Kedai-kedai kopi bertebaran di berbagai sudut Kota Jayapura. Para pemiliknya adalah warga asli Papua dan sebagian besar pelanggannya anak muda Papua. Kini para tamu dari peserta PON Papua turut menikmati kopi asli Papua.
Oleh
KELVIN HIANUSA & FABIO MARIA LOPES COSTA
·6 menit baca
Karena perbedaan waktu dua jam, matahari memang lebih cepat tenggelam di Kota Jayapura, Papua, dibandingkan ibukota Jakarta. Tetapi, gemerlap dari pusat kota “Bumi Cendrawasih” ini tak pernah redup hingga larut malam. Cahaya pengganti matahari tersebut datang dari kedai-kedai kopi modern yang mulai ngetren beberapa tahun terakhir.
Jalan-jalan Kota Jayapura yang disinari lampu jalan seadanya sudah gelap pada pukul 20.30 WIT, Kamis (30/9/2021). Dalam suasana temaram, cahaya kuning mencolok datang dari kedai Kopi Juang. Aktivitas dalam kedai ini masih bergeliat dengan pengunjung sekitar 20 orang. Ada yang bercengkrama, bermain gim, atau malah bekerja.
“Malam bang,” sapa pengunjung yang baru datang malam itu, Gilbert Crey (23), sambil mengajak tos pemilik sekaligus barista Kopi Juang, Jefry Roberto Theos (26). Jefry membalas ajakan tos itu, lalu menanyakan kabar langganan kedainya tersebut.
Dalam hitungan detik, Jefry bertanya, “KoJu?”. KoJu (Kopi Juang) merupakan menu minuman andalan di sini, yang mirip-mirip dengan kopi susu ala kedai di Jakarta. Gilbert pun membalas dengan anggukan.
Di kedai ini, Jayapura dan Jakarta seakan berada dalam satu lokasi. Tak hanya kopinya yang mirip. Begitu juga dengan suasana yang ditampilkan dengan desain-desain minimalis.
Dindingnya dicat hitam polos, dengan beberapa dekorasi seperti tempelan lampu led berbentuk tulisan dan figura. Pengalaman visual itu bergabung dengan lagu-lagu barat “Top 40” masa kini.
"Saya hampir setiap hari ke Kopi Juang. Tempatnya persis dengan Jakarta. Namun, vibes-nya justru lebih asyik di sini daripada Jakarta. Di sini kami saling kenal dan berkomunikasi,” kata Gilbert, warga asli Papua yang sempat kuliah di Jakarta.
Saya hampir setiap hari ke Kopi Juang. Tempatnya persis dengan Jakarta. Namun, vibes-nya justru lebih asyik di sini daripada Jakarta. (Gilbert)
Sejak masa pandemi Covid-19 , Gilbert nyaris tak pernah absen datang ke kedai. Baginya, Kopi Juang sudah seperti rumah kedua. Barista dan pengunjung lain pun seakan keluarga.
Dia pun rela menghabiskan sekitar Rp 50.000 sehari untuk nongkrong seharian. “Kalau kerja di sini pasti lebih segar, di rumah bosan ujung-ujungnya mentok. Bisa mabar (main bareng gim), juga curhat dengan para barista yang sudah saya anggap kakak,” ucapnya.
Pengalaman Gilbert itulah yang juga dirasakan para pengunjung lain. Anak-anak muda Kota Jayapura tersebut menggeliatkan ekonomi lewat kedai kopi. Uniknya, pemilik bisnis ini juga anak muda. Mereka saling bersinergi menghidupkan kota di ujung timur Indonesia ini.
Kata Jefry, sang pemilik kedai, dia mulai melihat potensi kedai kopi pada 2018. Ketika itu, pria berjanggut tebal ini bekerja di salah satu kedai sebagai barista. Dia mempelajari banyak hal dari pengalaman itu.
“Potensi pasar kitong (kita), itu orang yang bawa dari luar. Itu dampak dari kebiasaan orang yang tinggal di Pulau Jawa. Dulu, awal-awal, kebanyakan yang datang ke kedai itu para pendatang,” ucapnya yang membuka kedai Kopi Juang pada 2019.
Namun, seiring berjalannya waktu, warga lokal juga terdampak tren gaya hidup tersebut. Sekarang jumlah pengunjung antara pendatang dan warga lokal seimbang.
“Sekarang budaya nongkrong di sini sudah sangat tinggi. Sekarang kalau tidak ngopi seakan ada yang kurang. Jadi tiap hari langganan pasti datang ngopi. Karena itu, tidak hanya tempat ini, kedai kopi di Jayapura sekarang makin menjamur,” tambah Jefry yang berpikir anak muda Papua harusnya lebih peka berbisnis dibanding bekerja dengan orang.
