Warna kulit hitam serta sikap pemberontak membuat petenis Naomi Osaka selalu dinilai tak pantas menjadi orang Jepang. Penilaian itu berakhir setelah Osaka dipilih untuk menyalakan kaldron Olimpiade Tokyo 2020.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Naomi Osaka berkompetisi di arena tenis internasional atas nama Jepang sejak dia berusia 14 tahun. Akan tetapi, warna kulit hitam serta sikap pemberontak yang dilakukan dalam diam membuat Osaka selalu dinilai tak pantas menjadi orang Jepang.
Ceritanya berawal di Florida, Amerika Serikat, pada 2007, salah satu tempat yang banyak melahirkan petenis karena akademi dan turnamen yang bertebaran. Bersiap menjalani pertandingan dalam turnamen Orange Bowl, Osaka yang berusia 10 tahun mendengar perbincangan di antara dua petenis Jepang yang salah satunya merupakan lawannya.
”Teman dari lawan saya bertanya, siapa yang akan dihadapinya. Dia menjawab, ’Osaka’. Temannya mengatakan, ’Oh, anak berkulit hitam itu. Apakah dia seharusnya menjadi orang Jepang?’ Dijawab, ’Saya rasa tidak seharusnya seperti itu.’ Mereka tidak tahu saya mendengar percakapan itu dan saya bisa berbahasa Jepang,” tutur Osaka pada Wall Street Journal, yang dikutip BBC.
Secara fisik, Osaka memang unik. Dia berwajah seperti ibunya, Tamaki Osaka, yang merupakan orang Jepang. Dari ayahnya, Leonard Francois, yang berasal dari Haiti, Osaka memiliki kulit hitam dan rambut keriting.
Hal lain yang membuatnya masih kesulitan diterima sebagai orang Jepang, meski lahir di Osaka, adalah fakta bahwa dia dibawa orangtuanya pindah ke Amerika Serikat pada usia tiga tahun. Mereka tinggal di New York, lalu pindah ke Florida.
”Jujur saja. Kami merasa tak begitu dekat dengan dia karena dia berbeda secara fisik,” ujar petenis Jepang, Nao Hibino.
”Dia juga tinggal di tempat berbeda dan tak terlalu sering berbahasa Jepang. Dia tak seperti Kei (Nishikori) yang asli orang Jepang,” lanjut Hibino menyebut petenis putra Jepang, finalis Grand Slam Amerika Serikat Terbuka 2014 itu.
Tinggal di Florida, awalnya Osaka memiliki dua kewarganegaraan, yaitu AS dan Jepang. Namun, sesuai peraturan Jepang, mereka yang memiliki dua kewarganegaraan harus memilih salah satu sebelum berusia 22 tahun.
Pada 2019, menjelang 22 tahun, Osaka pun melepas kewarganegaraan AS. ”Saya bermain di bawah bendera Jepang sejak berusia 14 tahun. Ketika saya tak memilih Amerika, tiba-tiba orang berpendapat, saya bukan lagi kulit hitam. Padahal, Afrika-Amerika bukan satu-satunya yang berkulit hitam. Entahlah, saya merasa orang tak bisa membedakan antara kewarganegaraan dan ras. Orang berkulit hitam ada juga di Brasil dan mereka adalah orang Brasil,” tutur Osaka dalam seri dokumenter, berisi tiga film, berjudul Naomi Osaka yang diputar Netflix pada Juli ini.
Meski mereka besar dalam budaya Jepang dan Haiti, mereka selalu merasa sebagai orang Jepang. Kami bahkan telah berdiskusi tentang Naomi yang akan membela Jepang saat dia kecil, bukan atas paksaan siapa pun.
Pada 2018, Tamaki bercerita bahwa Osaka dan kakaknya, Mari, tumbuh dengan budaya Jepang yang kental. ”Meski mereka besar dalam budaya Jepang dan Haiti, mereka selalu merasa sebagai orang Jepang. Kami bahkan telah berdiskusi tentang Naomi yang akan membela Jepang saat dia kecil, bukan atas paksaan siapa pun,” kata Tamaki.
Tetapi, hal itu, tetap saja membuat Osaka sulit diterima sebagai orang Jepang meski dia bukan satu-satunya atlet yang berlatar belakang ras campuran atau hafu. Jepang memiliki bintang baseball, Sachio Kinugasa dan Hideki Orabu, yang keduanya telah meninggal.
Kinugasa memiliki ibu orang Jepang dan ayah yang merupakan tentara AS yang ditempatkan di Jepang pada Perang Dunia II. Ayah Orabu juga tentara AS. Namun, orang Jepang sangat jarang membicarakan Kinugasa dan Orabu atau tentang diskriminasi yang mereka hadapi.
Ini berbeda dengan Osaka yang selalu menjadi bahan pembicaraan. Adalah karakter ”pemberontaknya” yang dilakukan dalam diam, yang membedakannya dengan orang Jepang pada umumnya. Osaka turun ke jalan ketika warga AS memprotes tindakan rasialis polisi pada orang kulit hitam, pada 2020.
Dia juga mengenakan masker bertuliskan nama-nama orang kulit hitam yang tewas akibat kekerasan polisi ketika tampil di Grand Slam AS Terbuka 2020. Melangkah ke final, hingga akhirnya juara, Osaka mengenakan masker dengan tujuh nama.
Terakhir, petenis berusia 23 tahun dengan empat gelar Grand Slam itu mengundurkan diri dari Perancis Terbuka 2021, meski baru melewati satu babak karena tak bersedia melalukan konferensi pers sepanjang turnamen. Melalui media sosial, dia menjelaskan, penyebabnya adalah gangguan kesehatan mental. Osaka bergulat dengan kecemasan ketika harus berhadapan dengan media dan publik.
”Banyak orang tua berpendapat, atlet putri Jepang seharusnya berbicara dan berperilaku baik. Naomi tidak sesuai dengan budaya orang Jepang yang seharusnya. Dalam beberapa hal, orang dengan ras campuran juga masih terpinggirkan di Jepang,” kata Hiroaki Wada, reporter dari surat kabar di Jepang, Mainichi.
Penulis AS yang tinggal di Jepang, Robert Withing, berpendapat, ada tradisi orang Jepang menghindari konflik dan berargumen. Ini berbeda dengan yang dilakukan Osaka yang tumbuh di AS.
Namun, Osaka akhirnya mendapatkan tempat tertinggi di tanah kelahirannya dalam panggung terbesar olahraga. Dia dipilih untuk menyalakan kaldron dalam upacara pembukaan Olimpiade Tokyo 2020, Jumat (23/7/2021).
”Tak diragukan, itu adalah pencapaian terbesar seorang atlet. Itu menjadi penghormatan terbesar dalam hidup saya. Saya kesulitan menggambarkan perasaan saya saat ini, tetapi saya sangat bersyukur,” komentar Osaka dalam akun Twitter-nya.