Pengawasan Perikanan di Maluku Utara Lemah, Perlu Kolaborasi dengan Masyarakat Adat
Minimnya anggaran menyebabkan pengawasan perikanan di Maluku Utara lemah. Kolaborasi dengan masyarakat adat dibutuhkan.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·3 menit baca
TERNATE, KOMPAS — Aktivitas penangkapan ikan secara ilegal masih marak terjadi di Maluku Utara. Kondisi itu terjadi karena lemahnya pengawasan akibat minimnya armada, petugas pengawas, dan anggaran. Masyarakat adat perlu dilibatkan untuk membantu pemerintah melakukan pengawasan.
Direktur Eksekutif Center of Maritime Reform For Humanity Abdul Halim menjelaskan, tindakan eksploitasi perikanan atau illegal, unregulated, unreported fishing (IUU Fishing) masih marak terjadi di perairan Maluku Utara.
Wilayah perairan Maluku Utara yang berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 714, 715, 716, dan 716 menjadi tempat persaingan nelayan dari sejumlah negara untuk mendapatkan hasil laut, khususnya tuna.
Selain kapal asing, Abdul menyebut, aktivitas perikanan eksploitatif juga masih dilakukan kelompok nelayan lokal. Dari pengamatannya, masih banyak nelayan yang kerap menggunakan bom, bahan kimia berbahaya, dan alat tangkap tidak ramah lingkungan untuk menangkap ikan.
Selain itu, sektor perikanan Maluku Utara juga tertekan akibat aktivitas pertambangan yang tidak ramah lingkungan sehingga merusak pesisir dan laut sekitarnya.
Menurut Abdul, kegiatan penangkapan ikan secara ilegal masih terus berlangsung karena minimnya armada dan anggaran. Dia menyebut, setelah pandemi Covid 19 usai, anggaran pengawasan perikanan untuk wilayah Maluku Utara hanya berkisar Rp 400 juta setiap tahun. Anggaran itu hanya cukup untuk berpatroli selama 16 hari dalam waktu satu tahun.
”Selain anggaran, armada juga belum memadai. Pengawas serta penyidik perikanan belum hadir dengan optimal di daerah ini sehingga tindak pidana perikanan masih sering dijumpai,” ujarnya saat dihubungi dari Ternate, Maluku Utara, Jumat (22/3/2024).
Lemahnya pengawasan itu dinilai merugikan nelayan tradisional Maluku Utara. Sebab, akibat IUU Fishing, ukuran tangkapan nelayan semakin mengecil. Mengutip penelitian Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) tahun 2022, sebanyak 61 persen tuna sirip kuning (Thunus Albacares) yang ditangkap di Maluku Utara adalah tuna yang belum dewasa atau berukuran di bawah 103,3 sentimeter.
Abdul menambahkan, respons pemerintah terkait pengelolaan perikanan berkelanjutan juga dinilai berpotensi membahayakan perikanan. Dia meminta kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang dikeluarkan pemerintah bisa ditinjau kembali. Sebab, dalam aturan PIT, aktivitas kapal asing di zona ekonomi eksklusif kembali diizinkan.
Kebijakan yang awalnya akan diimplementasikan mulai 1 Januari 2024 itu akhirnya ditunda hingga tahun 2025. ”Dinamika kebijakan perikanan di level nasional membingungkan pelaku usaha perikanan di Maluku Utara,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Direktur Jendral Penguatan Daya Saing Perikanan dan Kelautan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Pung Nugroho Sasongko menjelaskan, peran pengawasan sektor perikanan dan kelautan berada di level pusat hingga daerah.
Meski demikian, pengawasan di wilayah perairan Maluku dinilai belum merata. Hingga kini, unit kerja Direktorat Jendral PSDKP untuk mengawasi perairan itu hanya berada di Kota Tual dan Kota Ambon yang berada di Provinsi Maluku.
Pengawas serta penyidik perikanan belum hadir dengan optimal di daerah ini sehingga tindak pidana perikanan masih sering dijumpai.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan (PPNSP) juga hanya ada di dua kota itu dengan sebaran 4 penyidik di Ambon dan 11 penyidik di Tual. Bila terjadi tindak pidana di perairan Maluku Utara, penyidik dari Ambon biasanya ditugaskan ke wilayah tersebut.
Dalam beberapa waktu ke depan, Pung menyebut, jumlah pengawas perikanan di wilayah itu akan ditambah. Penambahan dilakukan karena wilayah yang masuk dalam Zona 3 PIT ini adalah salah satu prioritas pengembangan perikanan di Indonesia.
”Permasalahan juga dengan pengawas di lingkup pemerintahan daerah yang hanya ada delapan pengawas saja di Maluku Utara. Pengawasan di zona ini salah satu prioritas kami,” ujarnya.
Pengawasan masyarakat
Peneliti antropologi maritim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Adhuri, menjelaskan, pengawasan perikanan harusnya juga melibatkan masyarakat adat dan komunitas nelayan di pesisir. Ia mencontohkan, kelompok Awig Awig di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mampu menjaga wilayahnya dengan baik dari ancaman eksploitasi perikanan.
Sejak didirikan tahun 2000, kelompok itu berhasil menurunkan tingkat eksploitasi di wilayahnya. Kelompok seperti ini juga banyak ditemui di Maluku, seperti di perairan Seram, perairan Banda, dan Kepulauan Kei. Namun, kelompok-kelompok itu tak memiliki peralatan memadai untuk melakukan pengawasan secara optimal.
Dedi berharap, peran masyarakat adat dan komunitas nelayan dalam pengawasan perikanan bisa diakui agar mendukung pengawasan oleh pemerintah. Apalagi, pengawasan oleh pemerintah dinilai masih lemah.
Hal ini terlihat dari posisi Indonesia yang berada pada urutan ke-6 dunia sebagai negara dengan performa pengelolaan perikanan yang buruk dari sisi tanggung jawab pemerintah, mengacu IUU Fishing Index yang dirilis akhir 2023.
”Perlu ada ketetapan hukum bagi kelompok masyarakat ini agar semakin efektif dalam bekerja mengawasi tindakan ilegal di perairan mereka,” ujarnya.