Di sisi lain, kehadiran ajang PON Papua 2021 semakin menggeliatkan bisnis kedai kopi. Kata Jefry, omsetnya naik dua kali lipat sejak dimulainya ajang multicabang olahraga nasional terbesar itu, dari Rp 3.000.000 menjadi Rp 6.000.000 per hari. Banyak ofisial pertandingan yang mampir membeli kopi.
Usaha kedai kopi tak hanya di tempat yang bagus dan permanen. Komunitas Anak Jalanan Jantung Kota Jayapura juga memulai usaha kedai kopi dengan menggunakan gerobak di sejumlah ruas jalanan Kota Jayapura selama setahun terakhir.
Kopi gerobak
Tampak Heny Naa, salah seorang anggota Komunitas Anak Jalanan Jantung Kota Jayapura sedang membuatkan pesanan seorang pembeli pada Jumat (1/10/2021). Ia berjualan di depan Arena Dayung Teluk Youtefa di mana sedang berlangsung perhelatan PON Papua 2021.
Hingga pukul 13.00 WIT, Henny telah mendapatkan penghasilan Rp 600.000 dengan menjual 30 gelas kopi. Berkah dari pelaksanaan PON di Papua benar-benar dirasakan perempuan berusia 23 tahun ini.
"Sebelum PON, saya hanya mampu menjual kopi maksimal 20 gelas per hari. Kini, saya bisa menjual hingga 40 gelas di depan arena dayung saat ada pertandingan yang dihadiri banyak orang, " ungkap Heny yang berasal dari Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura.
Heny termasuk 15 orang anggota Komunitas Anak Jalanan Jantung Kota Jayapura yang berjualan kopi dengan gerobak di sejumlah vlokasi di pusat ibu kota Papua. Produk mereka dinamakan Q-tong Kopi yang bermakna dari kopi dari alam Papua yang dijual sendiri oleh masyarakat asli Papua.
Adapun komunitas ini dirintis oleh seorang aktivis dan tokoh agama bernama Naomi Selan pada tahun 2005. Komunitas ini khusus untuk memberikan pendampingan, pemberdayaan dan perlindungan hak dasar sekitar 200 anak jalanan di Kota Jayapura saat ini.
Pada bulan Juli tahun 2020 lalu, salah seorang pengusaha kopi dari Kabupaten Pegunungan Bintang merasa terpanggil untuk membantu komunitas tersebut. Ia pun menyediakan bantuan bahan baku dan turut membantu penyediaan gerobak.
Kini komunitas tersebut telah memiliki 15 gerobak. Dengan penghasilan minimal Rp 200.000 hingga Rp 400.000 per hari, anggota komunitas dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan juga menyewa rumah kos untuk bermukim.
"Sebelum adanya usaha Q-tong Kopi, anggota komunitas hanya mampu makan sekali dalam sehari dan tidur di emperan jalan. Berkat berjualan kopi, hidup mereka kini lebih baik. Anak muda Papua harus bisa mencari jalan sendiri, salah satunya lewat bisnis kopi yang sangat potensial ini, " kata Sekretaris Komunitas Anak Jalanan Jantung Kota Jayapura, Joyce Rumkorem.
Ia menambahkan, Q-tong Kopi tidak hanya meningkatkan kemandirian ekonomi kaum yang termarjinalkan. Namun, upaya komunitas ini ingin menunjukkan sumber daya alam di Papua berpotensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat misalnya melalui komoditas kopi.
Gratianus Abaa, salah satu anggota Komunitas Kopi Numbay berpendapat, terjadi pergeseran persepsi budaya mengonsumsi kopi di kafe dan kedai tidak hanya orang dewasa namun juga generasi milenial. Hal ini yang memicu menjamurnya kafe dan kedai kopi di Jayapura.
"Selama tiga tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah anak muda di Jayapura yang mengonsumsi kopi di kafe dan kedai. Hal ini dipicu sejak adanya Festival Kopi Papua yang digagas Bank Indonesia sejak tahun 2018 lalu, " tutur Gratianus.
Ekonomi Kota Jayapura telah bergeliat selama beberapa tahun terakhir lewat bisnis kopi para pemudanya. Geliat itu yang bisa disaksikan banyak orang dari seluruh daerah yang datang untuk PON. Anggapan kota yang tertinggal pun sudah tidak relevan lagi. Lewar secangkir kopi, torang bisa mengubah wajah kota!