"Maksuba” dan ”Lapan Jam”, Kue Sakral dari Palembang untuk Hari Spesial
Walau zaman berganti, perempuan Palembang terus menjaga tradisi menyajikan maksuba atau lapan jam terbaik di Idul Fitri.
Di antara sekian banyak jenis kudapan, ada dua kue basah yang nyaris selalu tersedia di rumah-rumah orang Palembang, Sumatera Selatan saat tiba hari spesial, terutama Idul Fitri, yakni maksuba dan lapan jam, atau salah satu dari keduanya. Sejak lampau, maksuba dan lapan jam adalah kue sakral yang mempertaruhkan marwah perempuan Palembang dalam menyambut hari-hari yang spesial, terutama di ”Hari Kemenangan”.
Seminggu terakhir Ramadhan, aroma telur bercampur gula, susu, dan mentega mulai menyeruak dari rumah-rumah di Palembang ataupun dari toko-toko kue yang aktivitasnya melonjak berkali-kali lipat dibandingkan hari biasa. Terang saja karena perempuan di rumah-rumah ataupun di toko-toko mulai sibuk mempersiapkan kue yang akan disajikan untuk Idul Fitri yang oleh masyarakat lokal disebut Ari Rayo atau Rirayo.
Baca juga: Manisnya Nostalgia dalam Kudapan Lebaran
Dari sekian banyak jenis kudapan yang ada, kue yang paling banyak dibuat ataupun diburu di Palembang adalah maksuba dan lapan jam, dua kue basah khas dari ”Bumi Sriwijaya”. Saking populernya dua kue ini, warga mesti buru-buru membeli bahan baku yang sama-sama terdiri dari telur, gula, susu, dan mentega sejak jauh-jauh hari. Kalau telat, mereka bisa tidak kebagian lagi bahan baku tersebut atau harganya sudah melonjak, melambung tinggi.
Bagi warga yang ingin membeli kue yang sudah jadi, mereka pun patut memesannya jauh-jauh hari. Bahkan, ibu rumah tangga dari Kelurahan Sialang, Kecamatan Sako, Palembang, Farida (61) sudah memesan kue maksuba dari salah satu penjual kue langganannya sejak hari kelima Ramadhan.
”Kalu lah parak Ari Rayo, kito dak bakal pacak mesan lagi (kalau sudah tiba Hari Raya, kita tidak akan bisa memesan), pesanan mereka pasti lah penuh,” ujarnya saat dijumpai, Senin (8/4/2024).
Di keluarga Farida, maksuba menjadi kue yang harus ada di Idul Fitri ataupun Idul Adha. Sampai-sampai ada anekdot di keluarga mereka, biar sedikit yang penting ada maksuba.
”Kalu dak katek maksuba, dak lemak dengan uwong (kalau tidak ada maksuba, tidak enak dengan tamu). Maksuba kan jarang-jarang dibuat atau dibeli, madaki dak katek pulo pas Ari Rayo,” katanya. Intinya, tanpa maksuba, bukan Lebaran namanya.
Untuk kue-kue basah yang lain, seperti lapan jam, engkak ketan, lapis legit, dan dodol atau lempok, biasanya tersaji kalau perekonomian keluarga cukup baik. Semakin lengkap atau semakin banyak kue basah yang disajikan, menandakan kemapanan ekonomi dari keluarga bersangkutan.
”Galo-galonyo balik ke duit. Kalu duitnyo ado, galo-galonyo dihidangke (semuanya kembali ke uang, kalau ada duit ya semua dihidangkan),” tutur Farida yang memesan maksuba, engkak ketan, lapis nanas, dan dodol untuk Idul Fitri kali ini.
Kalu dak katek maksuba, dak lemak dengan uwong (tamu). Maksuba kan jarang-jarang dibuat atau dibeli, madaki dak katek pulo pas Ari Rayo.
Dewasa ini, Farida lebih suka membeli kue yang sudah jadi ketimbang membuat sendiri. Alasannya lebih kepada kepraktisan. Kalau dihitung-hitung, biaya membuat sendiri dan membeli tidak jauh berbeda tetapi membuat sendiri lebih repot serta lelah. Alasan lainnya, sekarang, sudah banyak orang yang menjual kue basah.
”Kalu dulu, terutamo pas ibu saya masih ado (hidup), kami biaso buat kue dewek. Itu repotnyo setengah mati. Pecak maksuba, itu nak dijingok terus pas dioven selamo masak yang pacak sampe tigo jam (membuat maksuba itu kita harus menunggui oven selama tiga jam). Dulu jugo masih jarang uwong yang bejualan kue basah,” ujarnya.
Pesanan melonjak drastis
Tingginya kasta kue basah, semacam maksuba dan lapan jam, turut terlihat dari tingkat penjualan di sejumlah toko kue di Palembang. Pemilik toko kue Palembang Harum, Muhammad Mardho Tilla (33) mengatakan, tingkat penjualan kue basahnya meningkat kurang lebih 200-300 persen dari hari biasa ke masa Ramadhan hingga Idul Fitri.
