Dua ”Start Up” Inovator dari Indonesia Dapat Suntikan Dana
Dua perusahaan rintisan Indonesia, Mycotech Lab dan Sampangan, menerima suntikan dana di Konferensi Filantropi Asia.
SINGAPURA, KOMPAS – Dua perusahaan rintisan (start up) dari Indonesia mendapat suntikan dana 250.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 2,9 miliar di ajang Konferensi Filantropi Asia atau Philanthropy Asia Summit 2024 di Singapura, Senin (15/4/2024). Keduanya dianggap sebagai inovator di bidang iklim dan alam karena telah berinovasi dalam pengelolaan limbah.
Dua start up dari Indonesia itu adalah Mycotech Lab (MYCL) dan Sampangan. MYCL adalah perusahaan bioteknologi bersertifikat B Corp, yang membuat produk dari limbah tanaman pertanian yang diikat dengan miselium jamur. Bahan serbaguna itu untuk berbagai keperluan, mulai dari alas kaki hingga interior otomotif dan bahan bangunan.
Adapun Sampangan menyediakan produk karbon negatif melalui teknologi karbonisasi dengan mengubah semua jenis sampah yang tidak disortir menjadi bahan baku serbaguna dan berkelanjutan.
Tujuannya, menjadi kekuatan global dalam ekonomi sirkular yang menawarkan keberlanjutan produk dari pengelolaan sampah secara holistik. Secara spesifik, mereka bergerak di bidang pengolahan air, pertanian, dan industri unggas.
Baca juga: Masa Depan ”Startup” Indonesia Sangat Rapuh
MYCL dan Sampangan termasuk kelompok peserta pertama untuk program mentoring amplifier (penguat) di Philanthropy Asia Summit 2024. Total ada lima start up yang mendapat suntikan dana.
Tiga lainnya ialah Circ yang berbasis di Amerika Serikat, GRST di Hong Kong, dan MAYANI di Filipina. Masing-masing menerima dana 250.000 dollar Singapura.
”Program amplifier yang berlangsung selama setahun ini bertujuan membina start up yang berdampak menjadi layak secara komersial dan memberikan dampak positif di Asia,” kata Chief Executive Officer (CEO) Center for Impact Investing and Practices (CIIP) Dawn Chan.
Menurut Chan, program ini menerima 139 pengajuan dari 35 negara. Temanya beragam. Beberapa di antaranya energi dan listrik, pangan berkelanjutan dan konservasi lahan, konservasi lautan, serta sirkularitas dan limbah.
Semuanya mencerminkan minat yang signifikan terhadap dampak pasar dan keinginan para pendiri dan inovator untuk mengatasi tantangan iklim dan alam di Asia.
”Amplifier ini menggunakan pendekatan keseluruhan ekosistem, menyatukan para ahli, mentor, dan sumber daya dari berbagai industri dan sektor untuk secara kolektif mendukung usaha yang berdampak dalam meningkatkan skala bisnis mereka,” katanya.
Program tersebut didukung mitra inovasi dampak Pusat Mastercard untuk Pertumbuhan Inklusif (Mastercard Center for Inclusive Growth). Perusahaan rintisan penerima dana juga dapat mengakses bimbingan praktis dan keahlian dari 30 lebih industri veteran di bidang bisnis, investasi, dan sektor jasa profesional untuk mempercepat pertumbuhan solusi inovatif.
”Asia adalah pusat inovasi dengan budaya start up yang berkembang pesat di banyak negara. Kami melihat semakin banyak start up yang berupaya mengatasi masalah sosial dan lingkungan yang kompleks. Namun, ternyata mereka harus berjuang menghadapi ’lembah kematian’, kurangnya akses terhadap bimbingan ahli, penasihat, dan pendanaan,” tutur Chan.
Ia mengatakan, memberdayakan start up yang menjanjikan untuk mencapai dampak yang terukur dan berkelanjutan secara finansial itu memerlukan upaya dari ekosistem yang lebih luas.
