Petenis Tunisia, Ons Jabeur, bangga karena bisa menjadi ikon keberhasilan tenis Afrika. Program hibah yang diberikan bagian pengembangan Grand Slam bagi petenis-petenis potensial membantu perjalanan kariernya.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Ons Jabeur gagal mewujudkan cita-citanya, melebihi babak perempat final Grand Slam untuk pertama kali dalam kariernya. Namun, tunggal putri Tunisia itu bangga karena bisa menjadi ikon keberhasilan tenis Afrika.
Jabeur lahir di Ksar Hellal, kota kecil di Tunisia, bagian utara Afrika dan besar di Sousse, kota pesisir yang membentang di Mediterania. Dia mengenal tenis ketika berusia tiga tahun melalui ibunya yang rutin bermain tenis sebagai hobi.
Olahraga itu, kemudian, ditekuni Jabeur di sekolah di bawah pelatih Nabil Mlika sejak berusia 10 tahun. Dua tahun kemudian, anak ketiga dari empat bersaudara itu pindah ke ibu kota Tunisia, Tunis, untuk berlatih di Lycee Sportif El Menzah, sekolah olahraga nasional untuk calon-calon atlet. Untuk mengasah bakatnya, Jabeur berlatih di Belgia dan Perancis, mulai usia 16 tahun.
Orang tua berkorban banyak untuk saya. Ibu selalu mengantar saya ke mana pun di Tunisia untuk mengikuti turnamen.
”Orang tua berkorban banyak untuk saya. Ibu selalu mengantar saya ke mana pun di Tunisia untuk mengikuti turnamen. Dia percaya pada saya dan memberi kesempatan untuk mewujudkan mimpi saya. Itu membuat saya percaya diri,” katanya.
Di level yunior, Jabeur pertama kali menembus final Grand Slam pada Perancis Terbuka 2010. Gelar juara didapat pada tahun berikutnya di ajang yang sama. Jabeur pun menyamai Ismail El Shafei (juara tunggal putra yunior Wimbledon 1964), menjadi petenis Arab yang menjuarai Grand Slam di tingkat yunior.
Memulai persaingan di turnamen WTA pada 2017, dia akhirnya menjadi petenis putri bangsa Arab dan Tunisia pertama yang menjuarai turnamen profesional putri. Jabeur mendapat gelar pertamanya di WTA 250 Birmingham 2021, salah satu turnamen pemanasan Wimbledon.
Atas dasar itu serta pengalaman tampil pada perempat final Australia Terbuka 2020 dan babak keempat Perancis Terbuka dalam dua tahun terakhir, Jabeur sebenarnya memiliki cita-cita lebih tinggi. ”Target saya adalah melewati perempat final, bermain di semifinal, dan mengapa tidak tampil di final?” katanya, sebelum berhadapan dengan Aryna Sabalenka pada perempat final di Lapangan Utama All England Club, London, Selasa (6/7/2021).
Namun, harapan itu tak tercapai. Kemampuan Jabeur dalam memilih pukulan yang variatif, hingga bisa mengubah ritme permainan dengan tiba-tiba, kali ini tak cukup untuk mengalahkan Sabalenka. Dia kalah, 4-6, 3-6.
Sabalenka pun akan berhadapan dengan Karolina Pliskova pada semifinal. Semifinal lain mempertemukan juara Grand Slam, Ashleigh Barty dan Angelique Kerber.
Meski tersingkir, Jabeur melihat banyak sisi positif dari penampilannya pada musim ini, termasuk di Wimbledon. Di lapangan rumput All England Club, dia mengalahkan tiga juara Grand Slam dalam perjalanan menuju delapan besar, yaitu Venus Williams, Garbine Muguruza, dan Iga Swiatek, pada babak kedua hingga keempat.
”Saya merasa sangat terhormat bisa mewakili Afrika dalam ajang olahraga sebesar ini. Saya mencoba bersikap baik dan menjadi contoh untuk generasi muda. Apalagi, Tunisia menghadapi masa sulit dengan Covid-19 dan persoalan lain. Saya bahagia bisa memberi pikiran positif pada mereka,” tuturnya.
Sejak Jabeur menjadi juara Grand Slam yunior pada 2011, banyak anak perempuan bermain tenis di negaranya. ”Saat ini, mungkin mereka sudah punya impian besar seperti saya. Saya senang bisa memberi pesan positif pada mereka,” lanjut petenis peringkat ke-24 dunia itu.
Pujian tak hanya datang dari publik dan politisi di Tunisia, tetapi juga dari petenis dan mantan petenis. Penghargaan bahwa Jabeur telah menjadi inspirasi bagi banyak orang diberikan oleh Roger Federer, Venus, Muguruza, juga, Chris Evert.
”Saya sangat menikmati ketika menjadi komentator untuk pertandinganmu. Saya takjub dengan kemampuan dan kreativitasmu di lapangan,” ujar Evert dalam akun Twitter-nya, ditujukan pada Jabeur.
Bantuan Grand Slam
Perjalanan inspiratif Jabeur di arena tenis profesional tak lepas dari program hibah yang diberikan bagian pengembangan Grand Slam bagi petenis-petenis potensial. Dia menerima bantuan itu pada 2017, saat masih berada di luar peringkat 100 besar dunia.
Bersama 11 petenis lain, Jabeur menerima bantuan 50.000 dollar AS (sekitar Rp 725 juta pada saat ini). Dengan hibah itu, Jabeur bisa memiliki pelatih dan tim pendukung yang lain. Dia pun bisa fokus mengikuti berbagai turnamen, tak terganggu persoalan biaya.
”Saya beruntung dipilih ITF (Federasi Tenis Internasional) untuk mendapat bantuan itu. Itu sangat membantu karena tenis adalah olahraga yang membutuhkan banyak biaya. Dengan program itu, saya pun bisa fokus pada latihan dan pertandingan,” katanya dalam laman resmi Wimbledon.
Selain bantuan pada 2017, Jabeur juga pernah menerima hibah dari bagian pengembangan Grand Slam pada awal kariernya. Dia menjadi bagian dari Tim U-14 Afrika untuk tur di Eropa pada 2008. Pada 2009, 2011, dan 2013, Jabeur mendapat suntikan dana untuk mengikuti berbagai turnamen.
Kisah Jabeur ini menggarisbawahi program yang telah memberikan kontribusi lebih dari 55 juta dollar AS (Rp 798 miliar) untuk pengembangan tenis sejak 1986. Berkat Jabeur pula, sebanyak 29 petenis dari 22 negara yang merupakan bagian dari penerima hibah Grand Slam terbaru akan mengikuti jejaknya.
Jabeur tak hanya menjadi inspirasi bagi Tunisia dan bangsa Arab, khususnya kaum perempuan. Dia juga telah menjadi contoh bagi banyak generasi muda bangsa lain. (AFP)