All England dalam Kemelut Sejarah
All England memiliki daya “magis” dalam setiap perhelatannya. Selain sebagai ladang prestasi, turnamen ini juga kerap memberikan suguhan pengalaman tak terlupakan bagi prestasi bulu tangkis Indonesia.
Sebagai turnamen bulu tangkis tertua di dunia, All England memiliki daya “magis” dalam setiap perhelatannya. Selain sebagai ladang prestasi, turnamen ini juga kerap memberikan suguhan pengalaman tak terlupakan pada sejumlah penyelenggaraan bagi Indonesia.
Olahraga bulu tangkis dan All England adalah dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Setelah diselenggarakan untuk pertama kali pada akhir abad ke-19, turnamen ini kerap menjadi panggung torehan prestasi bagi sejumlah bintang bulu tangkis dunia.
Sejumlah nama top dalam sejarah bulu tangkis dunia seperti Rudy Hartono (Indonesia), Lin Dan (China), Camilla Martin (Denmark), hingga Bang Soo-Hyun (Korea Selatan), pernah menorehkan namanya dalam panggung kehormatan All England.
Hingga kini, 122 tahun silam sejak penyelenggaraan perdana All England, turnamen ini masih begitu bergengsi dan dinanti oleh pecinta bulu tangkis di dunia.
Dalam skala popularitas, jika dibandingkan dengan dunia sepak bola, All England serupa dengan Liga Champions Eropa, yang menyita banyak perhatian pecinta sepak bola dari berbagai penjuru dunia. Atau, dalam dunia tenis, popularitas All England setara dengan Grand Slam seperti Australia Terbuka atau Perancis Terbuka.
Gengsi All England dalam turnamen bulu tangkis kian dikukuhkan saat Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) pada 2018 lalu membagi turnamen bulu tangkis internasional dalam beberapa tingkatan. Sejak saat ini, dunia bulu tangkis resmi mengenal istilah baru pengganti turnamen internasional sebelumnya seperti Superseries dan Grand Prix Gold.
Turnamen tingkatan teratas adalah pertandingan skala besar seperti olimpiade, Piala Thomas dan Uber, Piala Sudirman, hingga Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis. Dalam tingkatan kedua atau BWF World Tour, terdapat enam level turnamen, yakni BWF Tour Super 100, BWF World Tour 300, 500, 750, 1000, dan BWF World Tour Finals.
Semakin tinggi tingkatan turnamen, maka akan semakin tinggi jumlah poin yang dapat diperoleh serta hadiah yang diperebutkan. Poin berguna dalam menentukan peringkat dunia para atlet bulu tangkis.
All England masuk ke dalam turnamen tingkatan kedua bertajuk “BWF World Tour Super 1000”. Ajang ini hanya satu tingkat di bawah BWF World Tour Finals yang merupakan turnamen internasional level tertinggi dalam ajang BWF World Tour. Selain All England, ada dua turnamen lainnya yang memiliki level setara, yakni Indonesia Terbuka dan China Terbuka.
Baca juga: Indonesia, Rumah Prestasi Pebulu Tangkis Dunia
Kendala penyelenggaraan
Catatan sejarah panjang penyelenggaraan hingga masuknya All England sebagai turnamen level elite juga turut mendorong popularitas turnamen ini. Namun, di tengah besarnya daya tarik All England, penyelenggaraan turnamen ini tak jarang mengalami batu sandungan, persis seperti sejumlah turnamen internasional lainnya.
Menilik berdasarkan catatan arsip All England, batu sandungan pertama adalah pada tahun 1915-1919. Kejuaraan ini harus terhenti akibat Perang Dunia I. Padahal, saat itu adalah masa keemasan dari pebulu tangkis Inggris, Guy Sautter dan Lavinia Radeglia. Keduanya berhasil meraih juara dalam turnamen All England dua kali berturut-turut sebelum meletusnya Perang Dunia I.
Hal serupa kembali terulang ketika Perang Dunia II. Sejak tahun 1940-1946, All England terpaksa harus dihentikan sambil menunggu kondisi kembali stabil. Turnamen ini akhirnya kembali diselenggarakan pada tahun 1947 dengan melahirkan juara baru seperti Conny Jepsen dari Swedia untuk sektor tunggal putra dan Marie Ussing dari Denmark untuk sektor tunggal putri.
Setelah perang dunia, penyelenggaraan All England rutin dilakukan setiap tahunnya. Penyelenggaraan ini sempat mengalami ganjalan saat Konfederasi Bulu Tangkis Asia berencana untuk melarang pemain Asia ikut serta dalam ajang All England 1977. Wacana ini disampaikan oleh Sekretaris Konfederasi Bulu Tangkis Asia Teh Gin Sooi pada Februari 1976.
Saat itu, ajang All England dinilai telah kehilangan pamornya sebagai turnamen utama. Pasalnya, telah terdapat invitasi bulu tangkis Asia serta kejuaraan dunia di Swedia. Dua pertandingan ini dinilai akan mengurangi pamor All England (Kompas, 27 Februari 1976).