Baca juga: Karakter Pendiri "Start Up" Menjadi Pertimbangan Utama Investor
”Kami berterima kasih kepada Mastercard Center for Inclusive Growth dan mitra ekosistem kami atas kontribusi waktu dan sumber daya yang berharga bagi program amplifier,” lanjutnya.
Pendiri dan Presiden Mastercard Center for Inclusive Growth Shamina Singh menyebutkan, jumlah masukan dan ide yang diterima untuk program amplifier ini sungguh memperkuat pentingnya mendukung Asia sebagai pemimpin dalam gagasan dampak lingkungan dan sosial yang positif.
”Saya berharap dapat melihat dampak yang dikreasikan start up ini, terutama saat kami mencari solusi inovatif untuk membantu membuat lebih banyak dunia yang adil dan berkelanjutan,” katanya.
Berdampak
Annisa Wibi, Co-Founder dan Chief Operating Officer (COO) MYCL, mengatakan, tujuan utama saat memulai MYCL sebenarnya sederhana, ingin membuat dampak yang berarti di dunia dengan memanfaatkan potensi pertanian Indonesia yang belum digunakan.
”Meskipun negara ini (Indonesia) kaya akan pertanian, hanya 1 persen limbah pertanian yang diubah menjadi kompos. Melalui program amplifier, kami ingin mengatasi ’lembah kematian’ dan meningkatkan dampaknya,” ucapnya.
Hana Purnawarman, Co-Founder Sampangan, mengatakan membangun perusahaan rintisan karena yakin bisa menciptakan kesejahteraan bagi semua orang. Hal itu dilakukan sembari berbuat baik bagi lingkungan dari sumber daya yang paling melimpah di Bumi, yaitu limbah.
”Melalui amplifier, kami berharap dapat mengembangkan bisnis kami ke tingkat berikutnya dengan mendapatkan masukan dari pelatih dan mentor berpengalaman serta peluang pengembangan bisnis dan pembiayaan untuk mengembangkan usaha dan dampak perusahaan kami,” katanya.
Ada momentum perubahan yang semakin besar di Asia. Kita tahu bahwa penyelesaian krisis iklim global harus melibatkan penyelesaian bersama. Asia adalah kawasan yang dinamis dan beragam, yang menyumbang lebih dari separuh emisi dunia.
Kemitraan untuk aksi
Philanthropy Asia Summit 2024 yang dimotori Philanthropy Asia Alliance berlangsung di Singapura pada 15-18 April. Dengan mengusung tema ”Kemitraan untuk Aksi” (Partnerships for Action), acara ini mempertemukan para pemimpin perusahaan dan yayasan filantropi untuk berkolaborasi dan bertindak dalam tiga isu penting. Hal itu adalah iklim dan alam, pendidikan holistik dan inklusif, serta kesehatan global dan masyarakat.
CEO Temasek Trust Desmond Kuek mengatakan, sejak 2021, Philanthropy Asia Summit telah berfungsi sebagai platform kolaboratif untuk mengatalisasi kemitraan multisektor untuk memberikan dampak.
Hal ini telah menunjukkan apa yang bisa dilakukan jika bertindak bersama, mulai dari solusi memperbaiki planet, mengangkat komunitas, hingga menampilkan pemikiran dan tindakan para pemimpin.
”Ada momentum perubahan yang semakin besar di Asia. Kita tahu bahwa penyelesaian krisis iklim global harus melibatkan penyelesaian bersama. Asia adalah kawasan yang dinamis dan beragam, yang menyumbang lebih dari separuh emisi dunia,” ujarnya.
Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair mengatakan, Aliansi Filantropi Asia (Philanthropy Asia Alliance) telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam waktu singkat. Mereka bergerak cepat mendukung berbagai kegiatan masyarakat yang bersifat transformatif dan berdampak, misalnya terkait perubahan iklim.
”Pemerintah sering kali tidak mendukung para filantrop. Namun, kecepatan sektor filantropi itu jauh melebihi kecepatan pemerintah dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai,” katanya.
Baca juga: Nasihat Buffett dan Munger tentang Investasi, India serta China