga harus didatangkan dari luar, terutama dari Jawa dan Sulawesi. ”Masalahnya, distribusi barang masih sangat terbatas. Hal itu tidak seimbang dengan tingginya permintaan yang ada,” ujarnya.
Akan tetapi, tambah Johannes, harga kebutuhan hidup itu sudah lebih murah setelah pemerintah pusat menjalankan program ”tol laut”, ”tol udara”, dan ”jembatan udara”, dalam lima tahun terakhir. Program itu membuat laju distribusi barang menjadi lebih tinggi.
Di sisi lain, pemasok barang tidak lagi dimonopoli satu perusahaan sehingga harga bisa lebih bersaing. ”Perbedaan harga masih ada, namun tidak seperti dulu. Dahulu, harga barang yang dikirim dari Jawa bisa naik 300 persen setibanya di Timika. Sekarang, kenaikannya sekitar 50 persen,” katanya.
Warga dan pemda setempat pun berharap perhatian kepada Papua tidak cuma sebatas PON agar pemerataan pembangunan dari ujung barat hingga ke timur Indonesia sungguh terwujud.
Seperti pernah disampakan Presiden Joko Widodo, PON Papua sejatinya bukan kompetisi, melainkan panggung persatuan, kebersamaan, kesetaraan, dan keadilan, untuk maju bersama dalam bingkai negara Indonesia.