Sebagai gambaran, toko Palembang Harum menjual kue basah segala jenis sekitar 25 loyang per bulan di hari-hari biasa. Memasuki masa Ramadhan hingga jelang Idul Fitri, mereka bisa menjual 50-70 loyang.
”Kami sudah menerima pesanan kue basah sejak hari kelima Ramadhan. Kue-kue itu mulai dikirim secara bertahap sejak dua pekan sebelum Idul Fitri,” ujar Mardho yang merintis usahanya sejak 2012.
Baca juga: Aku Kirim Kue, maka Aku Ada
Dari sekian banyak kue basah khas Palembang yang dijajakan, Mardho menyampaikan, maksuba dan lapan jam menjadi yang paling laris. Kedua kue itu dihargai Rp 300.000 per loyang. Kue-kue itu sebagian besar dipesan oleh konsumen dari Palembang dan sekitarnya, serta ada beberapa dari Jakarta.
”Sebenarnya, ada lima jenis kue basah Palembang yang identik untuk Hari Raya, yakni maksuba, lapan jam, engkak ketan, kojo, dan lapis legit. Tapi, maksuba dan lapan jam yang nyaris selalu ada di Hari Raya sehingga dua kue ini yang paling banyak dipesan. Rata-rata pemesannya orang Palembang, baik yang merantau ke luar Palembang ataupun lahir dan besar di luar Palembang,” katanya.
Palembang Harum mengusung konsep keautentikan kue khas Palembang. Untuk itu, mereka tidak mengubah cita rasa dan bentuk fisik kue-kue yang ada. Kalau pun ada sedikit perbedaan, mereka agak mengurangi takaran gula dalam setiap resepnya.
”Kue-kue Palembang, termasuk maksuba dan lapan jam terkenal sangat manis. Ada banyak saran dari konsumen untuk mengurangi kadar gula tersebut agar rasa kuenya lebih lembut,” tutur Mardho.
Hal yang sama dirasakan pemilik toko kue Bunda Rayya, Yus Elisa (49). Menurut pengusaha kelahiran Desa Belani di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumsel itu, tingkat penjualan kue basahnya pun meningkat kurang lebih 300 persen dari hari biasa ke masa Ramadhan hingga jelang Idul Fitri.
Baca juga: Laris Manis Mete Sultra, Primadona Penganan Lebaran
Biasanya, toko Bunda Rayya menjual kue basah segala jenis sekitar 300 loyang per bulan. Memasuki masa Ramadhan hingga jelang Idul Fitri, mereka bisa menjual 750-1.000 loyang. Semua pesanan itu mereka terima dan kirim bertahap sejak awal Ramadhan hingga jadwal terakhir pengiriman paket pada Jumat (5/4/2024).
”Sudah tidak terhitung berapa banyak pesanan yang masuk. Yang jelas, untuk memenuhi semua permintaan itu, saya mesti menambah pekerja dari biasanya 20 orang menjadi 40 orang. Jam operasional toko juga bertambah dari biasanya buka pukul 10.00-17.00 per hari menjadi 24 jam,” ujar Yus yang memulai usahanya sejak 2016.
Tahun ini, Yus menuturkan, kue basah paling laris di tokonya adalah makjola. Kue itu adalah hasil kreasi Yus yang menggabungkan tiga jenis kue basah khas Palembang, yakni maksuba, kojo, dan lapis legit. Jumlah pesanan Makjola diperkirakan mencapai 500-an loyang. Makjola mulai populer sejak Yus memenangkan kontes kuliner kreasi skala nasional medio 2017.
”Walau hasil kreasi, saya tidak menghilangkan cita rasa dan filosofi kue basah inti asli Palembang. Saya hanya menggabungkan beberapa jenis kue basah inti Palembang dalam satu kali proses pembuatan. Tujuannya, agar para pelanggan, terlebih dari luar Sumsel bisa merasakan lebih dari satu jenis kue dalam satu loyang,” kata Yus yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Kue dan Kuliner Sumsel sejak 2019.
Baca juga: Hidangan Khas Lebaran, Kaya Rasa Sarat Makna
Kue basah laris lainnya, antara lain kue kreasi yang disebut lapis nanas alias lapis legit yang diisi selai nanas, maksuba, dan lapan jam. Secara keseluruhan, toko Bunda Rayya menjual 12 jenis kue basah, terdiri dari lima kue hasil kreasi dan tujuh kue orisinal.
Kue kreasi dijual Rp 450.000 per loyang, sedangkan kue orisinal Rp 400.000 per Loyang. Karena harganya yang relatif tinggi, kue-kue itu banyak dipesan untuk dan oleh pejabat pemerintahan.
