Sepak Terjang Eka Putra Wirya untuk Catur Indonesia Dibukukan
Eka Putra Wirya adalah sosok di belakang layar pembinaan catur Indonesia. Dia telah memberikan sumbangsih materi dan ide selama 29 tahun terakhir. Sepak terjangnya diabadikan dalam buku dan diharapkan menjadi inspirasi.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Selama kurang lebih 29 tahun mengabdi di Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia atau PB Percasi, Eka Putra Wirya memberikan sejumlah sumbangsih mulai dari materi hingga ide baru untuk kemajuan catur Indonesia. Segenap warisan pemikiran itu diabadikan dalam buku berjudul Eka Putra Wirya: Checkmate! From Zero to Hero karya S Dian Andryanto.
Eka berharap buku itu bisa memancing banyak orang untuk lebih mencintai catur dan mau turut berkontribusi memajukan catur nasional. Baginya, masih banyak pekerjaan rumah untuk meningkatkan prestasi catur di Tanah Air, terutama memastikan roda regenerasi atlet terus berkelanjutan.
Salah satu yang terus kami upayakan adalah catur semakin banyak dimainkan di sekolah-sekolah.
”Salah satu yang terus kami upayakan adalah catur semakin banyak dimainkan di sekolah-sekolah. Langkah ini sudah berjalan diawali kerja sama dengan BPK Penabur (sejak 2019). Tujuannya, agar semakin banyak pelajar yang mau belajar catur. Kelak, mereka bisa menjadi bibit pecatur baru. Lagi pula untuk sekolah, catur memiliki manfaat untuk membentuk karakter pelajar,” ujar Eka yang kini menjabat Dewan Pembina PB Percasi dalam peluncuran bukunya, Minggu (12/9/2021).
Eka telah mengenal catur sejak kecil, tetapi mulai serius berlatih sekitar 40 tahun lalu atau saat masih kuliah tingkat pertama di Universitas Trisakti, Jakarta, medio 1981. Ketika itu, pria kelahiran Jakarta, 17 Maret 1959, ini sempat belajar catur di Jayakarta Muda Chess Club selama setahun. Namun, dia tidak bisa serius menjalani profesi sebagai pecatur karena konsentrasi terpecah dengan karier bisnisnya.
Mulai 1992 sampai sekarang, Eka memilih menjadi orang di belakang layar catur, yakni menjadi salah satu pengurus di PB Percasi. Selang setahun setelah bergabung dengan PB Percasi, tepatnya 1 Juli 1993, dia bersama Utut Adianto, Kristianus Liem, dan Machnan R Kamaluddin mendirikan Sekolah Catur Enerpac di kawasan Roxy Mas, Jakarta. Kelak, sekolah itu berganti nama menjadi Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) dan pindah ke Bekasi.
”Sekolah catur ini merupakan terobosan Pak Eka untuk memajukan catur Indonesia. Dari sekolah ini, dia coba menerapkan metode baru dalam pengajaran catur dengan lebih profesional. Latihan catur tidak lagi acak sesuai keinginan pecaturnya, melainkan dengan program sistematis. Sekolah juga melatih para siswanya untuk belajar displin, totalitas, dan memahami proses karena tidak ada yang instan untuk berprestasi,” kata Lisa Lumongdong, mantan pecatur sekaligus Manajer Umum SCUA.
Selain membuat SCUA, di awal 1990-an, Eka yang mendorong dan siap mendukung Grand Master (GM) Utut Adianto agar fokus pada catur. Usahanya tidak sia-sia, Utut menjadi GM Super (Elo rating di atas 2.600) pertama Indonesia pada 1995-1999 dan pernah menjadi pecatur peringkat ke-37 dunia.
Selepas itu, Eka memprakarsai sejumlah program untuk mencetak pecatur baru sekelas Utut di kelompok putra maupun putri. Konsistensinya menjalani program The Dream Team pada 1997 melahirkan Susanto Megaranto yang menjadi pecatur Indonesia termuda yang mendapatkan predikat GM pada 2004.
Program Women Grandmaster (WGM) Indonesia pada 2002 menelurkan Irene Kharisma Sukandar sebagai WGM pertama Indonesia pada 2008. Program The Dream Girls pada 2009 mengorbitkan Medina Warda Aulia sebagai WGM kedua Indonesia pada 2013.
Di samping mengundang banyak pecatur dunia untuk bertanding dan berbagi ilmu di Indonesia, Eka beberapa kali juga membawa tim Merah-Putih berlaga di ajang bergengsi dunia dan membawa pulang prestasi prestisius. Pada Olimpiade Catur 1992 di Manila, Filipina, tim putri duduk di peringkat ke-18 setelah berada di urutan ke-37 dalam Olimpiade sebelumnya. Pada Olimpiade Catur 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia, tim putra meraih perunggu U-16 di bawah China yang merebut emas dan Ukraina yang merengkuh perak.
Utut mengatakan, Eka adalah sosok langka. Dia mengabdikan diri kepada catur bukan lagi sekadar karena minat atau hobi, melainkan sudah menjadi bakti. Dirinya bukan hanya ikhas memberikan sumbangan materi dan gagasan, tetapi juga jiwa serta raganya.
Terbukti, Eka mau turun langsung ke lapangan untuk membantu membuat konsep hingga menemani atlet bertanding di kejuaraan internasional. ”Orang yang mau membina catur seperti ini merupakan orang yang langka. Sebab, selain tidak populer (dibanding olahraga lain), membina catur ini rumit (butuh memahami catur lebih dahulu),” tutur Utut, yang menjabat sebagai Ketua Umum PB Percasi.
Irene menuturkan, salah satu kunci sukses Eka membina catur, yakni perhatian yang luar biasa. Contoh kecil, dia mau memberikan nasihat secara rutin kepada pecatur demi kemajuan pecatur tersebut. Nasihat selalu berubah menyesuaikan kondisi, seperti kepada Irene sewaktu berusia 10 tahun, 15 tahun, dan 25 tahun semuanya berbeda. ”Walau latar belakangnya sebagai pengusaha, Pak Eka sangat royal menerapkan ilmu kasih,” ujar pecatur berusia 29 tahun ini.