Manisnya Nostalgia dalam Kudapan Lebaran
Lebaran lekat dengan makanan. Dari kue hingga manisan membangkitkan nostalgia.
Lebaran sebentar lagi. Sejumlah keluarga mulai menyiapkan penganan khas yang bertalian erat dengan tradisi keluarga. Tiap daerah punya kekhasannya, tiap keluarga pun ada memorinya.
Pajak Petisah, begitu Roma Sitorus (51), menyebut Pasar Petisah di Kota Medan, Sumatera Utara. Tempat itu menjadi tujuan utamanya untuk membeli bahan-bahan makanan dalam rangka persiapan Lebaran. Dari sekian banyak bahan, pepaya dan kolang-kaling menjadi bahan yang wajib dibeli.
Memasuki hari ke-10 puasa disebut Roma sebagai waktu yang tepat untuk membeli pepaya dan kolang-kaling yang akan diolahnya menjadi manisan atau halua. ”Biasanya biar cantik dibiarkan sampai 14 hari kalau pepaya. Warnanya jadi cantik, rasanya meresap,” ungkap Roma ketika berbincang, Rabu (20/3/2024).
Halua atau halwa yang merupakan serapan dari bahasa Arab, berarti manis, merupakan penganan yang wajib ada di rumah Roma saat Idul Fitri. Kudapan ini sejatinya khas di kawasan Medan Langkat yang terpengaruh budaya Melayu. Namun, jangkauannya berangsur meluas, termasuk sampai di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara, tempat keluarga besar Roma berasal.
Turun-temurun dari nenek sampai Roma, mereka rutin menyajikan manisan saat Lebaran. ”Enggak cuma pepaya, ada juga cabai. Tapi, kami buat kadang-kadang aja. Mahal cabai. Yang ada terus, ya, pepaya itu dari kecil. Kalau kolang-kaling baru nikah sama suami ini bikin, tradisi keluarga besar suami,” tutur Roma yang setelah menikah sudah lebih dri 20 tahun tinggal di Tanjung Mulia, Medan.
Untuk membuat manisan pepaya saat Lebaran, Roma membutuhkan sekitar 2,5 kilogram pepaya yang masih mengkal. Dari jumlah tersebut, ia bisa menghasilkan empat stoples sedang berisi manisan pepaya yang selanjutnya ia bagikan juga kepada mertua dan adik iparnya. Sisanya merupakan jatahnya di rumah, untuk dimakan keluarga atau disuguhkan kepada tamu.
Baca juga: Reka Daya Galapung Lokal dan Bebas Gluten
Menurut Roma, kunci kelezatan manisan berbahan buah ini, selain proses pembuatan yang lama, juga rendaman di air kapur sirih yang membuat buah tak mudah hancur.
Kemudian, gula yang disiapkan harus kering untuk ditabur di atas susunan pepaya dan dibiarkan meresap sendiri selama beberapa hari. Setelah itu, susunan pepayanya dibalik dengan memindahkan satu per satu lapisan pepaya ke wadah lain dan kembali didiamkan beberapa hari lagi.
Untuk manisan kolang-kaling, pembuatannya jauh lebih cepat dan tidak membutuhkan banyak gula. Sebab, kekhasannya justru ada pada rendaman sirup Kurnia yang jadi favorit orang Medan.
”Bikinnya pun aku enggak banyak. Karena di tiap rumah tempat keluarga suami udah pasti ada itu. Jadi, setengah kilo aja ini di rumah. Yang penting ada, biar anak-anak ingat dan tetap bikin walau sedikit kalau udah pada berkeluarga nanti,” ujar ibu dua anak perempuan ini.
Lain di Medan, lain pula Makassar. Bagi warga Makassar, Sulawesi Selatan, seperti Eppy Ashariyati Salam (48), Lebaran adalah barongko. Menyajikan barongko di hari Lebaran untuk Eppy dan saudara-saudaranya serupa menghadirkan bapak yang sudah berpulang sejak tahun 2000. Dalam setiap bungkus barongko, mereka menikmati kenangan Lebaran saat ayahnya masih hidup.
”Bapak suka sekali makan barongko. Setiap Lebaran, Bapak selalu minta dibuatkan kue ini. Dulu jika sibuk, kadang kami buat, kadang tidak. Tapi sejak Bapak meninggal, kue ini kami hadirkan setiap Lebaran. Bahkan jika kami tak sempat membuat sendiri, akan kami pesan khusus,” katanya.
Barongko adalah kue basah yang terbuat dari pisang. Daging bagian luar pisang diambil dan dihaluskan, lalu dicampur gula dan telur. Adonan ini dibungkus daun pisang dan dikukus. Barongko lebih nikmat disajikan dingin. Itulah mengapa barongko biasanya disimpan dalam lemari pendingin.
”Biasanya saya pesan sampai 100 bungkus, di hari kedua Lebaran kadang sudah habis. Banyak keluarga yang justru mencari karena di setiap rumah, kue kering pasti ada, tapi tak banyak yang menyajikan barongko,” katanya.
