Djokovic Tidak Berhenti Berburu Rekor
Novak Djokovic berambisi menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Dia merebut trofi Grand Slam ke-20 di Wimbledon 2021 dan berniat menjuarai semua Grand Slam serta merebut medali emas Olimpiade pada tahun 2021 ini.
LONDON, MINGGU — Novak Djokovic adalah petenis yang tidak segan mengungkapkan ambisinya untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Dia dalam perjalanan itu ketika menyejajarkan diri dengan Roger Federer dan Rafael Nadal sebagai tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak.
Gelar Grand Slam ke-20 didapat Djokovic dari Wimbledon setelah mengalahkan Matteo Berrettini, 6-7 (4), 6-4, 6-4, 6-3, dalam final di All England Club, London, Inggris, Minggu (11/7/2021). Ini menjadi gelar keenam petenis Serbia tersebut dari arena Grand Slam lapangan rumput setelah 2011, 2014, 2015, 2018, dan 2019.
”Laga tadi lebih dari sebuah pertempuran. Menjuarai Wimledon selalu menjadi mimpi besar saya sejak masa kecil. Saya berusia tujuh tahun ketika membuat trofi Wimbledon dari bahan-bahan yang ada di kamar tidur dan sekarang saya berdiri di sini dengan gelar keenam di sini. Rasanya luar biasa,” kata Djokovic.
Sejak sebelum menjalani final, Djokovic pun berbicara mengenai tekadnya untuk menyamai, bahkan, melebihi catatan prestasi Federer dan Nadal. Apalagi, Djokovic selalu kalah karisma dari kedua rivalnya itu di mata penggemar tenis secara umum, meski memiliki beberapa rekor yang lebih baik.
Ketika ditanya tentang pencapaian tersebut, Djokovic menjawab, ”Tak ada satu pun dari kami yang akan berhenti bermain. Saya sangat menghargai Rafa dan Roger karena telah menjadi legenda di olahraga ini. Mereka adalah dua orang terpenting dalam karier saya dan menjadi motivasi saya untuk berkembang seperti saat ini. Mereka membuat saya sadar bahwa saya harus selalu memperbaiki diri dari sisi mental, fisik, dan taktik,” tuturnya.
Sebelum menjuarai Wimbledon, Djokovic melampaui Federer sebagai petenis yang menempati puncak peringkat dunia terlama. Hingga akhir pekan lalu, Djokovic telah menjadi tunggal putra nomor satu dunia, total, selama 328 pekan, lebih lama dibandingkan Federer dengan 310 pekan.
Baca juga : Tantangan Berat untuk Djokovic
Djokovic juga melampaui Federer-Nadal dengan menjadi satu-satunya petenis yang menjuarai setiap Grand Slam dan ATP Masters 1000, minimal, dua kali. ATP Masters 1000 adalah rangkaian turnamen putra berlevel tertinggi yang digelar oleh Asosiasi Tenis Profesional (ATP). Saat ini, terdapat sembilan turnamen dalam salah satu seri ATP World Tour tersebut pada setiap musim.
Dengan fisik dan mental yang prima pada usia 34 tahun, serta di tengah kelanjutan karier Federer yang masih tanda tanya dan Nadal yang mengurangi jadwal turnamennya, Djokovic memiliki peluang untuk mewujudkan target besarnya tahun ini. Dia ingin menciptakan Golden Slam, yaitu menjuarai semua Grand Slam dan mendapat medali emas Olimpiade dalam satu tahun penyelenggaraan. Rekor ini hanya bisa dibuat Steffi Graf pada 1998.
Djokovic telah menjuarai tiga (Australia Terbuka, Perancis Terbuka, dan Wimbledon) dari empat Grand Slam pada tahun ini. Dia pun akan tampil pada Olimpiade Tokyo 2020, 23 Juli-8 Agustus.
Jalan menuju puncak prestasi tersebut sangat terbuka dengan dominasi ayah dari dua anak itu pada panggung besar tenis sejak 2018, seperti yang dicapainya pada 2011 dan 2015. Djokovic delapan kali menjuarai Grand Slam dari 14 turnamen terakhir sejak 2018. Pada periode yang sama Federer hanya sekali juara, sementara Nadal dengan empat gelar juara.
Baca juga : Sejarah Itu Akhirnya Ditorehkan Djokovic
Djokovic juga membuktikan bahwa belum ada satu petenis pun di era Next Gen yang bisa menahannya menjuarai Grand Slam. Sebelum berjumpa Berrettini di All England Club, dia mengalahkan Daniil Medvedev pada final Australia Terbuka dan Stefanos Tsitsipas di final Perancis Terbuka pada tahun ini.
