Dicegat Preman Ghetto di ”Kampung” Zinedine Zidane
Setelah memasuki “Kerajaan Orang Mati” yang berisi jutaan tengkorak di lorong bawah tanah Paris, saya mengunjungi “kampung” Zinedine Zidane di Marseille. Celaka, saya malah dicegat preman penjual senjata.
Perancis tidak henti-hentinya membuat jantung saya berdebar-debar saat meliput Piala Eropa 2016. Setelah mengalami sejumlah peristiwa ”horor”, yaitu terjebak tawuran antarsuporter di Lille dan nyaris terinjak-injak di fans zone Menara EiffelParis (seperti diceritakan pada edisi lalu), saya kembali menebalkan nyali. Kali ini, petualangan yang saya dapat jauh lebih mendebarkan.
Di balik sebutan ”Kota Cahaya”, Paris menyimpan misteri tergelapnya, jauh di bawah permukaan bumi dan tidak terjangkau cahaya matahari. Les Catacombes de Paris atau Katakomba Paris, demikian nama tempat menantang yang ingin saya tuju. Rasa penasaran sudah saya simpan sejak masih di Tanah Air, terutama setelah menonton film horor As Above, So Below (2014).
”Stop! Ini Kerajaan Orang Mati”, begitu bunyi papan peringatan yang menyambut saya saat tiba di lorong yang berada 21 meter di bawah permukaan bumi itu.
Katakomba Paris adalah jaringan masif lorong bawah tanah kuno bekas pertambangan yang lantas dialihfungsikan untuk menyimpan tengkorak dan tulang belulang nenek moyang warga Paris dan sekitarnya. Panjang lorong yang membentuk banyak labirin itu sangat mencengangkan, yaitu 250 kilometer!
Jadi, jangan heran jika ada enam juta jasad warga lama Paris yang tidur abadi di tempat ini. Jumlahnya jauh lebih banyak dari warga Perancis saat ini yang sekitar 2,4 juta jiwa!
”Stop! Ini Kerajaan Orang Mati”, begitu bunyi papan peringatan yang menyambut saya saat tiba di lorong yang berada 21 meter di bawah permukaan bumi itu. Hawa dingin langsung menyergap. Seketika, saya seolah-olah ada dalam dimensi atau peradaban lain. Tidak ada sinyal ponsel, juga cahaya matahari setitik pun. Imajinasi pun mendadak liar. Inikah yang namanya neraka di bumi?
Baca juga: Terjebak Gelombang Kepanikan di Paris Saat Piala Eropa
Berat rasanya kaki melangkah melewati gerbang yang di atasnya terdapat tulisan peringatan itu. Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguan. Toh, saya tidak sendiri. Ada puluhan pengunjung lain yang ikut tur bersama saya.
Ya, Katakomba Paris sejak lama dijadikan museum. Semua orang bisa berkunjung ke museum yang berada di Denfert Rochereau itu. Namun, tak semua bagian katakomba yang sangat panjang berliku itu bisa diakses publik.
Ada beberapa lorong yang ditutup gerbang besi, terkunci, dan tanpa cahaya lampu. Entah ada rahasia apa di dalamnya. Saya pun melanjutkan langkah ke areal yang diperbolehkan. Semakin jauh melangkah, semakin saya takjub.
Bayangkan, jutaan tengkorak tidak bernama berjajar rapi di lorong-lorong itu. Sebagian berwarna coklat, bahkan menghijau karena ditumbuhi lumut dan telah berusia ratusan tahun.
Tengkorak saksi sejarah
Tengkorak-tengkorak tanpa nama itu adalah saksi dari berbagai kejadian, mulai dari perang hingga pandemi. Ya, sebelum terjadi pandemi Covid-19, Eropa juga pernah diguncang wabah lain, seperti pes yang menelan korban 25 juta jiwa.
Jasad-jasad itu awalnya berada di pekuburan umum di permukaan Kota Paris. Namun, karena daya tampung pemakaman terbatas, jasa-jasad itu lantas dipindahkan ke katakomba.
