Produksi Padi Maluku Terus Turun, Pangan Lokal Harus Dapat Perhatian
Menurunnya produksi padi di Maluku diiringi penurunan bantuan dari pemerintah. Peran pangan lokal kembali diingatkan.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Luas panen padi dan produksi beras Maluku disebut terus menurun. Penyebabnya adalah kekeringan, hama, perkebunan sawit, dan ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah. Di tengah penurunan padi dan beras, diversifikasi konsumsi ke pangan lokal mendesak dilakukan.
Hal itu merujuk pada analisis kerangka sampel area Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku. Statistisi BPS Maluku, Charles Anidlah, menjelaskan, luas panen padi di Maluku pada 2023 tercatat 22.640 hektar. Jumlah itu turun dibandingkan luas panen tahun 2022 sebesar 23.990 ha.
Produksi padi juga terpantau turun menjadi 7.990 ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 2023. Padahal, setahun sebelumnya, produksi padi tercatat 9.269 ton GKG.
Penurunan ini pun menyebabkan produksi beras ikut anjlok. Pada tahun 2023, misalnya, produksi beras untuk konsumsi pangan berada di angka 44.780 ton beras atau turun 7.080 ton dari produksi tahun 2022 sebesar 51.860 ton beras. Dengan angka tersebut, angka defisit konsumsi dan produksi beras Maluku masih cukup tinggi.
Berdasarkan data BPS tahun 2023, konsumsi beras masyarakat Maluku mencapai 195.700 ton. Dengan tingkat produksi beras 44.780 ton, maka masih ada defisit 150.900 ton beras.
”Harapannya, jarak antara konsumsi dan produksi bisa semakin kecil agar ketergantungan kita terhadap wilayah lain semakin kecil pula,” ucap Charles di Ambon, Maluku, Selasa (19/3/2024).
Secara wilayah, Kabupaten Buru merupakan kawasan penghasil padi utama dengan tingkat produksi tahun 2023 sebesar 38.741 ton GKG. Lalu, Kabupaten Maluku Tengah (27.777 ton GKG) dan Kabupaten Seram Bagian Timur (8.294 ton GKG). Namun, sejak dua tahun lalu, daerah-daerah ini mengalami sejumlah tantangan.
Di Kabupaten Buru, misalnya, ketersediaan air terancam kekeringan sehingga menekan jumlah luas panen. Pada Oktober 2023, panen di wilayah ini hanya 7.213 ha. Padahal, biasanya mampu mencapai 8.000 ha.
Krisis air juga membuat para petani kerap berselisih untuk mendapatkan jatah untuk mengairi sawahnya. Hal serupa juga dialami petani di Kabupaten Seram Bagian Timur.
Sementara di Kabupaten Maluku Tengah, panen padi tertekan akibat serangan hama. Selain itu, penurunan produksi padi terjadi karena adanya perkebunan kelapa sawit yang mengganggu pertumbuhan padi.
Ketergantungan petani Maluku terhadap bantuan dari pusat sangat besar.
Ketergantungan petani pada bantuan pemerintah ikut memengaruhinya. Kepala Dinas Pertanian Maluku Ilham Tauda menjelaskan, petani sangat bergantung pada bantuan, khususnya pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian. Namun, bantuan yang diterima petani kini terus menurun setiap tahunnya.
Pada tahun 2022, misalnya, Kementan masih memberikan alokasi bantuan pengembangan padi di Maluku terhadap 10.000 hektar lahan sawah. Namun, tahun 2023, bantuan menyusut menjadi 6.000 hektar dan hanya 2.000 hektar di 2024.
Penurunan bantuan ini juga dinilai membuat petani tanaman pangan di Maluku tidak lagi tertarik menanam padi. Tren penurunan tersebut membuat peningkatan produksi pangan lokal kini dilirik sebagai pengganti beras.
“Meskipun harga beras naik, petani tetap tidak mau menanam padi karena risikonya masih terlalu besar. Produksi yang menurun ini perlu jadi perhatian karena diiringi kenaikan tingkat konsumsi beras masyarakat Maluku,” ucapnya.
Pengajar Agrobisnis di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Wardis Girsang, menjelaskan, kini pemerintah perlu juga mendata tingkat produksi pangan lokal di Maluku. Pangan lokal itu seperti sagu, umbi-umbian, hingga sukun.
Pendataan ini penting sebagai langkah awal mendorong konsumsi pangan lokal. Menurutnya, ambisi Maluku mewujudkan swasembada beras di Maluku sukar tercapai karena masih banyaknya petani sulit menanam padi.
Ditambah, beberapa petani padi di sejumlah kabupaten sudah beralih ke tanaman hortikultura lain, seperti sayur dan buah, karena dinilai lebih menguntungkan. “Diversifikasi pangan ini yang harus mulai didorong karena ada potensi seperti sagu, jagung, ataupun umbi-umbian yang masih menjadi budaya di beberapa tempat. Petani-petani banyak tidak ingin menanam padi karena takut gagal panen,” ucapnya.