Kue tradisional turun-temurun ini biasanya agak sulit didapatkan di hari biasa. Begitu pula saat Lebaran, tak banyak yang menyajikannya. Sebab, di Sulsel, barongko biasanya ada di acara pernikahan dan bulan Ramadan.
Lain lagi dengan Nurhaefah (47). Di keluarganya, kue lebaran identik dengan bolu peca’ dan kue biji nangka. Tanpa dua jenis kue jadul dan tradisional ini, Lebaran seolah tak lengkap. Sudah turun-temurun sejak neneknya masih hidup, kue ini menjadi maskot di hari raya.
Sama seperti barongko, kue bolu peca’ dan biji nangka biasanya juga hanya dijumpai dalam hajatan seperti pernikahan atau acara besar lainnya. Namun, sekarang, beberapa toko yang khusus menjual kue sudah memasukkan kue-kue ini dalam daftar menu untuk mengobati kerinduan orang-orang pada kue yang dulu disebut kue kampung ini.
”Dahulu saat nenek masih hidup, setiap Lebaran kue ini dikirim dari Palopo. Kue ini selalu disajikan untuk tamu yang datang. Akhirnya, ibu saya hingga ke anak dan cucunya belajar membuat. Di rumah saya, kue lain boleh tak ada, tapi dua jenis ini wajib,” katanya.
Dahulu, saat nenek masih hidup, setiap Lebaran kue ini dikirim dari Palopo. Kue ini selalu disajikan untuk tamu yang datang.
Bolu peca’ adalah sejenis kue bolu berbahan telur bebek serta campuran tepung beras dan tepung gandum yang disangrai. Saat matang, kue ini direndam dalam cairan gula aren hingga berwarna kecoklatan. Manis kue ini didapatkan dari gula aren.
Lazimnya kue-kue tradisional di Sulsel, bahan utamanya adalah telur bebek, tepung beras, gula aren, dan pisang. Ada beberapa kue jadul lain yang dahulu kerap menghiasi meja di hari raya. Kue ini di antaranya baruasa, bolu cukke, putu kacang, dan sanggara balanda.
”Biasanya saat Lebaran, banyak keluarga dan kerabat yang bela-belain datang hanya untuk mencicipi bolu peca’ dan biji nangka. Makanya, kami biasanya menyiapkan banyak. Kue-kue ini bikin rumah jadi lebih ramai saat Lebaran. Banyak yang ikut bernostalgia,” kata Nurfaedah.
Sejarawan Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, berpendapat, dalam kue-kue, termasuk penganan khas Lebaran, penikmatnya tak hanya menikmati kelezatan, tetapi juga nostalgia. Makanan pun menyimpan memori.
”Kenangan soal masa lalu, entah kerinduan terhadap putri salju, nastar, kastengel, dan lidah kucing buatan nenek atau ibu, mengendap dalam kue lebaran,” ujarnya. Tanpa disadari, lapisan historis atau history layer terkandung dalam tradisi menyajikan kudapan tersebut.
Fadly mengemukakan pengalaman sastrawan Perancis, Marcel Proust, saat mengunyah madeleine yang sudah lama tak dicicipinya. Kue itu dicelupkan ke dalam teh hangat. Spontan, ia terhanyut dalam ingatan saat neneknya melakukan cara serupa. ”Memori bekerja ketika kita menikmati kue-kue buatan ibu yang sering terasa lebih enak daripada produk massal,” katanya.
Produsen kue lazim menangguk keuntungan pada masa Lebaran dengan membidik peluang dari habitus tahunan saling mengirim dan mengonsumsi camilan itu. Kemasan kue-kue pabrikan acap kali lebih cantik, tetapi sensasi saat mengecapnya sulit dikalahkan camilan bikinan orangtua.
Fadly merelasikan pandangannya dengan kutipan filsuf Jerman, Ernst Cassirer, soal manusia adalah makhluk budaya yang menyukai simbol. ”Kita menyimbolkan apa-apa yang mewujudkan kesukacitaan hari raya. Sejak masa kolonial sampai sekarang, kesukacitaannya tak bisa dipisahkan dari kue,” ujarnya.
Sajian itu kemudian dikomodifikasi sebagai komoditas-komoditas dengan bisnis kue kering yang sangat menggiurkan. Lebaran lantas menjadi kontekstual dengan pemikiran Cassirer meski komoditas khasnya di setiap negara Muslim bisa berbeda-beda. ”Kue satu, semprong, dan kembang goyang juga tak kalah enak, tapi mulai atau tersisihkan popularitas kue kering yang identik dengan Barat,” ujarnya.
Baca juga: Manis Legit Kue Warisan Nenek
Terancam punah
Sebagaimana halnya penuturan Fadly, makanan khas Lebaran ini, dari kue hingga manisan, sesungguhnya juga kian lama kian langka karena proses pembuatannya agak sulit. Terlebih, tak banyak lagi generasi sekarang yang mau atau belajar membuat. Kalau membeli, harganya cukup mahal. Misal, sebungkus barongko bisa dijual hingga Rp 8.000. Biji nangka bahkan sampai Rp 10.000 per buah. Begitu pula manisan pepaya yang bisa mencapai Rp 80.000-Rp 100.000 per kilogram di musim Lebaran.