Katakomba menjadi solusi untuk memisahkan mereka yang sudah mati dengan yang masih hidup, ratusan tahun silam. Setelah puas berkeliling, saya pun kembali ke permukaan.
Lega rasanya bisa merasakan kembali embusan angin dan paparan sinar matahari. ”Akhirnya, kita kembali ke peradaban manusia!” seloroh Arifi, staf Kedutaan Besar Indonesia di Perancis, yang ikut menemani perjalanan saya di Katakomba Paris.
Baca juga: Kukejar Gerhana Matahari hingga ke Palu
Beruntung, pengalaman mengunjungi lokasi favorit film-film misteri dan horor itu tidak sampai menghantui mimpi saya. Karena saya masih harus mengejar mimpi saya yang lain, yakni mengunjungi ”kampung” tempat asal-usul legenda sepak bola Perancis, Zinedine Zidane. Namun, lokasinya jauh, 776 kilometer di selatan Paris. Maka, saya harus kembali menggunakan kereta peluru TGV ke sana.
Setelah membeli tiket dua hari sebelumnya, saya berangkat subuh melalui Stasiun Gare de Lyon di Paris. Tak terasa, setelah hampir 4 jam berada di kereta, saya tiba di Stasiun Saint Charles, Marseille. Saya pun langsung mencari informasi transportasi umum lanjutan menuju La Castellane, wilayah tempat tinggal Zidane waktu kecil. ”Anda mau ke mana?” tanya Christophe, seorang petugas.
Baca juga: Peran Batin Saat Meliput Bencana di Kampung Sendiri
”Saya mau ke La Castellane,” jawab saya enteng. Ia tampak kaget mendengarkan jawaban saya. ”Sungguh?” tanyanya balik. ”Anda tahu, itu (La Castellane) tempat paling berbahaya di sini (Marseille). Di sana adalah sarang ghetto, banyak penjahat,” tukasnya kemudian.
”Mengapa Anda mau ke sana?” tanyanya kemudian. ”Saya ingin mengunjungi bekas rumah Zidane. Saya jurnalis,” jawab saya. ”Wartawan? Banyak wartawan Perancis tidak bisa masuk ke sana. Di sana itu bukan Perancis. Itu seperti Corsica, punya ’aturan’ sendiri. Berbahaya ke sana jika tidak ada urusan, misalnya membeli ganja,” ungkapnya, mencoba mengingatkan saya yang datang seorang diri ke Marseille.
Sebelum ke Marseille, saya sudah melakukan riset ”kecil-kecilan” mengenai La Castellane. Wilayah kumuh yang ditinggali banyak imigran asal Afrika Utara dan keturunannya, seperti Zidane, itu memang tempat yang sangat berbahaya. Wilayah permukiman di pinggiran Marseille ini dihuni sejumlah kelompok ghetto, penjual senjata api ilegal dan narkoba.
Baku tembak
Empat bulan sebelum saya berkunjung, terjadi baku tembak antara preman di sana dan polisi, menyusul rencana kedatangan Manuel Valls, Perdana Menteri Perancis saat itu. Para preman menembaki mobil polisi dengan senpi ilegal, Kalashnikov. Merinding mendengar berita itu dari media-media Perancis.
Setelah merenung sejenak seraya menyantap bekal dendeng balado dan nasi yang dibawa dari Paris, saya memantapkan batin. Saya tetap berangkat ke La Castellane.
Sudah jauh-jauh datang dari Paris, apa iya saya harus kembali pulang? Toh, hari itu adalah hari Idul Fitri. Saya yakin warga setempat akan bersikap ramah. Di La Castellane, mayoritas warganya adalah Muslim. Benar saja. Begitu tiba di sana setelah beberapa kali berganti bus, banyak orang mengenakan jubah putih setelah mengikuti salat Id. Saya pun berkenalan dengan seorang bocah ramah. Namanya Mario.