Namun, Indonesia kala itu mengambil jalan tengah. Meski waktu penyelenggaraan invitasi bulu tangkis Asia berdekatan dengan penyelenggaraan All England, Indonesia tetap memutuskan untuk ikut serta dalam dua ajang ini. All England, yang saat itu menjadi kejuaraan dunia tidak resmi, diikuti oleh Indonesia tanpa target prestasi (Kompas, 22 Maret 1977).
Kendala terkait penyelenggaraan juga dialami oleh penyelenggara All England pada tahun 1982. Saat itu, panitia All England cukup mengalami kesulitan karena jumlah wartawan yang meliput membludak.
Selain memenuhi ruang istirahat, meja wartawan di tribune juga penuh sesak. Panitia pun berusaha untuk mengatur ruangan hingga memberikan celah yang lebih lega bagi wartawan (Kompas, 27 Maret 1982).
Baca juga: Kasus All England, PBSI-Kemenpora Perlu Berefleksi Diri
Indonesia dan All England
Dalam sejarah keikutsertaan dalam ajang All England, sejumlah kendala dalam hal penyelenggaraan juga menghampiri Indonesia, salah satunya adalah pada tahun 1984. Saat itu, Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) protes kepada panitia penyelenggara. Pasalnya, dua pemain sektor tunggal putra, Liem Swie King dan Icuk Sugiarto, ditempatkan pada satu grup yang sama. Akibat keputusan ini, maka pupus sudah peluang untuk mempertemukan wakil Indonesia di partai final.
Kedua pemain ini memang terpaksa berada dalam satu grup yang sama karena menjadi pemain papan atas atau pemain unggulan dalam turnamen ini. Liem Swie King adalah andalan yang saat itu diprediksi mampu menembus partai final sektor tunggal putra. Pengalamannya meraih juara All England sektor tunggal putra pada tahun 1978, 1979, dan 1981, menjadi senjata bagi Indonesia menghadapi turnamen ini.
Sementara Icuk Sugiarto, pada tahun 1983 baru saja menyandang juara dunia bulu tangkis termuda. Wajar saja jika Indonesia berharap kedua pemain ini berada dalam dua grup yang berbeda, sehingga dapat bertemu dalam partai final All England.
Aturan ini tidak hanya merugikan Indonesia. Menurut manajer tim bulu tangkis Inggris saat itu, Ciro Ciniglio, Inggris sebagai tuan rumah juga turut dirugikan. Pasalnya, dua pasangan ganda campuran yang diturunkan juga berada dalam satu grup yang sama. Padahal, kedua pasangan ini adalah andalan Inggris dalam All England 1984 (Kompas, 18 Maret 1984).
Meski aturan teknis telah ditetapkan, hal ini tidak membuat sejumlah negara peserta All England pasrah begitu saja. Tim bulu tangkis Inggris, misalnya, yang melemparkan usulan agar pembagian grup dalam undian dalam ajang All England tidak hanya mempertimbangkan peringkat pemain, melainkan juga asal negaranya. Dengan begitu, maka setiap negara memiliki kesempatan yang sama untuk merancang strategi demi meraih gelar juara.
Indonesia saat itu akhirnya gagal mendulang prestasi di sektor ganda putra setelah Liem Swie King dalam partai final dikalahkan oleh pebulutangkis asal Denmark, Morten Frost. Beruntung, Indonesia masih pulang dengan kepala tegak setelah Rudy Heryanto/Kartono menjuarai sektor ganda putra.
Selain pembagian grup pemain, sejumlah persoalan teknis lainnya juga turut disoroti dalam penyelenggaraan All England 1984. Menurut catatan harian Kompas, yang kala itu mengirimkan wartawan ke Inggris untuk meliput pertandingan, penyelenggaraan All England saat itu tidak seperti biasanya. Salah satunya adalah tidak adanya acara sambutan atau resepsi selamat datang bagi pemain.
Buku panduan terkait pertandingan, termasuk jadwal, juga tidak disediakan. Padahal, buku ini sangat penting, terutama bagi pewarta dan pelancong yang ingin menikmati suguhan aksi pemain bulu tangkis dunia.
Catatan lainnya yang saat itu juga terekam adalah terkait fasilitas wartawan. Jika dalam penyelenggaraan All England sebelumnya disediakan mesin teleks, maka pada tahun 1984 hanya disediakan telepon. Padahal, mesin teleks saat itu menjadi kebutuhan utama wartawan karena dapat mengirimkan pesan berbasis teks.
Ruang untuk wartawan pun tidak lagi disediakan di dekat lokasi pertandingan. Akibatnya, kala itu wartawan tidak bisa segera melaporkan hasil pertandingan ke masing-masing kantor berita di berbagai penjuru dunia (Kompas, 22 Maret 1984).
Kendala teknis lainnya juga terjadi saat penyelenggaraan All England pada tahun 1992. Demi menghemat biaya penyelenggaraan, panitia All England memaksakan agar kejuaraan diselesaikan dalam waktu empat hari. Waktu penyelenggaraan ini lebih singkat satu hari dibandingkan All England 1991.
