WandaVision dan Dewa Kipas dalam Jeratan Hiper-realitas
Jagoan Marvel, Wanda Maximoff, dan pecatur Indonesia, ”Dewa Kipas” alias Dadang Subur, merupakan dua karakter yang tidak punya kesamaan apa pun. Namun, keduanya dipersatukan ”alam” yang sama, yaitu hiper-realitas.
Oleh
Yulvianus Harjono
·6 menit baca
Sepekan terakhir, emosi dan pikiran sebagian warganet Tanah Air tersita pada dua hal, yaitu ending serial populer Marvel, WandaVision, dan kontroversi kasus pecatur lokal Indonesia, ”Dewa Kipas” alias Dadang Subur. Secara sepintas, tiada satu pun kemiripan kedua fenomena itu, kecuali sama-sama viral dibahas di media sosial dan jagat maya. Namun, realitasnya tidaklah demikian.
WandaVision, film serial paling banyak ditonton di dunia sepanjang 2021 (Business Insider, 25 Februari 2021), menceritakan kisah pahlawan super dalam jagat Marvel, Wanda Maximoff. Meskipun diawali jenaka berupa adegan komedi situasi (sitkom) hitam-putih khas era 1950-an, WandaVision sejatinya adalah sekuel The Avengers yang paling ”muram” dan kaya plot twist. (Catatan: tulisan ini mengandung spoiler)
Wanda, yang diperankan sangat menawan oleh aktris Elizabeth Olsen, sekaligus menyingkap sisi paling manusiawi dari seorang pahlawan super. WandaVision lebih menonjolkan alter ego seorang Wanda, karakter Marvel yang memiliki kekuatan menakjubkan, mulai dari mengendalikan pikiran manusia hingga telekinesis. Wanda ingin mewujudkan cita-cita lamanya, yaitu membentuk keluarga dan hidup bahagia seperti manusia kebanyakan.
Keinginan kuat itu—yang didorong rangkaian tragedi dan duka menyusul kepergian orang-orang yang dicintainya, mulai dari orangtua, adik, hingga kekasihnya—mendorong Wanda melahirkan realitas buatan bernama Westview. Kota yang diselubungi hex atau pagar energi kuat yang tidak bisa ditembus manusia biasa itu menjadi perwujudan hiper-realitas dari pikiran Wanda.
Maka, di Westview, Wanda bisa mewujudkan mimpi tertundanya yang mustahil terwujud. Vision, kekasih Wanda yang terbunuh dalam Avengers: Infinity War (2018), hidup kembali. Mereka bahkan dikarunai dua anak, Billy dan Tommy, berkat kehadiran hiper-realitas itu.
Berbeda dengan kebanyakan film pahlawan super lainnya, nyaris tidak ada tokoh penjahat super dalam sembilan episode serial yang telah ditayangkan di layanan streaming Disney+ Hotstar itu. Karakter protagonis dan antagonis melebur sekaligus pada diri Wanda, tokoh yang lantas terungkap sebagai ”Scarlet Witch” atau penyihir paling sakti di jagat raya.
Kita kini hidup dalam hiper-realitas, yaitu kondisi di mana rekaan realitas itu tampak lebih riil dari kenyataan itu sendiri. Apalagi, di era pandemi saat ini, interaksi manusia telah digantikan piksel digital yang membanjiri internet setiap hari.
Demi ego hidup bahagia bersama keluarganya yang semestinya tidak nyata, Wanda terpaksa menyandera dan menghipnotis ratusan warga Westview di dalam hex. Itulah pangkal dari kekacauan di WandaVision yang mengundang banyak kompleksitas dan potensi sekuel lanjutan, termasuk pula hadirnya penjahat super bernama Mephisto, seperti tergambarkan dalam komik Marvel.
Era pandemi
Namun, Wanda tidak sendirian dalam masalah membedakan alam realitas dan buatan. Hiper-realitas, seperti disampaikan sosiolog Perancis, Jean Baudrillard, adalah tantangan terbesar manusia modern. Menurut Jean Baudrillard, seiring dengan perkembangan teknologi, manusia modern akan semakin sulit membedakan alam fisik (nyata) dan rekaan. Teori post-modern yang dicetuskan pada 1981 itu kian nyata pada milenium ketiga ini, khususnya di era pandemi Covid-19.
Fenomena ”Dewa Kipas”, yang menyita perhatian besar dunia catur sejagat, akhir-akhir ini, menjadi penegas teori itu. Sekitar dua pekan lalu, para penggemar layanan catur daring, Chess.com, digegerkan dengan keberhasilan Dewa Kipas mengalahkan pecatur profesional asal AS, International Master (IM) Levy Rozman (25).
Bak pemain super berlevel grand master (GM), tingkat akurasi langkah Dewa Kipas pada laga itu mencapai 94 persen. Adapun akurasi Levy, yang dikenal sebagai ”raja” catur daring dan punya banyak pendukung, hanyalah 76. Kemenangan Dewa Kipas itu bak tsunami dalam catur daring.