Kue-kue itu tidak hanya dipesan oleh konsumen di Palembang ataupun Sumsel, melainkan banyak pula pesanan dari luar Sumsel, khususnya dari Jakarta dan sekitarnya. ”Pesanan dari luar Sumsel berasal dari orang-orang Palembang yang merantau dan orang-orang keturunan Palembang yang lahir dan besar di luar Sumsel,” tutur Yus.
Sarat makna
Pemerhati sejarah dan budaya Palembang Yudhy Syarofie mengatakan, maksuba dan lapan jam adalah bagian dari kurang lebih 200 jenis kue khas Palembang. Lahirnya kue-kue itu tidak lepas dari masa keemasan Kesultanan Palembang Darussalam (abad XVII-XIX). Saat itu, Palembang menjadi bandar ramai yang dihuni oleh masyarakat dari beragam suku-bangsa, mulai dari Melayu, Jawa, China, Arab, India, hingga Eropa.
Hubungan heterogen itu memungkinkan warga cepat mendapatkan beragam informasi baru. Hal itu melatarbelakangi warga Palembang menjadi komunitas yang kreatif dalam melahirkan banyak menu kuliner, terutama kue-kue basah.
”Saat itu, masyarakat pun tidak kesulitan mencari sumber bahan baku untuk berkreasi dalam melahirkan menu-menu baru karena Palembang adalah kota dagang yang menjadi pusat jual-beli beragam jenis komoditas,” ujarnya.
Untuk delapan jam, kue ini juga sering dianalogikan sebagai pembagian waktu berkegiatan manusia dalam sehari, yakni delapan jam untuk istirahat, delapan jam untuk bekerja, dan delapan jam untuk ibadah.
Seiring berjalan waktu, terjadi persaingan adu gengsi di antara masyarakat. Mereka berlomba-lomba melahirkan menu terbaik yang berbeda antara milik keluarga bangsawan dan masyarakat biasa, antara satu kampung dan kampung lainnya, hingga antara satu keluarga dan keluarga lainnya. Tak heran, ada istilah kuliner warisan kampung ataupun keluarga karena kuliner itu hanya ada di kampung ataupun keluarga tertentu.
Sejatinya, lanjut Yudhy, ada empat kue basah dari banyak kue yang ada yang memiliki pamor tinggi di kalangan masyarakat Palembang sehingga menjadi lambang gengsi saat hari-hari spesial, terlebih di Idul Fitri. Empat kue itu, yakni maksuba, lapan jam, engkak ketan, dan lapis legit.
Namun, di antara empat kue itu, maksuba dan lapan jam yang paling bergengsi. Itu karena kue-kue itu sarat bahan baku dan berbiaya relatif mahal, serta proses pembuatanya relatif rumit. Maksuba misalnya, bahan bakunya terdiri dari telur, gula, susu, dan mentega.
Proses pembuatannya harus dilalui selapis demi selapis setiap 10-15 menit sekali hingga loyang penuh yang dilakukan dengan cara dioven dalam waktu total mencapai tiga jam. Kalau tidak diperhatikan dengan baik-baik, setiap lapisan itu tidak akan bersatu dengan sempurna yang akan mengurangi cita rasa kue tersebut.
Baca juga: Hikayat Kue Lebaran
Adapun lapan jam memiliki bahan baku serupa maksuba. Hanya saja, lapan jam tidak dioven melainkan dikukus selama delapan jam. Waktu pembuatannya tidak boleh kurang maupun berlebih. Kalau waktu pembuatannya tidak sesuai, itu pun akan mengurangi cita rasa kue tersebut.
Karena dibuat oleh perempuan, kualitas maksuba dan lapan jam yang dihasilkan turut menjadi lambang gengsi kaum hawa. Bagi yang masih gadis, kualitas kedua kue itu menjadi tolak-ukur kesiapan perempuan yang membuatnya untuk mengarungi jenjang pernikahan.
Bagi perempuan yang sudah berkeluarga, kualitas kedua kue itu memegang peran penting untuk menjaga gengsi keluarganya saat hari-hari spesial, khususnya Idul Fitri. ”Untuk delapan jam, kue ini juga sering dianalogikan sebagai pembagian waktu berkegiatan manusia dalam sehari, yakni delapan jam untuk istirahat, delapan jam untuk bekerja, dan delapan jam untuk ibadah,” kata Yudhy.
Kini, walau zaman telah berganti, maksuba dan lapan jam tetap menjadi lambang gengsi di antara perempuan Palembang. Boleh jadi, tidak semua kaum hawa masa kini pandai ataupun mau membuat sendiri maksuba dan lapan jam, melainkan lebih memilih membeli. Akan tetapi, untuk menyambut hari spesial, semangat mereka dalam menyajikan maksuba ataupun lapan jam terbaik tetap sakral karena mempertaruhkan marwah di hadapan sanak-saudara dan handai-tolan.