Pelatih Antonio Conte pernah disebut ”sang juru selamat” Juventus menuju era keemasannya. Kini, bersama Inter Milan, ia selangkah lagi mengakhiri masa dominasi itu. Tak pelak, Conte dianggap ”Alfa dan Omega” di Serie A.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
Dalam satu dekade terakhir, Juventus adalah klub paling dominan di Liga Italia dengan raihan sembilan gelar juara beruntun. Dinasti kejayaan klub Turin itu segera runtuh, ironisnya berkat sentuhan mantan pelatih yang menjadi peletak tonggak kesuksesan mereka, Antonio Conte.
Lewat sentuhan Conte, timnya saat ini, Inter Milan, tinggal selangkah meraih scudetto (gelar juara Liga Italia) yang telah didamba 11 tahun lamanya. Menyusul kekalahan rival utamanya, AC Milan, 0-3, dari Lazio, Selasa (27/4/2021) dini hari WIB, Inter bisa menyegel scudetto ke-19 mereka pada akhir pekan ini.
Syaratnya, mereka mengalahkan Crotone pada Sabtu (1/5/2021) malam WIB, sementara Atalanta (tim peringkat kedua saat ini) gagal menang atas Sassuolo, sehari berikutnya. Jika skenario itu betul terwujud, Inter tidak lagi bisa terkejar dengan keunggulan 13 poin di puncak. Adapun Liga Italia Serie A pada musim 2020-2021 kini hanya menyisakan lima pekan.
”Conte sangat bagus. Dia membuat lingkungan dan cara bermain yang membuat timnya sangat kuat dan cocok untuk mengejar gelar juara (liga). Hal menariknya, dia datang sebagai mantan pemain Juventus (di Inter), tetapi dia sangat serius dan profesional,” ujar Massimo Moratti, mantan Presiden Inter Milan, memuji kinerja Conte dalam wawancara dengan Radio Marte.
Pujian Moratti, pengusaha yang pernah membawa Inter ke masa kejayaannya pada kurun 2006-2013 silam, bukanlah tanpa alasan. Conte bisa disebut wujud ”alfa dan omega” kejayaan klub-klub Serie A, satu dekade terakhir ini.
Pria perfeksionis dan temperamental itu adalah peletak dasar era keemasan Juve di Serie A, satu dekade terakhir ini. Era emas itu dimulai pada 2011 silam, yaitu setelah Conte membawa klub Serie B, Siena, promosi ke Serie A.
Conte, mantan gelandang dan kapten tim Juve pada era Pelatih Marcello Lippi, merasa terpanggil sekaligus tertantang untuk melatih ”Si Nyonya Besar” saat itu. Seperti saat pertama kali tiba di Inter, 2019 lalu, Juve saat itu hancur lebur dan kehilangan identitasnya sebagai salah satu tim terhebat di Italia. Mereka sempat terdegradasi dan kehilangan sejumlah pemain hebatnya menyusul skandal calciopoli atau pengaturan skor.
”Kawan-kawan semua, kita finis ketujuh dalam dua musim terakhir. Sungguh gila. Saya tidak datang ke sini untuk kembali mengulanginya. Saatnya kita hentikan kekonyolan ini. Kita harus kembali ke level semestinya. Adalah hal kriminal jika kita tidak bisa finis di tiga besar,” ujar Conte dalam perkenalan dengan staf dan para pemain Juve saat itu, seperti dikutip Football-Italia.
Perkataan itu bak menampar dan membangunkan semua pemain Juve, seperti Gianluigi Buffon, Giorgio Chiellini, Leonardo Bonucci, dan Andrea Pirlo. ”Perkataan kerasnya seperti menghantam pikiran kami,” kenang Pirlo dalam buku otobiografinya yang dipublikasikan 2014 lalu.
Conte membuat barisan pecundang menjadi sekelompok pria penuh percaya diri, bahkan para pemburu trofi. Dalam musim pertamanya di Juve, ia langsung meruntuhkan oligopoli duo klub Milan, AC dan Inter, di Serie A. Juve menutup musim 2011-2012 sebagai kampun liga itu. Mereka bahkan meraih status invincibles alias tak terkalahkan dari 38 laga Serie A pada musim itu.
Juru selamat
Tak heran, sejumlah pendukung Juve menyebut Conte sebagai ”sang juru selamat”. ”Ia datang pada saat tepat, ketika asa telah lama sirna. Kehadirannya di Turin menumbuhkan kembali keyakinan lama yang sempat hilang,” ujar Karan, salah seorang penggemar Juve.
Conte sangat bagus. Dia membuat lingkungan dan cara bermain yang membuat timnya sangat kuat dan cocok untuk mengejar gelar juara.
Kegemilangan Juve itu berlanjut, tanpa terputus, hingga akhir dekade lalu. Massimiliano Allegri, pengganti Conte, tinggal meneruskan pembangunan dinasti kokoh Juve yang fondasinya dibuat Conte. ”Kesuksesan Juve adalah berkatnya (Conte). Dia bukan guru ataupun pesulap. Yang ia lakukan adalah membuat kalimat motivasi gila yang menancap di hati,” kata Pirlo, Pelatih Juventus saat ini.
Resep kesuksesan ala Conte itu diterapkannya kembali di Inter. Sempat terpuruk lama dan kesulitan menjadi pesaing scudetto sepanjang dekade lalu, Inter berubah bak kupu-kupu.
Pada musim pertamanya di Inter, 2019-2020, Conte nyaris membawa ”I Nerazzurri” meraih gelar ganda, yaitu juara Liga Italia dan Liga Europa. Mereka hanya terpaut tipis, yaitu satu poin, dari juara Serie A saat itu, Juve asuhan Maurizio Sarri. Padahal, pada delapan musim sebelumnya, Inter tidak pernah finis lebih baik dari peringkat keempat.
Rajin berlari
Musim ini mereka bertambah kuat dan kompak. Seperti saat menangani Juve, Conte membangun Inter dengan kekuatan motivasi, kolektivitas, dan kerja keras. Mengacu laporan La Gazetta dello Sport, Inter adalah tim paling rajin berlari. Tiada yang mengalahkan mereka sekalipun Atalanta yang terkenal sangat total dan kolektif.
Mereka rata-rata menempuh 113 kilometer per 90 menit laga pada Serie A musim ini. Setiap pemain Inter dituntut Conte agar mendukung rekan setimnya, baik menyerang maupun bertahan. Tak heran, mereka selalu tampil kompak dan jarang kebobolan.
Sebaliknya, Juve adalah tim paling malas di jajaran sembilan besar. Mereka hanya berlari rata-rata 109,3 kilometer per laga.
Roda nasib berputar. Juve kini ganti terpuruk. Sementara Inter, bersama Conte, mulai menatap era keemasan baru. ”Jika kami juara musim ini, mereka (para pemain Inter) akan memulai era di mana scudetto bisa menjadi candu,” ujar Conte.