Melihat Kawasan Perbatasan Skouw, Masa Depan Kota Jayapura
Perkembangan Kota Jayapura di batas negeri memutar ekonomi dan mempererat hubungan sosial antarmasyarakat perbatasan.
Tatkala matahari bersiap menyinari ujung timur Indonesia, sejak pukul 06.00 WIT, Imanuela (47) Mama Manu mulai membentangkan karung goninya. Ia lalu menghamparkan berbagai sayur dagangannya. Di samping Mama Manu, ada Mama Elama Gouw (34) dengan rona merah di bibir bekas kunyahan pinang, sigap pula menghamparkan sejumlah buah lokal dagangannya.
Hari itu, Sabtu (16/3/2024), menjadi hari berlangsungnya pasar mingguan di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua. PLBN yang menjadi penanda batas antara Indonesia dan Papua Niugini ini berjarak sekitar 60 kilometer dari pusat kota Jayapura.
Pasar ini menjadi pusat belanja bagi warga Papua Niugini yang tinggal di kampung sekitar perbatasan yang masuk wilayah administratif Kota Vanimo, Provinsi Sandaun. Salah satu kampung terdekat, yakni Wutung, hanya berjarak kurang dari 1 kilometer dari pos perbatasan.
Baca juga: Membangun Kesetaraan, Merawat Nasionalisme
Pagi itu, para ”Mama Papua”, sebutan kaum ibu Papua, sudah mulai dengan berbagai aktivitas di emperan pasar. Mereka berasal dari kampung sekitar PLBN, seperti Mosso, Skouw Sae, Skouw Yambe, dan Skouw Mabo, dengan komoditas dagangan, seperti sayur, pisang, umbi-umbian, pinang, sirih, dan beberapa buah lokal lainnya.
Pos perbatasan kedua negara buka mulai pukul 08.00-16.00 WIT. Warga Papua Niugini biasanya mulai ramai mendatangi pasar sekitar pukul 09.00 WIT ke atas.
”Pukul 09.00 atau 10.00 pagi mereka datang ramai-ramai. Selain belanja di dalam, mereka biasanya beli sayur atau pinang juga,” ujar Mama Manu sembari terus menyiapkan dagangannya.
Saat tiba waktunya, mereka beramai-ramai melewati sekat pagar perbatasan. Mulai dari orang tua, remaja, hingga anak kecil berjalan memasuki area pasar yang berjarak sekitar 700 meter pagar pemisah kedua negara. Saat bertransaksi, mereka menggunakan mata uang Papua Niugini, yakni kina. Dalam kurs terbaru, satu kina setara dengan Rp 4.000.
Sebagian dari mereka biasanya langsung melewati emperan pasar menuju ke bagian dalam, tempat penjualan berbagai perabotan rumah, barang elektronik, dan berbagai kebutuhan lain. Barang-barang tersebut mayoritas dijual oleh pedagang dari pusat kota Jayapura, yang merupakan para perantau dari Jawa dan Sulawesi.
Saling lempar senyum dan sapa sesekali terlihat di antara mereka Mama Papua dan warga Papua Niugini. ”Biasanya mereka setelah beli perabotan di dalam dan sebelum pulang, mereka akan beli juga sayur atau buah,” ujar Mama Manu.
Baca juga: Anyaman Ketulusan dan Solidaritas ”Mama Pasar Papua”
Di sisi yang lain, Mama Elama cekatan melayani sejumlah pembeli. Sesekali terjadi saling tawar dalam bahasa Pidgin atau broken English yang menjadi salah satu bahasa resmi warga Papua Niugini.
”Sama seperti mama-mama di sini, mereka suka menawar. Jadi, nanti tawar-menawar pakai bahasa mereka,” ujar Mama Elama.
Sembari melayani pembeli, pagi itu ia turut kedatangan sejumlah kerabat dari Wutung. Pertemuan tersebut terasa hangat karena bisa lebih intens saat hari pasar.