Dampaknya, pemain dituntut bertanding hingga tiga kali dalam sehari. Eddy Hartono, pemain ganda putra Indonesia yang menjadi unggulan kedua saat itu bahkan cukup terkejut dengan aturan dan jadwal yang ditetapkan. Sepanjang sejarah keikutsertaannya dalam kejuaraan, inilah kali pertama harus menerima pengaturan jadwal seketat ini.
Salah satu panitia penyelenggara, J. Gowers, saat itu menekankan penetapan jadwal sudah sesuai dengan aturan Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF). Selain menghemat biaya, penyelenggaraan All England yang dimulai pada Rabu, 11 Maret 1992, juga harus selesai pada hari Sabtu, 14 Maret 1992, agar dapat diliput oleh media Inggris sehingga dapat menjadi berita utama pada hari Minggu. Hal ini dilakukan mengingat bulu tangkis di Inggris saat itu masih kalah pamor dibandingkan sepak bola maupun bisbol (Kompas, 10 Maret 1992).
Pada tahun 1992, Indonesia akhirnya berhasil meraih satu gelar pada sektor ganda putra yang diraih oleh Rudy Gunawan/Eddy Hartono. Jumlah gelar ini lebih sedikit dibandingkan 1991 saat Indonesia mampu merebut dua gelar pada sektor tunggal putra oleh Ardy Wiranata dan tunggal putri oleh Susi Susanti.
Terbaru, kendala juga dialami oleh Indonesia pada penyelenggaraan All England 2021. Tim Indonesia terpaksa mundur dari turnamen setelah 20 dari 24 anggota tim menerima surat elektronik dari otoritas layanan kesehatan nasional Inggris.
Tim Indonesia diharuskan melakukan isolasi mandiri di hotel selama 10 hari hingga 23 Maret karena memiliki kontak dengan penumpang pesawat yang terindikasi positif Covid-19 dalam perjalanan dari Istanbul, Turki, ke Birmingham, Inggris.
Dengan segala catatan sejarah panjang All England, wajar saja bila hal ini begitu memukul bagi Indonesia. Warganet pun membanjiri komentar di akun media sosial milik BWF sebagai wujud protes pada penyelenggara.
Protes ini tergolong wajar. Sebab, jika memang terdapat kewajiban isolasi mandiri selama 10 hari saat memiliki riwayat kontak dengan pasien positif, semestinya para pemain diwajibkan sejak awal untuk hadir di atas 10 hari jelang pertandingan.
Dengan mundurnya Indonesia secara terpaksa, maka dua tim besar resmi tidak ambil bagian dalam turnamen ini. Sebelumnya, China sudah lebih awal memutuskan untuk tidak ambil bagian dalam All England karena pertimbangan kondisi dunia akibat Covid-19.
Baca juga: Menatap ke Depan Setelah All England
Prestasi Indonesia
Meski menuai sejumlah polemik dalam penyelenggaraannya, All England adalah salah satu ladang prestasi bagi Indonesia. Sejak Tan Joe Hok pertama kali meraih gelar juara bagi Indonesia pada 1959, secara total Indonesia telah mengoleksi 48 gelar dalam ajang All England. Gelar juara ini lebih banyak dibandingkan Korea Selatan (35), Malaysia (26), dan Jepang (18).
Pada sektor ganda putra, Indonesia telah menorehkan 15 gelar juara. Rudy Hartono memegang rekor dengan raihan delapan gelar. Pada sektor ini Indonesia terakhir kali meraih juara pada tahun 1994 melalui capaian Heryanto Arbi.
Pada sektor tunggal putri, Indonesia pernah menorehkan empat kali gelar juara pada tahun 1990, 1991, 1993, dan 1994. Seluruh gelar diraih oleh Susi Susanti.
Torehan prestasi juga dicatatkan oleh sektor ganda putra. Sejak pertama kali meraih gelar pada tahun 1972 melalui duet Christian/Ade Chandra, Indonesia hingga saat ini telah mengoleksi 21 gelar juara.
Gelar terakhir diraih pada tahun 2019 oleh pasangan Mohammad Ashan/Hendra Setiawan. Pasangan ini kini menduduki peringkat kedua di dunia di bawah pasangan Indonesia lainnya, Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo.
Sementara puasa gelar sudah cukup lama dialami oleh sektor ganda putri Indonesia. Dengan total raihan dua gelar, Indonesia terakhir merebut gelar ini pada tahun 1979 melalui pasangan Wiharjo Verawaty/Imelda Wigoeno.
Prestasi terakhir yang dicapai oleh Indonesia dalam ajang All England adalah pada sektor ganda campuran. Pada tahun 2020 lalu, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti berhasil mendulang gelar juara bagi Indonesia. Total ada enam gelar yang telah dikoleksi oleh Indonesia pada sektor ganda campuran.
Sederet prestasi dalam ajang All England yang telah diraih tentu dapat menjadi cambuk bagi Indonesia untuk terus mempertahankan sejumlah torehan positif berikutnya. Kini, kekecewaan Indonesia dalam ajang All England 2021 tentu tidak boleh berlarut-larut karena Olimpiade Tokyo 2020, yang digelar pada musim panas mendatang, telah menanti di depan mata. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?