Suara Lantang Ashleigh Barty
Mimpi Ashleigh Barty untuk menjadi juara Wimbledon dipenuhi dengan mengalahkan petenis Ceko Karolina Pliskova, sepuluh tahun setelah menjadi juara Wimbledon yunior di tempat yang sama.
LONDON, SABTU - Ashleigh Barty bukanlah petenis yang suka bicara terang-terangan tentang rekor atau gelar juara yang menjadi targetnya. Namun, untuk berburu gelar di Wimbledon, dia berani berbicara lantang, bahkan sejak 2020.
Di lapangan rumput All England Club, London, Inggris, tahun ini, dia menegaskan ingin mewujudkan mimpi yang dipupuk sejak masa kecil itu. Padahal, Barty adalah petenis yang biasanya lebih suka berbicara proses persiapan atau hal lain dibandingkan tentang menang atau kalah.
Ambisi yang disampaikan dalam wawancara dengan stasiun TV ABC di Australia, setahun lalu itu, akhirnya tercapai. Barty menjuarai Wimbledon 2021 setelah mengalahkan Karolina Pliskova, 6-3, 6-7 (4/7), 6-3, pada laga final di Lapangan Utama, All England Club, London, Inggris, Sabtu (10/7/2021).
Baca juga: Barty Menggapai Mimpi
Selalu tampil tenang dan jarang memperlihatkan emosi ketika bertanding, Barty tak dapat menahan tangisnya begitu memastikan kemenangan. ”Luar biasa bisa mewujudkan mimpi sejak lama, terasa lebih luar biasa daripada yang dibayangkan. Karolina memberi ujian yang berat dalam laga tadi. Tetapi, saya selalu mengingatkan diri untuk tetap berjuang,” komentar Barty.
Barty yang tampil solid langsung unggul 4-0 dan tak memberi kesempatan pada Pliskova untuk mendapat poin pada tiga gim pertama. Pukulan backhand slice Barty, yang membuat bola memantul dengan sangat rendah, seringkali menyulitkan Pliskova untuk mengembalikannya.
Ketika Pliskova mulai nyaman dengan servis kerasnya, pertandingan berjalan lebih ketat mulai set kedua. Namun, cara bermain Barty yang lebih variatif memilih pukulan akhirnya menjadi pembeda di antara kedua petenis yang baru kali ini tampil di final Wimbledon.
Barty pun menjadi juara tunggal putri Wimbledon pertama dari Australia sejak idola yang juga mentornya, Evonne Goolagong Cawley, juara 1971 dan 1980. Sosok Cawley dan perayaan 50 tahun gelar pertamanya di Wimbledon menjadi inspirasi Barty untuk meraih hal serupa. Barty, bahkan tak bisa berkata karena menahan tangis ketika ditanya tentang peran Cawley untuknya.
Baca juga: Barty Mereguk Inspirasi dari Legenda
Setelah bertanding selama satu jam 55 menit di final, Barty akhirnya bisa menyamai Cawley. Mereka juga memiliki kesamaan sebagai tunggal putri Australia yang menduduki puncak peringkat dunia. Barty tak tergeser dari posisi itu sejak 9 September 2019.
Ketika menjuarai Perancis Terbuka 2019, Barty juga membuat sejarah dengan mengakhiri penantian Australia selama 46 tahun untuk juara di Grand Slam lapangan tanah liat itu sejak Margaret Court, pada 1973. Setelah gelar Court itu, tehentilah prestasi tunggal putri Australia di Roland Garros.
Selain di lapangan tanah liat, Barty memperlihatkan potensinya di jenis lapangan berkarakter cepat, seperti lapangan keras. Dia dua kali mencapai perempat final dan sekali semifinal Australia Terbuka, namun tak pernah tampil baik di Wimbledon.
Barty menjadikan gelar juara Wimbledon yunior pada 2011 sebagai motivasi. Dia membawa dirinya kembali ke masa itu, ketika berusia 15 tahun. Barty tak hanya membawa dirinya pada kenangan ketika menjadi juara yunior, melainkan kembali ke masa remaja ketika bisa dengan bebas berbicara tentang mimpi besar. Perlu keberanian bagi Barty untuk mengungkapkan keinginan dengan lantang untuk menjuarai Wimbledon di level profesional.
Namun, di lapangan, petenis yang juga pernah menjadi atlet kriket profesional itu tak perlu diajarkan tentang keberanian. Meski tertinggal, sikap tubuhnya tak pernah memperlihatkan tanda menyerah.
Luar biasa bisa mewujudkan mimpi sejak lama, terasa lebih luar biasa daripada yang dibayangkan. Karolina memberi ujian yang berat dalam laga tadi. Tetapi, saya selalu mengingatkan diri untuk tetap berjuang.