Dengan bahasa Inggris ala kadarnya, ia menemani saya menengok lokasi reruntuhan bekas bangunan rumah susun yang pernah ditinggali Zidane bersama ayah-ibu dan saudaranya.
Saat itu, gedung itu tengah dirobohkan untuk dijadikan apartemen baru yang lebih layak oleh pemerintah lokal. Ia pun menyarankan saya pergi ke Naceur Oussedik, kantor komunitas warga setempat yang berada tidak jauh dari gedung yang dirobohkan itu, untuk mencari informasi lebih lanjut.
Baca juga: Berkawan Rasa Takut, Meliput Covid-19 ke Bangkalan
Di tempat itu, saya disambut ramah. Pengurus setempat sempat menawarkan penganan lokal yang menjadi tradisi Idul Fitri. Setelah mengobrol sejenak, salah satu dari mereka bersedia menjadi pemandu untuk menengok La Nouvelle Vague, akademi sepak bola yang menjadi ”warisan” tersisa Zidane di tempat kelahirannya itu. Saya pun lega, bisa mendapatkan bahan liputan.
Saat menuju tempat tersebut, tiba-tiba saya dicegat tiga pemuda dengan raut muka yang tidak bersahabat. Celakanya, pemandu saya tiba-tiba pergi begitu saja. Firasat saya pun tidak enak. ”Mau apa kamu di sini?” tanya salah seorang dari pemuda itu. ”Saya ingin melihat akademi yang pernah didirikan Zidane,” jawab saya sambil berusaha tetap tenang.
Saya berusaha tidak mengaku sebagai wartawan karena sebagian pemuda di sana sangatlah alergi dan penuh curiga kepada jurnalis. Saya juga menahan diri untuk tidak mengeluarkan kamera DSLR.”Tidak ada Zidane. Dia tidak peduli dengan orang-orang di sini,” balasnya dengan bahasa Inggris patah-patah.
Nyaris dirampok
Beberapa detik kemudian, salah satu dari mereka yang memiliki tato dan punya bekas luka goresan di wajah berusaha memaksa saya mengikuti mereka ke sebuah blok. Gelagat semakin tidak enak.
Saya pernah membaca berita tentang sejumlah kejadian di mana wartawan yang nekat ke sana sempat disekap di sebuah gedung dan dirampok. Saya pun menolak.
Tiba-tiba, sang preman hendak merampas jam tangan saya. Seketika, saya pun lari tunggang langgang, tanpa menoleh ke belakang. Beruntung, mereka tidak mengejar.
”Di sini memang tempat berbahaya bagi orang asing. Masalah klasik di sini adalah kriminalitas karena kemiskinan dan ”cap” sebagai imigran. Tidak mudah bagi kami mendapatkan uang, apalagi pekerjaan layak. Jadi, narkoba adalah cara termudah mendapatkan uang,” ujar Manu Daher, staf di Naceur Oussedik.
Sempat kembali waswas saat meninggalkan tempat itu, takut dicegat atau dikejar. Saya baru bisa bernapas lega ketika tiba di Stasiun Saint Charles. Ah, benar-benar mimpi buruk di siang hari, saya baru saja lolos dari upaya perampokan. Rupanya tidak sampai di situ. Insiden mendebarkan ini semacam ”peringatan” dari serangkaian musibah tak terhindarkan yang harus saya alami, beberapa hari kemudian.
Seketika, saya terjatuh. Saya tidak sanggup berdiri karena ternyata tabrakan itu membuat kaki saya terkilir parah. Saya berteriak minta tolong ke polisi, tidak ada respon.
Pada 10 Juli 2016, yaitu pada hari penutupan Piala Eropa Perancis, saya kembali ke Menara Eiffel yang pernah menghadirkan trauma bagi saya karena nyaris terinjak-injak dalam gelombang kepanikan massa.
Saat itu, saya hendak meliput suasana kota pada malam final Perancis versus Portugal. Meski tuan rumah Perancis berakhir takluk, suasana di kawasan itu tetap ramai oleh perayaan suporter Portugal.