Ia berharap pasar bisa ada lebih dari sekali dalam seminggu. Dengan begitu, transaksi dan silaturahmi bisa semakin intens dengan kerabat dari negeri seberang. ”Ini (dagangan) biasanya kasih juga ke keluarga yang di sana, atau biasa penjual yang di dalam beli juga di sini,” katanya.
Baca juga: Para Penjaga Imaji Keindonesiaan
Sebagai pusat belanja terdekat, banyak pula warga Papua Niugini yang berbelanja untuk dijual kembali. Barang-barang seperti perabotan rumah dan bahan pokok kemasan menjadi komoditas incaran mereka.
”Mereka belanja dalam jumlah banyak. Bahkan, sekali belanja bisa Rp 1-2 juta,” ujar Rahmad, pedagang yang berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara. Ia sendiri tinggal di sekitar PLBN dengan menyewa tempat dari pemilik tanah warga Kampung Mosso.
Jimmy (47), warga Papua Niugini, bersama istri dan dua anaknya belanja cukup banyak, barang perabotan rumah. Mereka baru saja berbelanja tikar dan sejumlah alas tidur lainnya yang akan dijual kembali di sekitar kampung.
”(Alasan berbelanja di Indonesia) di sini banyak barang dan lengkap. Kami berasal dari nenek moyang yang sama. Selain berbelanja, kami juga bisa terus merawat hubungan,” katanya dalam bahasa Pidgin sembari bersiap menuju gerbang perbatasan dengan menggunakan jasa ojek.
Geliat wisatawan
Selain aktivitas masyarakat lokal dan Papua Niugini, kawasan PLBN ramai oleh wisatawan yang datang dari arah pusat kota Jayapura. Mereka datang melihat gedung perbatasan atau hanya sekadar menyaksikan aktivitas transaksi pedagang dari Papua Indonesia dan pembeli Papua Niugini.
Ada pula pengunjung berasal dari luar Jayapura. Franky (56), misalnya, pengunjung asal Medan, Sumatera Utara, yang tengah menengok anaknya yang bekerja di Jayapura. Selain melihat langsung suasana perbatasan, dia juga turut menyaksikan aktivitas belanja di pasar.
Baca juga: Resmikan PLBN Sota, Presiden: Bangun Sentra Ekonomi di Perbatasan
”Menarik melihat aktivitas di sini. Hanya beberapa puluh kilometer dari Jayapura bisa melihat negara lain. Bahkan, bisa melihat aktivitas jual beli dengan bahasa dan mata uang beda negara,” ujarnya.
Franky membeli aksesori, seperti tas noken dan topi kupluk. Selain bermotif khas Skouw, aksesori tersebut banyak yang bermotif Papua Niugini. ”Ternyata orang Jayapura gampang ke luar negeri. Kalau beli (aksesori) yang Papua Niugini bisa kelihatan habis dari luar negeri,” candanya.
Pasar bisa ada lebih dari sekali dalam seminggu. Dengan begitu, transaksi dan silaturahmi bisa semakin intens dengan kerabat dari negeri seberang.
Pelaksana Tugas Kepala PLBN Skouw Brendina Mathilda Pusung mengatakan, seusai status pandemi Covid-19 berakhir, kawasan perbatasan kembali menggeliat. Aktivitas pasar kembali ramai, serta wisatawan kembali mendatangi kawasan pos dan pasar perbatasan.
Seperti harapan pemerintah, kata Brendina, pos perbatasan yang diresmikan pada 2017 ini tidak hanya simbol pembatas, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi kedua negara. Dalam sehari, ada 1.000-2.000 warga Papua Niugini yang melintas menuju Papua Indonesia.
”Karena berbagai keterbatasan dari pihak sebelah, seperti sumber daya di pos perbatasan dan dokumen perlintasan, maka mereka hanya bisa melintas berbelanja di pasar. Selain itu, karena itu juga, hari pasar juga dibatasi hanya satu hari dalam seminggu,” ujarnya.
Sudah sejak lama masyarakat di sekitar perbatasan menggantungkan kebutuhan di pasar PLBN Skouw. Mereka hanya perlu berjalan kurang dari 1 kilometer daripada ke kota Vanimo yang berjarak 45 kilometer.
