Cegah Konversi Lahan untuk Wujudkan Kemandirian Pangan di Maluku
Ketersediaan lahan menjadi upaya awal untuk mendorong kemandirian dan memastikan ketersediaan pangan lokal di Maluku.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pencegahan konversi lahan produktif pertanian menjadi permukiman, perkebunan monokultur, hingga pertambangan menjadi langkah awal mewujudkan kemandirian pangan Maluku. Potensi pangan lokal yang menjadi kearifan warga juga harus didorong.
Kepala Pusat Studi Pedesaan Universitas Pattimura (Unpatti) La Ega menjelaskan, ketersediaan lahan yang cukup dapat membantu Maluku untuk menyeimbangkan neraca komoditasnya, khususnya beras. Keseimbangan neraca dibutuhkan untuk menjamin harga dan ketersediaan pangan di dalam wilayah Maluku.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Provinsi Maluku, produksi beras pada tahun 2023 berada di angka 69.000 ton dengan konsumsi rata-rata warga 142.000 ton per tahun. Komoditas lain, seperti bawang merah, pun demikian dengan produksi tahunan 790 ton dengan konsumsi sekitar 4.500 ton per tahun.
Hal ini membuat pemerintah masih harus mendatangkan jumlah selisih komoditas hingga puluhan ribu ton dari wilayah lain. Pemerintah Provinsi Maluku pun menghabiskan anggaran sekitar Rp 1,5 triliun setiap tahun untuk membiayai pembelian tersebut. Padahal, anggaran tersebut dapat digunakan untuk membangun sentra pertanian di wilayah kepulauan ini.
Adapun pemerintah daerah telah menetapkan jumlah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebesar 32.000 hektar khusus untuk pertanian.
”Salah satu contohnya di Pulau Seram. Lahan sawah produktif menjadi kebun sawit. Apakah luas LP2B itu cukup?. Pemerintah harus tegas soal lahan agar biaya triliunan rupiah tersebut bisa digunakan dan dibelanjakan di Maluku sehingga harga menjadi terjangkau dan kemiskinan bisa diatasi,” ujarnya di Ambon, Maluku, Senin (19/2/2024).
Selain menjadi perkebunan sawit, lahan pangan juga digusur oleh pertambangan seperti yang terjadi kepada ratusan hektar lahan sagu di Pulau Buru. Pengajar di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Unpatti ini melanjutkan, setelah memastikan lahan, masalah lain yang perlu dituntaskan logistik dan ketersediaan air.
Provinsi Maluku terdiri atas ribuan pulau dengan total jumlah lautan sebesar 92 persen luas wilayah. Ancaman gelombang tinggi membuat harga pangan bisa meroket akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Ia mencontohkan, bila sedang musim angin kencang melanda wilayah selatan Maluku, harga BBM di wilayah Maluku Barat Daya bisa menyentuh harga Rp 25.000-Rp 35.000 per liter.
Mengenai ketersediaan air, Ega menyebut, pertanian di Maluku hanya memiliki air untuk produksi selama enam bulan saja setiap tahunnya. Di tengah ancaman kekeringan akibat El Nino, hal ini menjadi kekhawatiran. Pemerintah Provinsi Maluku sudah mulai menggunakan varietas yang tahan iklim agar produksi tidak terganggu.
”Pemerintah kurang berpihak pada pangan di pulau-pulau kecil yang selalu dibelit masalah logistik, infrastruktur, yang membuat semuanya high cost. Lahan pertanian ini bila didorong, harapannya bisa mendapatkan bantuan lewat dana alokasi khusus,” ujarnya.
Selain beras
Di Maluku, Pulau Buru merupakan wilayah penyumbang utama produksi beras. Penjabat Bupati Buru Djalaludin Salampessy mengaku, sulit untuk meminta warga kembali mengonsumsi pangan lokal, seperti sagu, umbi umbian, sukun, pengganti beras untuk sehari-hari.
Untuk menarik minat warga, pemerintah getol mengampanyekan konsumsi pangan lokal dari aspek pemenuhan gizi. Cara ini dinilai lebih efektif ketimbang hanya menyuruh warga beralih dari beras.
Keberpihakan pemerintah pusat belum terlihat terkait penyediaan infrastruktur untuk menyelesaikan masalah logistik di Maluku.
Pria yang dulu aktif di Badan Pendapatan Daerah Provinsi Maluku ini menjelaskan, mengenai ketersediaan lahan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu. Aturan ini diharapkan dapat mencegah penyusutan lahan sagu. Namun, sosialisasinya dinilai belum efektif dan masih terkendala dinamika politik di daerah.
”Saya akan buka kembali dokumennya. Kebetulan saya ikut terlibat membahasnya. Aturan ini perlu diketahui oleh masyarakat agar menjaga lahannya karena masih ditemukan kasus lahan sagu dijual karena kepemilikan pribadi,” ujarnya.
Beras menjadi komoditas konsumsi utama bagi masyarakat Maluku kini. Namun, komoditas pangan lokal lain juga perlu dilirik sebagai upaya membangun ketahanan pangan. Kepala Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian Maluku Kardiyono menjelaskan, di Maluku terdapat sejumlah pangan lokal yang hingga kini masih dimanfaatkan sebagai pengganti beras, seperti sagu, hotong (Setaria italica), dan sukun (Artocarpus altilis).
Hotong tumbuh subur di Pulau Buru, sementara sukun menjadi makanan pengganti beras di wilayah Kepulauan Maluku Barat Daya. Adapun konsumsi sagu masih cukup sering ditemukan di hampir seluruh wilayah Maluku.
Meski demikian, mendorong masyarakat kembali mengonsumsi pangan lokal bukan hal yang mudah. Menurut dia, terjadi pergeseran pola konsumsi pangan dalam sepuluh tahun terakhir. Masyarakat di Indonesia timur kini lebih memilih makanan cepat saji dan makanan hasil pemrosesan (processed foods).
Walaupun sulit, opsi untuk kembali ke pangan lokal tetap terbuka. Bukan hanya sekadar untuk mengisi perut, melainkan juga untuk kesehatan. Ia mencontohkan sukun yang memiliki tingkat glikemik rendah sehingga baik untuk menjaga kadar gula darah tetap rendah. Dalam beberapa waktu mendatang, sukun akan terus dikembangkan sebagai pangan lokal yang bermanfaat bagi warga.
”Dari Kementerian Pertanian, tahun ini hingga beberapa tahun ke depan, sukun akan dikembangkan sebagai strategi pengembangan pakan lokal. Maluku harus melihat potensi ini,” ujarnya.