Puncak El Nino, Sentra Padi Maluku Terancam Kekeringan
Luas lahan dan produksi panen padi Maluku terus menurun sejak beberapa tahun ke belakang. Ketergantungan warga terhadap impor beras semakin tinggi sehingga harga melambung. Fenomena El Nino memperparah kondisi tersebut.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Fenomena El Nino yang diprediksikan terjadi hingga awal 2024 membuat beberapa daerah di Maluku terancam kekeringan. Produksi beras diperkirakan ikut tertekan. Hal tersebut memicu kenaikan harga komoditas, khususnya beras, sehingga memerlukan upaya untuk meredam dampaknya terus meluas ke masyarakat.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Provinsi Maluku Abraham Donald Lekatompessy menjelaskan, di Maluku, El Nino sudah terjadi sejak Agustus 2023, dan diprediksi berlanjut hingga awal tahun 2024. Sementara puncak kekeringan akibat El Nino akan terjadi hingga akhir tahun 2023. Akibat fenomena ini, beberapa daerah akan dilanda kekeringan yang bisa mengganggu produksi komoditas strategis, seperti beras, cabai, dan bawang, di Maluku.
Kabupaten Buru, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram Bagian Timur, serta Kabupaten Seram Bagian Barat terancam kekeringan akibat semakin menipisnya ketersediaan air untuk irigasi persawahan. Adapun keempat kabupaten ini adalah daerah penghasil beras terbesar di Maluku.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), per Oktober 2023, ketersediaan air di daerah tersebut sudah berada dalam kategori merah, yakni cadangan air berada di angka 21-40 persen. Selanjutnya, pada November 2023, ketersediaan air di daerah tersebut diprediksi turun ke kategori coklat. Artinya, ketersediaan air akan menurun hingga di bawah 21 persen.
”Perkiraan puncak musim kemarau akibat El Nino ini ada di bulan November. Dengan masa tanam padi Oktober hingga Maret, produksi beras pasti akan terdampak. Maka, perlu diantisipasi dari sekarang. Hingga kini, prediksi risiko kekeringan dalam kategori sedang,” ucapnya di Ambon, Rabu (25/10/2023).
Kondisi ini perlu diantisipasi mengingat beberapa tahun terakhir produksi beras di Maluku terus turun. Berdasarkan Data Dinas Pertanian Provinsi Maluku, produksi beras tahun 2021 mencapai angka 69.123 ton, lalu turun pada tahun 2022 menjadi 58.339 ton, dan diproyeksikan kembali tertekan menjadi 55.180 ton. Dengan total kebutuhan beras Maluku sebesar 135,947 ton per tahun, defisit sebesar 80.767 ton harus ditangani dengan baik.
Untuk menambal defisit tersebut, Pemerintah Provinsi Maluku bekerja sama dengan berbagai pihak dengan memastikan cadangan beras aman. Berdasarkan data Bulog hingga pertengahan tahun 2023, cadangan beras pemerintah Bulog di Maluku dan Maluku Utara berada di angka 21.653 ton. Sementara ketersediaan di tingkat provinsi hingga pertengahan Oktober 2023 berada di angka 33.000 ton.
”Sisanya perlu didatangkan dari wilayah lain,” ujarnya.
Donald menambahkan, produksi beras di Maluku terus tertekan akibat kondisi petani yang sangat menggantungkan diri terhadap alokasi bantuan dari pemerintah. Penurunan bantuan dari beberapa tahun ke belakang membuat luas panen terus menurun. Tahun 2021, luas panen padi di Maluku tercatat sebesar 28.654 ton, lalu turun pada tahun 2022 menjadi 23,987 ton. Penurunan diproyeksikan akan terjadi tahun 2023.
Proyeksi kekeringan level sedang, tetapi terus terjadi sehingga harus ada antisipasi bersama.
Untuk mengantisipasi penurunan lebih dalam, pihaknya sudah membangun beberapa dam parit yang terhubung dengan aliran sungai kecil sebagai tempat penampungan air permukaan. Dam ini dapat menjadi sumber irigasi bagi sawah nantinya. Beberapa varietas padi tahan kekeringan juga disiapkan. Tidak lupa, pemerintah gencar mendorong pemanfaatan pangan lokal, seperti sagu dan ubi.
Sejak El Nino terjadi, harga beras di Maluku merangkak naik. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional per 25 Oktober 2023, harga beras medium di Maluku sudah menyentuh angka Rp 14.120 per kilogram. Angka ini berada di atas harga eceran tertinggi beras medium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 11.800 per kilogram. Harga ini akan lebih tinggi dari biasanya apabila sudah sampai ke pasar mengingat panjangnya rantai distribusi.
Statistisi Ahli Madya Badan Pusat Statistik Maluku Charles Gigir Anidlah menjelaskan, panjangnya rantai distribusi membuat harga beras di daerah ini lebih mahal dibandingkan dengan tingkat nasional.
Hal ini terlihat dari tingkat Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) beras di Maluku yang sebesar 26,47 persen, masih di atas angka nasional sebesar 21,47 persen. MPP telur pun menunjukkan hal serupa, yaitu sebesar 42,99 persen, jauh di atas angka nasional sebesar 20,19 persen. Angka tersebut menunjukkan harga penjualan komoditas pangan di Maluku lebih besar ketimbang nasional.
Menurunnya produksi beras dalam provinsi, ditambah tekanan El Nino, membuat ketergantungan Maluku terhadap impor beras pun semakin tinggi. Selama periode 2017-2022, prevalensi penduduk Maluku terhadap kerawanan pangan tingkat sedang atau berat pun selalu berada di atas angka nasional.
”Biaya yang dikeluarkan penduduk Maluku untuk beras 23,4 persen lebih tinggi dari nasional. Selama lima tahun terakhir, rata-rata pengeluaran beras per kapita per bulan secara nasional Rp 64.725, sementara di Maluku mencapai Rp 79.292,” ujarnya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Maluku Achmad Jais Ely menyebut, dampak krisis pangan di Provinsi Maluku harus terus diantisipasi. Walaupun keadaan relatif baik, kolaborasi dan fokus dari setiap instansi dibutuhkan agar dampak dari krisis pangan tidak meluas di Maluku. ”Meski keadaan relatif masih bisa teratasi, langkah strategis ke depan tetap harus diperhatikan agar kedaulatan pangan Maluku tetap terjaga,” ucapnya.