Menjelang akhir 2023, pertumbuhan Maluku Utara tercatat tinggi di angka 23 persen yang ditopang sektor ekstraktif. Maluku Utara perlu mendorong sektor nontambang juga bertumbuh agar pemerataan ekonomi dapat terwujud.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
TERNATE, KOMPAS— Ekonomi Maluku Utara tahun 2023 terus tumbuh di atas rata-rata nasional yang didukung sektor pertambangan dan pengolahan mineral. Namun, pertumbuhan yang terpusat di dua sektor tersebut membuat ketimpangan semakin tajam. Penyetaraan di sektor nontambang diperlukan agar pertumbuhan ekonomi dirasakan oleh masyarakat luas.
Kepala Kantor Direktorat Jendral Perbendaharaan (DJPB) Wilayah Maluku Utara Tunas Agung Jiwa Brata menjelaskan, pertumbuhan domestik regional bruto (PDRB) provinsi tersebut hingga kuartal II-2023 capai 23,89 persen, atau 3-4 kali lipat pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan didorong dua sektor, yakni pengolahan yang tumbuh 48,12 persen secara tahunan (year on year/YOY), dan pertambangan 64 persen YOY.
Dari sisi distribusi lapangan usaha, sektor pengolahan dan pertambangan menjadi kontributor utama sebesar 53 persen. Sementara itu, pertumbuhan sektor pertanian, yang menjadi mata pencarian warga asli, hanya berkontribusi 12,76 persen dan tumbuh 5 persen YOY.
”Penerimaan pajak mineral masih yang terbesar. Khusus sektor pengolahan angkanya 39 persen dan diprediksi terus meningkat seiring adanya fasilitas pengolahan nikel atau smelter. Penerimaan dari pertanian, kehutanan, dan perikanan turun sampai 34 persen karena ada penurunan produksi dan gelombang tinggi,” ujarnya di Ternate, Maluku Utara, Senin (30/10/2023).
Pertumbuhan sektor pertambangan dan pengolahan yang pesat, tak seiring pertumbuhan sektor pertanian, menciptakan ketimpangan ekonomi. Tingkat ketimpangan tertinggi terjadi di salah satu pusat industri nikel, Halmahera Tengah. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Entropi Theil Maluku Utara yang tergolong tinggi.
DJPB Maluku Utara mencatat, nilai Indeks Entropi Theil Maluku Utara sebesar 4,09. Kabupaten Halmahera Tengah mencatatkan nilai Indeks Entropi Theil terbesar, yakni 28,48, naik pesat dari tahun sebelumnya, yakni 12-15. Apabila nilai indeks semakin menjauhi nilai nol, ketimpangan semakin tinggi.
Kabupaten Halmahera Tengah sendiri berada di peringkat kedua daerah termiskin di Maluku Utara. Posisinya di bawah Kabupaten Halmahera Timur.
Selain itu, angka Indeks Williamson Maluku Utara juga tergolong sangat tinggi. Nilai indeks terus naik sejak tahun 2018 dari angka 0,26 menjadi 1,08 di tahun 2022. Nilai indeks yang terus menjauhi nol juga menjadi tanda ketimpangan yang melebar.
”Tingginya PDRB masih terkonsentrasi di sektor pertambangan dan pengolahan yang angkanya terlampau tinggi, sementara investasi di sektor nontambang masih rendah. Pertumbuhan ekonomi kurang berkualitas juga karena rendahnya kompetensi tenaga kerja lokal untuk masuk pertambangan dan nilai tambah sektor tambang ke lainnya rendah,” ucapnya.
Agung menambahkan, pemerintah daerah perlu mendorong sektor nontambang untuk berkembang agar perekonomian menjadi lebih merata. Pada tahun 2023, pemerintah tengah mendorong berdirinya pembangkit listrik tenaga panas bumi di Desa Idamdehe, Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara, dengan cadangan panas bumi 20-50 MWE (megawatt electric). Nilai proyek ini ditaksir 30 juta dollar AS atau Rp 455 miliar.
Kehadiran pasokan listrik yang andal ini diharapkan memancing industri dan investasi di Maluku Utara masuk, khususnya sektor pengolahan di bidang perikanan dan perkebunan, yakni pengolahan kelapa. Pengeboran menurut rencana dimulai pada 2024-2025.
Berdasarkan data Direktorat Jendral Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral tahun 2023, terdapat 10 lokasi di Maluku Utara yang belum mendapatkan listrik stabil selama 24 jam. Tingkat elektrifikasi rumah tangga di Maluku Utara pun masih sebesar 87,42 persen, atau peringkat empat terendah secara nasional.
”Dari perhitungan keekonomian proyek ini dinilai layak secara ekonomi,” ujarnya.
Pertumbuhan sektor pertambangan dan pengolahan kelewat tinggi maka harus ada penyetaraan di sektor nontambang agar pembangunan ekonominya berkualitas.
Kawasan ekonomi
Bertumbuhnya sektor pertambangan membuat hasil ekspor Maluku Utara terus didominasi oleh ekspor mineral. Hingga September 2023, penerimaan bea cukai Maluku Utara tercatat Rp 209,44 miliar atau naik 32,54 YOY. Komoditas ekspor teratas diduduki produk turunan nikel, yakni feronikel, mixed hydroxide precipitate, nikel matte, dan nikel sulfat.
Kepala Kantor Pelayanan Pengawasan Bea Cukai Ternate Jaka Riyadi menjelaskan, pemerintah daerah perlu mendorong ekspor komoditas unggulan lain, seperti hasil perikanan dan perkebunan. Kini, pemerintah sedang mengembangkan kawasan Kabupaten Morotai di utara provinsi ini untuk dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Selain perikanan, status KEK diharapkan bisa mendorong produktivitas sektor pariwisata Maluku Utara karena Morotai memiliki potensi wisata bahari dan sejarah yang besar.
Investasi yang dibutuhkan dalam pengembangan KEK Morotai Rp 35 triliun. PT Jababeka ditunjuk sebagai entitas pelaksana pembangunan di kawasan seluas 1.101 hektar. Sejumlah investor pun disebut tertarik ikut menggarap kawasan ini.
”Sektor nontambang yang diekspor masih sedikit. KEK Morotai ini diharapkan menarik investor berinvestasi di perikanan ataupun pariwisata. Pengembangan perlu karena pertambangan ada masanya,” ucapnya.
Direktur Lembaga Mitra Lingkungan Maluku Utara Suratman Sudjud menjelaskan, selama ini, nikmat pertumbuhan ekonomi dari sektor pertambangan dan pengolahan belum dirasakan masyarakat keseluruhan. Degradasi kualitas lingkungan malah memperburuk keadaan ekonomi warga lokal yang mata pencarian asli sebagai nelayan dan petani tergerus.
”Proyek yang masuk ke Maluku Utara sering berlabel Proyek Strategis Nasional jadi warga yang terdampak tidak punya daya tawar apa-apa. Arah pembangunan ekonomi harus yang secara nyata dirasakan warga,” tuturnya.