”Grand Slam adalah motivasi terbesar dalam tahap karier saya seperti sekarang dan sudah beberapa kali saya mengatakan itu. Saya ingin sebanyak mungkin menjuarai Grand Slam dan berusaha mencapai puncak penampilan pada ajang tersebut. Saya beruntung bisa bermain dengan baik ketika membutuhkannya,” tuturnya, sebelum Wimbledon dimulai.
Selain menyamai jumlah trofi juara Grand Slam, untuk pertama kalinya, Djokovic memasukkan namanya dalam daftar petenis yang menjuarai Perancis Terbuka dan Wimbledon pada tahun yang sama.
Mencapai prestasi tersebut adalah salah satu tantangan besar di arena tenis profesional karena kedua Grand Slam dengan perbedaan ekstrem pada karakteristik lapangan itu diselenggarakan dengan jeda waktu berdekatan, dua atau tiga pekan. Perancis Terbuka adalah turnamen yang digelar di lapangan tanah liat yang memantulkan bola dengan tinggi dan pelan. Sebaliknya, pantulan bola di lapangan rumput All England Club menjadi yang tercepat dan terendah di antara semua Grand Slam.
Baca juga : Novak Djokovic Selalu Termotivasi oleh Rekor
Sebelum Djokovic, hanya ada tiga petenis yang masih aktif saat ini yang pernah menjuarai Perancis Terbuka dan Wimbledon di tahun yang sama, yaitu Federer pada 2009, Nadal (2008 dan 2010), serta Serena Williams (2002 dan 2015).
Unggul pengalaman
Salah satu kunci kemenangan atas Berrettini adalah kemampuan Djokovic dalam mengembalikan servis kerasnya. Menuju final, petenis Italia itu menjadi petenis yang membuat as terbanyak, yaitu 101, lebih banyak dari 38 as yang dibuat Djokovic.
”Saya memang percaya diri dengan pukulan pengembalian servis saya. Saya rasa, saya cukup baik melakukan itu dalam sepanjang karier,” komentar Djokovic yang dikenal sebagai salah satu petenis dengan pengembalian servis terbaik. Pukulannya yang dengan efek bola yang jatuh mendekati baseline bisa membuat si pemegang servis berbalik kesulitan.
Namun, bukan berarti dia tak mengalami kendala dalam pertandingan selama tiga jam 24 menit tersebut. Djokovic memang memulai pertandingan dengan baik, unggul 5-2 pada set pertama.
Namun, seiring dengan permainan Berrettini yang membaik, skor berubah menjadi 5-5. Dengan senjata servis keras, Berrettini pun merebut set pertama melalui tiebreak.
Penonton yang lebih banyak mendukungnya membuat All England Club riuh. Seperti yang sering terjadi di Wimbledon, penonton biasanya memberi dukungan pada pemain underdog ketika petenis yang bertanding bukan berasal dari tuan rumah.
Di antara para pendukung Berrettini ada yang menuliskan ”Wimblettini” dan ”It’s coming Rome”. Ada pula yang mengenakan kostum tim sepak bola Italia karena laga tersebut dimainkan pada hari yang sama dengan final Euro 2020, antara Italia dan Inggris, di Stadion Wembley, London, yang berjarak sekitar 20 km dari All England Club.
Sementara, sebagian kecil pendukung Djokovic melagukan nama panggilan idolanya itu dengan lantang, ”Nole, Nole, Nole!”
Pengalaman dan kemampuan Djokovic dalam mengantisipasi pukulan-pukulan keras Berrettini, di antaranya dengan backhand slice, akhirnya menjadi penentu kemenangan ke-20 dari 30 final Grand Slam dalam kariernya.
Novak bermain lebih baik dari saya. Dia adalah juara sejati. Dia berhak menjadi bagian dari sejarah tenis. Saya berharap ini bukan final Grand Slam terakhir saya.
”Novak bermain lebih baik dari saya. Dia adalah juara sejati. Dia berhak menjadi bagian dari sejarah tenis. Saya berharap ini bukan final Grand Slam terakhir saya, apalagi menjalaninya menjadi sebuah kehormatan bagi saya,” kata petenis berusia 25 tahun itu.
Berrettini adalah tunggal putra pertama Italia yang mencapai final Grand Slam sejak Adriano Panatta menjuarai Perancis Terbuka 1976. Namun, di Wimbledon, dia menjadi petenis pertama dari Italia yang melakukannya. (AFP/REUTERS)