Kamera digondol copet
Setelah lelah berkeliling memotret suasana, saya mengistirahatkan kaki. Saking lelahnya, saya tidak sadar telah diperdaya. Kamera DSLR saya, berikut lensa 300 milimeter, hilang digondol copet. Di Paris, pencopet memang terkenal lihai. Turis menjadi sasaran utama mereka. Naas, saya termasuk salah satu korbannya. Sial sekali. Padahal, itu malam terakhir saya di Perancis, sebelum kembali ke Tanah Air.
Buyar sudah konsentrasi liputan. Seketika, malas rasanya melanjutkan liputan suasana perayaan juara Portugal di Champs-Elysees, wilayah yang biasa menjadi pusat kerumunan ratusan ribu massa, seperti saat perayaan gelar juara dunia Perancis pada 1998. Ingin rasanya langsung balik ke apartemen dan melihat suasana perayaan dari televisi lokal saja.
Namun, saya teringat wejangan Sindhunata, salah satu pengajar di Kompas. Katanya, wartawan itu pertama-tama adalah pekerjaan kaki, kemudian otak. Walaupun agak berat hati, saya melangkahkan kaki ke Champs-Elysees.
Saya ingin menjadi saksi mata sejarah kemeriahan perayaan gelar juara Portugal di Paris. Benar saja, di tempat yang terdapat Arc de Triomphe, monumen bersejarah Perancis, belasan ribu orang telah berkumpul.
Saya tidak sanggup berdiri karena ternyata tabrakan itu membuat kaki saya terkilir parah. Saya berteriak minta tolong ke polisi, tidak ada respon.
Tiba-tiba, terjadi kekacauan. Sekelompok orang melempar batu kepada polisi yang tengah bersiaga. Puluhan polisi membalas dengan memukulkan baton dan semprotan air merica. Karena kamera DSLR dengan lensa panjang saya dicopet, maka saya harus mendekat untuk mengabadikan momen kacau itu dengan kamera ponsel. Naas, sekejap kemudian, seorang berbadan besar menabrak saya.
Seketika, saya terjatuh. Saya tidak sanggup berdiri karena ternyata tabrakan itu membuat kaki saya terkilir parah. Saya berteriak minta tolong ke polisi, tidak ada respon. Mereka disibukkan oleh pembuat onar yang gemar membuat kekacauan.
Saya pun pasrah. Sekitar 15 menit kemudian, barulah saya bisa berdiri sendiri. Seluruh badan bergetar, syok oleh tabrakan dan sejumlah luka. Kaki kanan saya nyaris tidak bisa digerakkan untuk melangkah. Sungguh, Les Miserables rasanya.
[embed]https://youtu.be/_cQKqrG43ww[/embed]
Celakanya pula, tidak ada taksi yang beroperasi saat itu. Saya pun menyeret kaki menuju stasiun bawah tanah terdekat. Tidak lagi sempat ke rumah sakit atau melapor ke polisi soal kehilangan barang karena saya harus segera kembali ke apartemen.
Keesokan paginya saya sudah harus ke bandara untuk kembali ke Tanah Air. Setelah berjuang keras menyeret kaki melewati anak-anak tangga nan menyiksa di stasiun metro, lewat tengah malam, saya pun tiba di apartemen.
Liputan Piala Eropa di Perancis sungguh di luar dugaan. Banyak sekali kejadian menyerempet bahaya dan tidak mengenakkan yang saya alami. Apa saya kapok? Tentu saja iya untuk musibah-musibah yang saya alami. Namun, hal itu juga yang telah memperkaya pengalaman saya. Meliput peristiwa olahraga besar rupanya tidak melulu berisi hal-hal enak dan dilayani media officer.
Suatu hari, saya ingin kembali ke Perancis untuk menapak tilas dan menikmati keindahan negara itu. Mudah-mudahan setelah pandemi ini berlalu....