”Pemerintah Indonesia sejatinya sangat terbuka, jika pemerintah sebelah bisa menyelesaikan berbagai kendala mereka, kami siap agar pasar bisa lebih sering lagi. Apalagi wisatawan juga semakin banyak yang datang,” ujarnya.
Baca juga: Belanja di Pasar Lintas Batas Skouw Papua
Hubungan turun-temurun
Akademisi Universitas Cenderawasih Hanro Lekitoo mengungkapkan, hubungan antarmasyarakat di Skouw dan Wutung merupakan hubungan secara turun-temurun sejak negara belum terbentuk. Termasuk hubungan jual-beli di pasar PLBN.
Rutinitas ini terus diturunkan dari generasi ke generasi kendati keduanya telah berada di dua wilayah negara yang berbeda. Kendati dengan berbagai kerumitan yang ada, hubungan itu terus terjalin, khususnya bagi masyarakat Skouw dan Wutung.
Di sisi lain, hubungan kekerabatan ini menciptakan berbagai dampak. Hubungan yang terjalin sejak lama tersebut menghadirkan berbagai pertukaran yang turut menciptakan keragaman yang semakin khas pula.
”Ada tari-tarian dan nyari-nyanyian serta aksesori yang menjadi perpaduan keduanya yang bisa bernilai lebih,” ucapnya.
Hal ini dianggap menjadi peluang ekonomi yang seharusnya menjadi peluang memberdayakan masyarakat lokal setempat. Dengan berbagai potensi keragaman yang ada, ini bisa menjadi daya tarik yang perlu dimaksimalkan.
Ke depan, berbagai perspektif pembangunan harus memperhatikan pemberdayaan masyarakat lokal dengan potensi yang ada.
”Kendati sifatnya masyarakat perbatasan, mereka ini cukup dekat dengan pusat kota. Manfaat perkembangan kota seharusnya bisa dinikmati juga,” ujarnya.
Baca juga: PLBN Skouw, Destinasi Wisata Terbaru di Jayapura
Arah pembangunan kota
Pemerintah Kota Jayapura melihat daerah PLBN Skouw yang masuk dalam Distrik Muara Tami sebagai kawasan masa depan.
Saat ini, arah pembangunan kota, seperti kantor instansi, kawasan permukiman, dan sentra pertanian berpusat di kawasan Distrik Muara Tami. Hal ini diharapkan akan turut menggenjot pembangunan di wilayah perbatasan.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura Matias Mano mengatakan, berbagai potensi ini akan akan dimaksimalkan, baik itu pemerintah pusat, provinsi, maupun kota. Pemkot Jayapura berupaya memaksimalkan berbagai potensi di kawasan tersebut.
”Ada berbagai hal, seperti festival budaya dan kekayaan flora dan fauna yang bisa dikembangkan sehingga masyarakat di perbatasan semakin berdaya dengan berbagai peluang ekonomi yang bakal hadir,” ucapnya.
Pada akhir tahun lalu, kedua otoritas perbatasan berkolaborasi menyelenggarakan sebuah festival dan pameran. Kegiatan yang diselenggarakan selama tiga hari tersebut menghadirkan semangat keberagaman seni budaya serta UMKM dari kedua negara.
Ke depan, berbagai perspektif pembangunan harus memperhatikan pemberdayaan masyarakat lokal dengan potensi yang ada.
Selain melibatkan berbagai UMKM masyarakat lokal, festival dan pameran budaya khas kedua negara mampu menarik minat wisatawan. Pelaksana Tugas Asisten Sekretariat Daerah Papua Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Suzana Wanggai mengatakan, kegiatan tersebut akhirnya bisa dilakukan kembali setelah beberapa tahun vakum.
Suzana berharap hal ini menjadi upaya untuk saling merawat hubungan kedua negara. Di sisi lain, beragam kegiatan menjadi ikhtiar pemberdayaan sumber daya yang dimiliki kedua negara.
”Kami berharap, ke depan geliat ekonomi di pinggiran terus bergerak dan semakin semarak dengan berbagai event. Selain itu, merawat hubungan persaudaraan dua negara juga penting,” ujar Suzana.