Tak perlu ke hajatan pernikahan untuk menikmati kue tradisional Bugis-Makassar. Selama Ramadhan, aneka kue ini ada.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
Apa yang sering diincar tamu-tamu pada setiap hajatan pernikahan di Makassar atau Sulawesi Selatan pada umumnya? Barongko, sanggara balanda, sikaporo, biji nangka, dan bolu peca’ hanya sebagian yang biasanya jadi incaran tamu. Tak salah jika aneka kue ini akrab dengan sebutan kue pengantin.
Dalam hajatan pernikahan atau acara besar lainnya, kue-kue ini disajikan dalam deretan bosara (semacam nampan) di dalam rumah. Artinya, hanya tamu yang duduk di dalam yang bisa mencicipi kue-kue ini. Mereka biasanya tamu penting atau kerabat dekat. Sebagian orang menyebutnya dengan istilah tamu istimewa yang akan menikmati kue dengan kasta tertinggi.
Namun, serupa berkah, saat Ramadhan kue-kue ini bermunculan dimana-mana. Jika hari-hari biasa kudapan ini hanya ditemukan di sejumlah toko yang khusus menjual kue, di saat Ramadhan, penjual kue dadakan pun akan menjualnya.
“Bulan Ramadhan jadi kesempatan mencicipi aneka kue tradisional yang biasanya hanya ditemukan di acara kawinan. Makanya, selama Ramadhan saya suka berburu. Mau yang asli atau tidak, tetap saya cari,” kata Andi Asrianti (52), salah seorang karyawan bank di Makassar.
Istilah asli atau tidak biasanya merujuk pada bahan dan tentu saja rasanya. Sebagai contoh, barongko disebut asli jika bahannya hanya menggunakan pisang kepok dengan tingkat kematangan tertentu. Ini pun yang diambil bagian daging luarnya saja. Bagian tengah tak terpakai. Telurnya menggunakan telur bebek . Selain itu, ada gula pasir dan juga santan.
Istilah barongko bukan asli jika dibuat dengan mengambil seluruh bagian pisang dan dihaluskan. Telurnya pun telur ayam. Perbandingan harganya bisa dua kali lipat. Misalnya jika yang biasa dijual Rp 5.000 per biji, maka yang asli bisa Rp 10.000 per biji.
“Kalau bikin yang asli, harganya pasti lebih mahal. Jadi saya bikin yang sedang saja. Harganya terjangkau dan rasanya masih barongko,” kata Nurhayati, salah seorang pedagang kue tersebut.
Kue-kue tradisional Bugis-Makassar umumnya memang menggunakan telur bebek. Selain itu, juga menggunakan tepung beras dan gula aren. Kue bolu peca' misalnya, dibuat dengan telur bebek dan adonannya kemudian direndam dalam cairan gula aren.
“Gula aren harus bagus kualitasnya dan dicairkan dengan tingkat kematangan tertentu. Jika tidak, rasanya akan pahit. Kalau di rumah, kami sudah turun temurun membuat.,” kata Nurfaedah (47).
Di rumahnya, tamu sering kali datang hanya untuk mencicipi kue bolu peca' dan biji nangka. Kedua kue ini wajib ada dan sudah puluhan tahun jadi kudapan berbuka puasa maupun Lebaran. “Memang tak setiap hari saat Ramadhan kami hidangkan. Tapi yang pasti, lebih sering,” katanya.
Dari daunnya saja saya bisa dapat Rp 1,5-2 juta per bulan
Kemunculan kue-kue ini pada bulan Ramadhan, tentu bukan hanya jadi berkah pada pemburu takjil atau kudapan berbuka puasa. Pedagang pun ikut menikmati untung.
Irwansyah (47) misalnya. Dia hanya menjual kue sanggara balanda, tidak ada kue-kue lain di lapaknya. Kue ini terbuat dari pisang raja yang matang dan digoreng utuh. Saat matang, pisang dibelah tak putus lalu diisi campuran kacang tanah yang disangrai dan ditumbuk kasar. Kacang ini dimasak dengan gula pasir hingga teksturnya serupa karamel.
“Kebetulan istri saya pandai membuat kue ini. Makanya, kami jadikan usaha. Biasanya saat Ramadhan, banyak sekali pesanan atau yang singgah membeli. Banyak pula yang memesan untuk lebaran,” kata Irwansyah saat ditemui di lokasinya berjualan di Jalan Hertasning.
Dia menjual di tiga lokasi dan semuanya ramai pembeli. Di dua lokasi Irwansyah menggelar dagangan di pinggir jalan di dalam mobil. Satu lokasi lainnya menempati ruko. Di satu lokasi saja, sanggara balanda ini bisa terjual sedikitnya 100 boks. Setiap boks berisi 10-20 buah, belum lagi jumlah penjualan di dua lokasi lain. Ini pun di luar yang memesan secara khusus.
“Berkah bukan hanya untuk saya, tapi juga untuk pekerja. Banyak pesanan, berarti bisa memberi THR (tunjangan hari raya) untuk yang bantu-bantu membuat dan menjual,” katanya.
Bahkan, berkah juga menjadi milik petani pisang. Tak hanya buah pisang, bahkan daun pisang pun ikut laku. “Dari daunnya saja saya bisa dapat Rp 1,5-2 juta per bulan. Apalagi kalau Ramadhan dan Lebaran. Kan banyak kue yang pakai pembungkus daun pisang. Belum lagi kalau Lebaran, orang membuat buras, gogos, butuh daun pisang juga, kata Daeng Tuppu (63), petani pisang di Kelurahan Romang Polong Kecamatan Somba Opu, Gowa.
Tak salah jika Ramadhan disebut bulan berkah. Buktinya? Pedagang hingga petani ikut merasakan senangnya. Penikmat kue pun bahkan bisa puas menikmati kudapan yang biasanya hanya ditemukan di dalam bosara di hajatan pernikahan.