Raut wajahnya selalu tenang, tanpa emosi, dalam situasi apapun. Barty selalu bisa membalikkan situasi, dari tertinggal menjadi unggul seperti saat mengalahkan sesama juara Grand Slam, Angelique Kerber, pada semifinal. Barty yang tertinggal 2-5 pada set kedua, bisa menang 6-3, 7-6 (7/3).
Keberanian itu terlihat sejak Barty memasuki Pusat Latihan Tenis Brisbane Barat pada usia empat tahun. Pelatih Jim Joyce, yang sebenarnya tak pernah melatih atlet semuda Barty, terpesona oleh keberanian dan bakat yang dimiliki bungsu dari tiga besaudara itu.
Barty kecil dinilai memiliki kemampuan untuk fokus serta koordinasi yang baik antara mata dan tangan. “Saat bola pertama saya lemparkan padanya, dia langsung memukul dengan keras,” ujar Joyce, yang akhirnya mendampingi Barty pada masa yunior.
Meski mendapat gelar Grand Slam saat bersaing di usia remaja, tak mudah bagi Barty untuk menjalani karier di arena tenis profesional. Dia memutuskan beristirahat dari tenis pada 2014. Selain karena selalu tersingkir pada babak pertama di tiga Grand Slam pada tahun itu, Barty tak kuasa menahan tekanan berat yang mengharuskan tur keliling dunia sejak usia 16 tahun. Dia memilih menjadi atlet kriket profesional pada 2015 dan bermain untuk klub Brisbane Heat di Queensland.
Baca juga: Peluang Langka Karolina Pliskova
Februari 2016, dia kembali ke arena tenis dan dilatih Craig Tyzzer yang menjadi pelatihnya hingga saat ini. “Menjadi juara Wimbledon selalu berada di benak Ash. Tentu itu juga ada dalam benak semua petenis, tetapi selama ini, Ash selalu menyimpannya sendiri,” ujar Tyzzer dalam laman resmi WTA.
Tyzzer dan anggota tim pelatih lainnya adalah sosok yang berperan besar membuat Barty bisa tampil di Wimbledon tahun ini. Petenis yang pernah fokus bermain pada nomor ganda ini hampir saja melewatkan Grand Slam sarat tradisi ini akibat cedera pinggul, yang membuatnya mundur ketika bertanding pada babak kedua di Perancis Terbuka.
Jeda dua pekan antara kedua Grand Slam berbeda karakter itu akhirnya digunakan untuk memulihkan cedera. Barty berpindah dari persaingan lapangan tanah liat ke rumput tanpa turnamen pemanasan.
Namun, hal itu tak menjadi penghalang. Ketenangan serta kecerdasan dalam menyeleksi pukulan pada saat yang tepat membuatnya mewujudkan mimpi yang dipupuk sedari kecil.
Pertama untuk Italia
Di final tunggal putra yang berlangsung Minggu, Matteo Berrettini akan menjadi petenis putra Italia pertama juara Wimbledon jika bisa mengalahkan Novak Djokovic. Berrettini telah menjadi petenis Italia pertama di final Grand Slam sejak Adriano Panatta juara Perancis Terbuka 1976.
Selain kemenangan atas Hubert Hurkacz, 6-3, 6-0, 6-7 (3/7), 6-4, pada semifinal, Berrettini membawa bekal gelar juara ATP 500 Queen’s Club, London, salah satu turnamen pemanasan Wimbledon.
Di bawah bimbingan pelatih Vincenzo Santropade, Berettini mengeluarkan potensinya sebagai petenis agresif dengan pola main servis dan voli. Hingga semifinal, petenis dengan tinggi badan 196 sentimeter itu membuat as terbanyak, 101 as, 22 di antaranya melawan Hurkacz.
Baca juga: Asa Petenis Wajah Baru
Maka, Djokovic pun tak memandang sebelah mata petenis berusia 25 tahun itu meski telah lima kali menjuarai Wimbledon. ”Apapun bisa terjadi pada final. Tentu saja, saya memiliki pengalaman, tetapi Berrettini memiliki lebih banyak pertandingan di lapangan rumput tahun ini dan juara di Queen’s. Dia berada pada permainan terbaik dengan servis yang sangat keras. Saya mengantisipasi pertandingan sulit,” komentar Djokovic.
Jika juara, petenis nomor satu dunia itu akan menyamai prestasi rivalnya, Roger Federer dan Rafael Nadal, yang masing-masing telah mengoleksi 20 gelar juara Grand Slam. Tahun ini Djokovic telah mendapat tambahan dua trofi juara, dari Australia dan Perancis Terbuka, yang membuatnya mengumpulkan 19 gelar Grand Slam.
Petenis Serbia itu bahkan menargetkan meraih Golden Slam, yaitu menjuarai semua Grand Slam dan mendapat medali emas Olimpiade dalam satu tahun penyelenggaraan. Rekor tersebut hanya bisa dibuat peteni putri Jerman Steffi Graf pada tahun 1998. (AFP/REUTERS)