Ganda campuran bulu tangkis Indonesia kembali ke masalah klasik setelah Liliyana Natsir pensiun pada 2019, yaitu kehilangan pertahanan solid dari pemain putri. Ini tantangan besar untuk sejajar dengan China dan Jepang.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·4 menit baca
TOKYO, KOMPAS — Kekalahan ganda campuran bulu tangkis Indonesia, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti, pada babak perempat final Olimpiade Tokyo 2020 menguak masalah klasik nomor yang sempat solid pada era Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Indonesia kehilangan sosok Butet, sapaan Liliyana, yang bisa bertahan setara dengan pemain putra, sehingga pola permainan bisa beragam. Kini pola permainan ganda campuran Indonesia cenderung monoton sehingga mudah dibaca lawan.
Permainan Praveen/Melati minim greget sejak babak penyisihan grup. Mereka lolos ke babak perempat final dan bertemu dengan favorit peraih medali emas Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong. Pasangan China itu memang terlalu tangguh bagi Praveen/Melati yang tidak berkutik dalam dua gim yang berakhir 21-17, 21-15 untuk Zheng/Huang, pada babak perempat final, Rabu (28/7/2021).
Secara gereget, hari ini mereka bagus, masih mau mati-matian, tetapi harus kita akui, China, terutama pemain putrinya, lagi bagus banget mainnya. Tadi awalnya kalah di pembukaan saja, bola satu, dua, tiga, kalah, jadi kita tertekan.
”Secara gereget, hari ini mereka bagus, masih mau mati-matian, tetapi harus kita akui, China, terutama pemain putrinya, lagi bagus banget mainnya. Tadi awalnya kalah di pembukaan saja, bola satu, dua, tiga, kalah, jadi kita tertekan. Selama ini kita gak bisa konsisten karena polanya hanya satu karena pemain putri satu tipe, kita pemain putrinya gak sekuat pemain China, Korea, sama Jepang,” kata pelatih ganda campuran Indonesia, Nova Widianto, di dekat athlete lounge Musashino Forest Sport Plaza, kepada wartawan Kompas, Agus Setyahadi, di Tokyo, Jepang.
”Kalau posisi pembuka, no lob, kalah, depannya kalah, kita agak kerepotan. Jadi, tadi kita akui speed-nya kalah, Melly (sapaan Melati) juga kalah speed-nya dari pemain putri China yang lagi bagus banget. Tetapi, secara gereget naik dibandingkan dengan fase grup, kemarin geregetnya kurang banget,” ujar Nova.
”Tetapi, ya, ini hasilnya, saya juga berterima kasih kepada anak-anak sudah menjalankan tugas. Apa pun hasil perjuangan anak-anak, tetap pelatih yang tanggung jawab. Kita, kan, ditargetkan mendapat medali, tetapi undian tidak menguntungkan. Tetapi, inilah hasilnya, kita harus akui, kita kali ini gagal,” ujar Nova.
Terkait dengan tantangan ganda campuran untuk bisa bersaing lagi dengan China, Korea Selatan, dan Jepang, Nova menilai, diperlukan perubahan besar dalam pola permainan. ”Kalau mau jujur, kita harus berubah karena sejak zaman dulu kita mainnya rata-rata hanya satu tipe. Waktu Butet nongol, nah itu sudah enak kita karena pertahanannya sudah sekuat laki-laki, bisa sama kuat dengan Jepang, Korea, China. Jadi, misalnya kita dalam keadaan bingung, kita bisa main clear main save dulu. Itu tugas kita untuk bisa mengubah pola permainan kita. Kalau begitu-begitu terus, orang bisa gampang baca,” terang Nova yang meraih medali perak ganda campuran Olimpiade Beijing 2008 berpasangan dengan Liliyana Natsir.
”Pertahanan itu bisa dilatih setiap hari asal mereka mau melakukan, percuma saja kita latih terus setiap hari, tetapi mereka seperti kosong saja, seperti gak pingin maju, jadinya ya begitu. Tadi evaluasi saya begitu karena kita hanya satu tipe permainan, begitu kita gak bisa nyerang kita bingung karena dasarnya kita gak kuat,” ucap Nova.
”Kalau kita polanya satu, kita harus bagus banget dari awal start, pembukaan harus bagus, supaya kita gak keserang. Jika awal pembukaan kebaca terus, kita akan tertekan terus, jadi akan susah. Apalagi, kita akui tadi mereka (Zheng/Huang) speed-nya cepet banget. Kita akui Melly banyak dilari-lariin, mereka memang sudah siap bener,” kata Nova.
Nova juga menyoroti masalah pertahanan pada pemain putri ganda campuran membuat pemain putra stres karena hanya bisa main satu pola. Ini membuat konsisten permainan menjadi rendah karena kalau permainan sudah terbaca, tidak bisa mengganti pola.
”Kenapa saya bilang kita gak bisa konsisten, ya, karena kadang-kadang para pemain putra kita ini stres. Mereka harus main begitu terus, jadi gak ada opsi lain. Ini masalah pola main, seperti saat kita mendorong, kita gak bisa main save karena pemain putri ganda campuran di Indonesia rata-rata gak sekuat China, Korea, Jepang, makanya kita harus ubah di situ,” kata Nova.
”Dari dulu, sebelum ada Butet, pembagian tugasnya 70:30, 80:20, dan itu harus kita ubah untuk dapatkan pasangan yang kuat, minimal 60:40 pembagiannya. Jadi, pemain putri bisa defence, cowok bisa ke depan. Sekarang kita, kan, polanya hanya satu terus, jadi polanya mudah kebaca. Itu tidak bisa diubah dalam pertandingan, tetapi harus diubah dari latihan, dari dasarnya harus kuat dulu,” kata Nova.
”Kalau kita punya beberapa opsi permainan, kita akan lebih konsisten. Tetapi, kita kan gak punya modal untuk mengubah permainan karena defencegak ada sehingga variasi permainan gak punya," ujar Nova.
Praveen/Melati juga mengakui bahwa mereka tertekan sejak awal permainan dan tidak bisa merespons dengan perubahan permainan. ”Tegang, sih, enggak, tetapi tadi kita dari awal sudah tertekan dan baru di pertengahan permainan kita bisa ngimbangin, tetapi mereka cepet mengubah pola permainan dan kita kurang cepet mengantisipasi,” ujar Praveen.
”Kita dari awal sudah tertekan dan kita mencoba melawan dan poinnya sempat mepet-mepet, tetapi kita juga banyak melakukan kesalahan sendiri, jadi seperti itu,” ujar Melati.
”Mereka tadi mengganti pola permainan dan kita kurang cepet mengantisipasi pola permainan mereka. Tadi saat 14 sama itu mereka mengganti pola permainan,” ujar Praveen tentang usaha bangkit dari tekanan Zheng/Huang, tetapi gagal.