Pemda Diminta Kreatif Lakukan Mitigasi Perubahan Iklim
Semua pemda di Indonesia agar kreatif dalam mitigasi bencana akibat perubahan iklim.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah daerah diminta lebih kreatif saat melakukan mitigasi perubahan iklim. Efek bencana kemanusiaan dipicu peningkatan emisi karbon rentan jauh lebih besar ketimbang pandemi Covid-19.
Emisi karbon memicu efek gas rumah kaca, peningkatan suhu 2 derajat celsius, mencairkan benua es Kutub Utara dan Kutub Selatan, meningkatkan permukaan air laut yang mengancam menenggelamkan pulau, daratan, kota, bahkan negara. Bersama bencana hidrometeorologi, yakni banjir, longsor, serta fenomena El Nino dan La Nina, kehadirannya membawa penderitaan bagi manusia.
”Itu mendorong Paris Agreement 2015 untuk menyelamatkan dunia,” kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam Peringatan Hari Otonomi Daerah Ke-28 Tahun 2024 di Taman Surya Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (25/4/2024). Acara itu mengambil tema ”Otonomi Daerah Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau dan Lingkungan yang Sehat”.
Persetujuan Paris adalah traktat internasional tentang mitigasi, adaptasi, dan keuangan perubahan iklim. Sebanyak 196 entitas negara dan lembaga internasional telah menandatangani dokumen perjanjian itu.
Persetujuan Paris berlanjut menjadi Protokol Kyoto yang juga berupa traktat untuk memperpanjang Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB guna mengurangi emisi gas rumah kaca. Dunia sepakat menurunkan emisi 50 persen sampai 2030 sehingga kenaikan suhu dunia bisa ditekan menjadi 1,5 derajat celsius.
Dalam konteks itu dan merujuk pada tema, menurut Tito, pemerintah daerah perlu mewujudkan mitigasi bencana secara kreatif. Selain tetap menggali potensi pendapatan asli daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam dan manusia dan cermat menyusun APBD, pelaksanaannya mesti ramah lingkungan, sehat, dan berkelanjutan.
Selain itu, dia berharap, kreativitas itu berbasis kearifan lokal karena setiap daerah berkarakter berbeda. ”Agar tercapai tujuan utama otonomi daerah seperti amanat Undang-Undang Dasar 1945, yakni kesejahteraan dan demokrasi bukan menambah terus daerah otonom baru,” kata Tito.
Namun, Tito mengingatkan agar pemda tidak latah atau tergesa-gesa mengikuti kebijakan penurunan emisi. Contohnya, beramai-ramai dan ingin terdepan berkebijakan ramah lingkungan dengan memanfaatkan energi baru berbasis listrik, sinar matahari, angin, dan baterai. Padahal, prasarana dan sarana energi baru belum atau sedikit tersedia.
”Terlalu cepat berubah tanpa adaptasi bisa memicu greenflation, kenaikan harga barang dan jasa,” ujar Tito.
Padahal, pengendalian inflasi merupakan kebijakan esensial bagi pemda demi menjamin kelangsungan hidup warga yang mendasar, yakni pangan, sandang, dan papan (tempat tinggal). Selain itu, pengentasan rakyat dari kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, stunting, dan pengangguran.
Peringatan itu menjadi momentum refleksi, evaluasi, introspeksi, dan apresiasi pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks apresiasi, Presiden Joko Widodo menganugerahkan tanda kehormatan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha kepada 14 kepala daerah atas jasa besar atau berprestasi kinerja amat tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan evaluasi kinerja 2022 dan 2023.
Para penerimanya adalah Gubernur Jatim 2019-2024 Khofifah Indar Parawansa, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, dan Bupati Bojonegoro 2018-2023 Anna Mu’awanah. Selain itu, ada Wali Kota Medan Bobby A Nasution, Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara, dan Bupati Wonogiri Joko Sutopo.
Selain itu, terpilih Bupati Kulon Progo 2017-2022 Sutedjo, Wali Kota Serang 2018-2023 Syafrudin, Bupati Sumedang 2018-2023 Dony Achmad Munir, serta Bupati Konawe 2018-2023 Kery Saiful Konggoasa. Bupati Hulu Sungai Selatan 2018-2023 Achmad Fikry, Wali Kota Bogor 2019-2024 Bima Arya Sugiarto, dan Bupati Badung 2021-2024 I Nyoman Giri Prasta, juga menerima penghargaan itu.
Selain itu, Kemendagri juga memberikan piagam penghargaan bagi 5 provinsi, 10 kota, dan 14 kabupaten yang mendapat status kinerja tinggi berupa skor dalam penyelenggaraan pemda. Penilaian bukan sekadar oleh Kemendagri melainkan sejumlah kementerian, badan, dan organisasi tepercaya yang tidak bisa diintervensi pemda.
Provinsi penerima ialah Jatim dengan penilaian 3,697, Jateng (3,679), DKI Jakarta (3,656), Jabar (3,648), dan DIY (3,535). Sepuluh kota ialah Surabaya (3,586), Surakarta (3,571), Makassar (3,566), Tangerang (3,532), Semarang (3,525), Medan (3,509), Palembang (3,454), Samarinda (3,452), Metro (3,446), dan Denpasar (3,443).
Kabupaten penerima ialah Banyuwangi (3,8118), Wonogiri (3,6171), Bojonegoro (3,5793), Indramayu (3,5426), Sumedang (3,5391), Badung (3,5103), dan Bantaeng (3,5088). Selain itu, ada Dharmasraya (3,5036), Wonosobo (3,5035), Banyumas (3,5032), Hulu Sungai Selatan (3,5029), Konawe (3,5027), Lamongan (3,5018), dan Klaten (3,4976).
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi berterima kasih kepada masyarakat dan aparatur sehingga ibu kota Jatim ini mendapat penghargaan. Namun, itu bukan berarti pekerjaan sudah selesai melainkan tantangan bagi pemerintah untuk terus melayani masyarakat.
”Masih ada pekerjaan besar yakni mengentaskan stunting, kemiskinan, penanganan banjir, dan memastikan warga tidak tertinggal dalam pelayanan dasar,” ujar Eri.