Dewa Kipas, yang diketahui bernama asli Dadang Subur (60), dianggap bukan siapa-siapa di catur daring sebelum laga itu. Jangankan bergelar FIDE, seperti IM ataupun GM, Dadang tidaklah punya rekam jejak prestasi di percaturan nasional. Di balik nama avatarnyayang terdengar hebat, bak dewa-dewi Yunani, Dadang sehari-harinya adalah pensiunan karyawan yang menghidupi diri dengan berjualan pakan burung.
Salah satu kontroversi tergila dalam catur daring dan itu belum berlalu hingga saat ini.
Tidak heran, tanpa rekam jejak yang jelas, Dadang dituduh berbuat curang dengan memakai bantuan bot atau kecerdasan buatan saat bermain Chess.com. Akunnya di catur daring itu bahkan telah diblokir pengelola karena dianggap mencurigakan. Hanya dalam waktu singkat, sejak pertama kali terdaftar di Chess.com pada 5 Februari 2021, peringkat ELODadang melesat ke 2.300 atau setara IM dan nyaris menyamai Levy (2.431).
Kontroversi tergila
Meskipun demikian, Dadang dibela ribuan netizen Indonesia yang menghujani akun media sosial Levy dengan kata-kata kasar, bahkan bernada ancaman. Dadang dianggap ”pahlawan super” Indonesia di tengah krisis prestasi olahraga nasional di kancah dunia. Persoalan pun melebar ke sentimen nasionalisme dan berujung diblokirnya Indonesia dari kanal milik Levy di Youtube, pekan lalu.
”Salah satu kontroversi tergila dalam catur daring dan itu belum berlalu hingga saat ini,” komentar Chieff Chess Officer (CCO) Chess.com Danny Rensch yang terpaksa turun tangan langsung mengusut dugaan kecurangan Dewa Kipas untuk meredakan ketegangan akibat kasus itu, seperti dikutip dari media daring internasional Wired.
Dalam penelusurannya, dibantu tim Fair Play Chess.com, Danny menyimpulkan, Dewa Kipas diyakini curang. Dari puluhan data permainan yang dianalisis, langkah Dewa Kipas diketahui menyamai bot dan mustahil dicapai manusia biasa. Langkah Dadang diketahui berkali-kali bisa menembus angka 97, bahkan dua kali di atas 99. Padahal, sebagai perbandingan, langkah GM Indonesia, Susanto Megaranto, hanya mampu mencapai akurasi 94,4 hingga 95,3.
Namun, anak Dadang, Ali Akbar, membela ayahnya. Ia berargumen, akurasi Dadang sangat tinggi, mirip seperti bot, karena ia memang rutin berlatih menghadapi bot. Ali juga menyebutkan, ayahnya sangat giat bermain Chess.com dancatur daring lain, beberapa bulan terakhir, sehingga peringkat ELO-nya cepat melesat. Dadang bahkan berkali-kali diomeli istrinya karena ia sering kali lupa waktu ketika bermain, bak seorang bocah.
Seperti halnya Wanda, Dadang terjebak dalam pusaran hiper-realitas. Ia menjadikan catur daring, khususnya Chess.com, sebagai hex untuk mewujudkan alter ego terpendam, yaitu sebagai pecatur hebat, gelar bergengsi yang gagal diwujudkannya semasa muda. Jika Wanda ingin menjadi manusia biasa, "Dewa Kipas" justru ingin menjelma pahlawan super.
”Kita kini hidup dalam hiper-realitas, yaitu kondisi di mana rekaan realitas itu tampak lebih riil dari kenyataan itu sendiri. Apalagi, di era pandemi saat ini, interaksi manusia telah digantikan piksel digital yang membanjiri internet setiap hari (Kian Bakhtiari. Forbes, 30/12/2020).
Kondisi di mana rapuh atau runtuhnya batas realitas dan angan-angan itu memicu hal yang paling ditakutkan, seperti yang pernah diprediksi filsuf Friedrich Nietzche, lebih dari seabad silam. Dalam teori post-truth, kebenaran dan kebohongan/rekayasa kian menjadi buram atau relatif. Hal itu semakin terlihat di era modern di mana individu kerap bersembunyi di dalam avatar yang ia buat dan hanya menerima kebenaran dari hal yang diyakini kelompoknya.
Sadar dengan kekacauan dan dampak negatif yang telah dibuatnya, dalam endingWandaVision, Wanda lalu mengambil keputusan tersulit dalam hidupnya. Setelah mengalahkan Agatha Harkness, Wanda lantas meruntuhkan hex, pagarrealitas buatannya. Walaupun mengiris hatinya sendiri, ia pun rela melepas kepergian Vision sebagai konsekuensi pilihannya itu.
Melepas cengkeraman realitas buatan memang tidak pernah mudah. Konsekuensi serupa pun kini dihadapi Dadang Subur....