Rafael Nadal meraih gelarnya di ATP Barcelona yang ke-12 setelah mengalahkan Stefanos Tsitsipas. Nadal selalu tertinggal lebih dulu dalam setiap set, tapi akhirnya membalas kekalahan di perempat final Australia Terbuka.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
”Dia adalah kompetitor sejati di lapangan. Dia benci kalah. Dia membenci kekalahan lebih dari siapa pun.”
Komentar itu disampaikan Stefanos Tsitsipas setelah dikalahkan Rafael Nadal dalam final turnamen tenis ATP 500 Barcelona, Spanyol, Minggu (25/4/2021). Tsitsipas kalah, 4-6, 7-6 (6), 5-7, dalam laga selama 3 jam 38 menit. Durasi itu membuat laga tersebut menjadi final Tur ATP best of three terlama sejak statistik digital diperkenalkan pada 1991.
Permainan Nadal, dalam pertandingan yang berakhir hingga Senin (26/4/2021) dini hari waktu Indonesia itu, tidaklah sempurna. Dia selalu tertinggal lebih dulu dalam setiap set.
Dalam servis, misalnya, Nadal membuat lima double fault, salah satunya membuat Tsitsipas unggul 7-6 pada tie-break set kedua. Tsitsipas pun memenangi set itu melalui servis pada poin berikutnya.
Namun, ada faktor lain yang membuat Tsitsipas mengibaratkan sebagai penderitaan baginya. Itu adalah cara Nadal mengatasi tekanan besar. Dia hampir kalah ketika Tsitsipas mendapat match point pada skor 5-4 (40-30) set ketiga. Namun, situasi itu tak membuat mental Nadal goyah.
Saya tak pernah melihat seseorang berjuang seperti itu. Dia membuat saya sangat kesulitan di lapangan. Ketika terjadi reli, saya tak pernah tahu kapan reli itu akan berakhir. Rafa selalu berusaha keras mengembalikan setiap bola.
”Saya tak pernah melihat seseorang berjuang seperti itu. Dia membuat saya sangat kesulitan di lapangan. Ketika terjadi reli, saya tak pernah tahu kapan reli itu akan berakhir. Rafa selalu berusaha keras mengembalikan setiap bola,” ujar Tsitsipas yang dua bulan lalu mengalahkan Nadal di perempat final Grand Slam Australia Terbuka dalam laga epik, 3-6, 2-6, 7-6 (4), 6-4, 7-5.
Kemenangan di Melbourne Park membuat Tsitsipas hanya menjadi petenis ketiga yang bisa mengalahkan Nadal setelah kehilangan dua set awal dalam format best of five sets. Dua petenis lainnya adalah Roger Federer dan Fabio Fognini.
Meski kalah di Barcelona, petenis Yunani berusia 22 tahun itu selalu membawa pola pikir bahwa pertemuan dengan Nadal selalu memberi pengalaman untuk bekal masa depan. ”Saya selalu senang menghadapi Rafa yang bermain seperti itu. Itu membuat saya menjadi petenis yang semakin baik, mendorong saya melebihi batas kemampuan. Semua pengalaman itu membuat saya berkembang,” tutur petenis peringkat kelima dunia itu.
Kerja keras
Bagi Nadal, gelarnya di Barcelona menjadi yang ke-12 setelah menjadi juara pada 2005-2009, 2011-2013, dan 2016-2018. Ini menjadi bagian gelar ke-61 di turnamen tanah liat dari total 87 gelar juara Nadal. Hanya ada satu rekor yang melebihi jumlah 12 gelar dalam satu turnamen tersebut, itu pun atas namanya sendiri, yaitu 13 gelar di Roland Garros.
Kemenangan di lapangan utama Real Club de Tenis Barcelona yang terinspirasi dari namanya, Pista Rafa Nadal, membayar kegagalannya dalam turnamen ATP Masters 1000 Monte Carlo, pekan lalu. Ketika itu, dia dihentikan Andrey Rublev pada perempat final. Padahal, Monte Carlo Masters menjadi bagian dari tiga ajang yang memberi Nadal gelar terbanyak selain ATP Barcelona dan Perancis Terbuka. Nadal 11 kali juara di Monte Carlo, tetapi gelar pada tahun ini didapat Tsitsipas.
Catatan tersebut membuat Nadal sangat mewaspadai salah satu alumni ”Next Gen” itu meski pertandingan berlangsung di lapangan favoritnya, tanah liat. ”Stefanos bermain sangat baik dibandingkan perjalanan kariernya selama ini. Dia tak kehilangan set di Monte Carlo juga dalam menuju final di sini. Dia telah menjadi salah satu lawan yang sangat sulit dikalahkan,” ujar Nadal.
Petenis peringkat ketiga dunia tersebut, kemudian, menyebut kata kunci untuk kemenangannya kali ini. Terdengar klise, tetapi menjadi senjata ampuh, yaitu kerja keras.
”Saya bekerja keras setiap hari. Hidup saya adalah menerima tantangan setiap hari. Saya harus menerima ketika tak dapat bermain dengan baik, tetapi setelah itu saya harus bekerja keras menemukan solusinya,” jelasnya.
Prinsip itu membuahkan hasil dalam laga final yang disebutnya sebagai yang tersulit sejak menjalani debut di ATP Barcelona pada 2003. ”Saya tak pernah menjalani final seperti tadi dalam turnamen ini. Jadi, bisa mengalahkan Stefanos yang juara di Monte Carlo dan ke final di sini tanpa kehilangan set sangat berarti bagi saya. Ini adalah kemenangan penting, apalagi terjadi di ’rumah’ sendiri,” ujar Nadal yang tak pernah kalah dalam final di Barcelona.
Nadal membutuhkan kemenangan itu untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya sebelum Grand Slam Perancis Terbuka di Roland Garros, 30 Mei-13 Juni. Dengan usia 34 tahun dan tubuh yang rentan cedera, hanya turnamen di lapangan tanah liat yang membuatnya nyaman sekaligus membuka peluang menambah 20 gelar Grand Slam yang telah diraihnya. (AP)