Di Sidoarjo, Jawa Timur, penganan tradisional berupa tetel dan tape ketan sebagai hidangan khas Lebaran juga semakin terancam karena tak banyak anak muda yang bisa membuatnya.
Tetel atau jadah ketan sejatinya merupakan penganan khas suku Jawa. Kue ini kerap hadir di momen-momen penting, seperti lamaran dan nikahan. Di Sidoarjo, tetel bisa dijumpai saat Lebaran karena masih banyak keluarga yang menghidangkannya.
Salah satunya, keluarga Wempi Yohanes (43) yang tinggal di Kecamatan Porong. Menurut dia, jajanan tradisional yang mirip dengan tetel adalah kicak. Bahan dasarnya beras ketan, santan, dan parutan kelapa muda. Bedanya, saat menyajikan ditambahkan gula putih cair untuk menghadirkan rasa manis.
Kicak ini disuguhkan kepada tamu yang datang bersilaturahmi tepat pada hari Lebaran hingga lima hari setelahnya atau ketika akan memasuki Lebaran Ketupat. Oleh karena itulah, pembuatan tetel biasanya dilakukan dua hari sebelum Lebaran.
”Kalau tidak ada kicak atau tetel, ya, rasanya hampa atau ampyang. Para tamu yang datang juga pasti akan bertanya, nang ndi rek kicake (mana kicaknya),” ujar Wempi.
Selain tetel, penganan jadul yang juga kerap dihidangkan saat Lebaran adalah tape ketan, baik yang berbahan dasar ketan hitam maupun ketan putih yang kemudian diberi pewarna hijau. Tape ketan ini disajikan berpasangan dengan tetel.
Baca juga: Garing Manis dalam Sepotong Pastri
Menurut Wempi, tetel dan tape ketan memiliki makna filosofi bagi masyarakat Sidoarjo. Salah satunya, makna tape ketan hitam yang mengingatkan masyarakat agar tidak memiliki prasangka buruk atau menilai seseorang hanya dari penampilan luar.
Kalau tidak ada kicak atau tetel, ya rasanya hampa atau ’ampyang’. Para tamu yang datang juga pasti akan bertanya, ’nang ndi rek kicake’ (mana kicaknya).
Sementara tetel yang berwarna putih, lanjutdia, memiliki makna suci. Setelah sebulan penuh berpuasa dengan beragam tantangannya, dosa-dosa manusia akan dihapus sehingga mereka kembali putih atau suci. Tetel dalam bahasa Jawa artinya dipadatkan atau direkatkan. Oleh karena itu, jajanan tetel bisa dimaknai sebagai perekat tali silaturahmi atau persaudaraan.
”Pesannya simbah, ojo akeh-akeh nggarai mendem (jangan mengonsumsi tape dalam jumlah banyak karena bisa menyebabkan mabuk). Artinya, jajanan ini untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang dilakukan secara berlebihan akan berdampak tidak baik,” kata Wempi.
Ketua Komunitas Sidoarjo Masa Kuno Sudi Harjanto mengatakan, banyak kuliner pada masa lampau yang menjadi hidangan saat Lebaran. Selain tetel dan tape ketan, ada juga jenang, kue semprong, semprit, kerupuk gadung, dan madu mongso. Kuliner madu mongso banyak dijumpai di wilayah Jatim yang kental dengan budaya Mataraman, seperti Kediri, Madiun, dan Ponorogo.
”Namun, kue-kue tradisional tersebut saat ini semakin sulit dijumpai di rumah-rumah warga, terutama kalangan anak muda. Justru yang lebih mendominasi adalah kue-kue kekinian, seperti nastar,” ucap Sudi.
Menurut dia, salah satu tantangan pelestarian kue tradisional adalah pada keengganan anak muda untuk memproduksi atau membuatnya. Hal itu tak lepas dari pembuatannya yang terkadang sedikit ribet. Contohnya, pembuatan tetel dan tape ketan.
Fatimah (48), penjual tetel ketan, mengungkapkan, beras ketan harus direndam berjam-jam sebelum dikukus agar memperoleh tetel yang pulen, lembut, tapi tidak lembek. Setelah matang, baru dicampurkan kelapa parut dan garam. Kemudian dimasak lagi selama sekitar satu jam. Berikutnya, ketan yang sudah masak diangkat dan ditumbuk hingga halus. lalu dibentuk sesuai selera. Tetel ini bisa bertahan selama 2-3 hari.
Semoga saja dengan rindunya akan masa kecil yang hangat di hari raya, generasi muda bersedia menjajaki cara pembuatan yang panjang. Toh, semua yang hangat dan indah memang butuh proses, kan?
Baca juga : Berburu Kue Lebaran di Pasar Jatinegara