Cita Rasa Papua dalam Ragam Takjil Nusantara di Jayapura
Sejumlah takjil khas Nusantara di Jayapura ternyata berbahan dasar pangan lokal Papua, seperti sagu dan umbi-umbian.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
Kendati bukan daerah dengan penduduk mayoritas Islam, nuansa Ramadhan tetap terasa di sejumlah wilayah di Papua, termasuk Kota Jayapura. Hal ini, antara lain, tampak dari kemunculan pedagang dadakan yang berjualan makanan untuk berbuka puasa.
Sebagai kota yang heterogen, Jayapura memiliki keragaman jajanan yang berasal dari sejumlah daerah di Nusantara, seperti Jawa dan Sulawesi. Saat memasuki bulan Ramadhan, muncul banyak pedagang kuliner yang berjualan aneka takjil di berbagai wilayah kota itu.
Di sisi kanan dan kiri jalan yang sebelumnya lahan kosong, kini menjadi pasar kuliner dadakan. Sebagian pedagang takjil itu berdampingan dengan warga lokal yang berjualan buah pinang.
Warna-warni berbagai jenis es, seperti es buah, es kelapa, hingga es pisang ijo, tampak sangat menggugah selera. Selain itu, beragam jajanan kue, seperti lapis, risol, molen, onde-onde, serta aneka gorengan, menambah variasi pilihan menu berbuka yang siap memanjakan perut.
”Di sini, kan, banyak perantau dari Jawa atau Sulawesi, jadi jajanannya banyak dari daerah sana. Tapi, biasanya juga jajanan berbahan sagu dan singkong banyak karena (tanaman) itu banyak tumbuh dan dijual di pasar sama orang sini,” kata Irawati (34), pedagang kue di daerah Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Rabu (13/3/2024).
Meski kebanyakan jajanan itu merupakan makanan khas Jawa dan Sulawesi, cita rasa lokal Papua tidak begitu saja terpinggirkan dalam kuliner Ramadhan di Jayapura. Sebab, sebagian jajanan itu ternyata menggunakan bahan dasar pangan lokal, seperti sagu atau umbi-umbian.
Ongol-ongol, misalnya. Jajanan itu terbuat dari sagu yang ditaburi parutan kelapa. Sagu merupakan tanaman yang banyak tumbuh di kawasan Indonesia timur, khususnya Papua.
Selain itu, ada juga lemet, jajanan manis lain berbahan dasar singkong parut yang dicampur dengan gula jawa. Seperti halnya sagu, singkong dan berbagai umbi-umbian menjadi komoditas utama di wilayah pedalaman dan pegunungan Papua.
Berbagai komoditas bahan baku ini biasanya diperoleh di pasar-pasar tradisional atau di pinggir jalan yang dijual oleh masyarakat asli Papua. Pedagang lokal atau biasa disapa ”Mama Papua” biasanya menempati sisi luar di pasar-pasar tradisional.
Sagu-sagu terbaik yang dijual di Jayapura biasanya berasal dari wilayah Kabupaten Jayapura, seperti Genyem, Maribu, Depapre, Kemtuk, dan Kemtuk Gresi. Adapun berbagai jenis umbi-umbian biasanya dibawa ke Kota Jayapura oleh Mama Papua dari Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura, maupun Distrik Arso di Kabupaten Keerom.
”Kalau ada (Mama Papua), biasanya beli langsung ke mereka. Selain lebih segar, biasanya harganya juga lebih murah,” kata Mariana (36), pedagang takjil di sekitar Jalan Poros Abepura, Distrik Abepura, Kota Jayapura.
Euforia jajanan yang beragam ini disambut antusias pula oleh warga setempat, khususnya yang melaksanakan ibadah puasa. Murni (27), misalnya. Perantau asal Sulawesi Selatan ini begitu semangat berburu menu berbuka puasa. Saat mendatangi penjual aneka jajanan di kawasan Waena, ia membeli lebih dari dua jenis jajanan.
”Namanya orang puasa, kebetulan pilihan makanannya ada bermacam-macam, pasti mau beli juga sebanyak-banyaknya,” ujarnya.
Sementara itu, Suwandi (29), perantau asal Jawa Timur, juga tampak semangat mencari jajanan. Karena jajanan yang ada mirip dengan di kampung halamannya, hal itu membuatnya teringat suasana rumahnya. Di sisi lain, rasa pangan lokal yang terkenal alami turut menambah cita rasa.
Selain kaum Muslim, masyarakat lokal dan pendatang yang tidak melaksanakan puasa juga turut merayakan beragam kuliner saat momen Ramadhan. Hengky (24), perantau asal Nusa Tenggara Timur, tampak bersemangat ikut berburu takjil di sekitar tempat tinggalnya di Jayapura.
”Jarang-jarang toh ada banyak pilihan makanan segar seperti ini. Biasanya kalau semakin banyak yang jual begini, berarti semakin murah,” ujarnya.
Kalau ada (Mama Papua), biasanya beli langsung ke mereka. Selain lebih segar, biasanya harganya juga lebih murah.
Antropolog Universitas Cenderawasih, Jayapura, Hanro Lekitoo, mengungkapkan, keberkahan hari besar keagamaan di Papua memang biasanya dirasakan oleh semua golongan masyarakat. Hal ini karena ada sikap saling terbuka sehingga berbagai kelompok masyarakat turut merayakan dengan sukacita.
”Kelompok Islam di Papua, kan, mayoritas dari luar, maka tidak mengherankan jenis takjil yang muncul dari luar. Tetapi, ini justru menarik ketika (bahan dasar) takjil itu yang dimanfaatkan adalah dari pangan lokal,” katanya.
Hanro menambahkan, sebenarnya ada kelompok Islam asli Papua yang mempunyai tradisi kuliner unik. Salah satunya, kelompok pemeluk Islam di suku Dani dari Kabupaten Jayawijaya, yang kini banyak mendiami sejumlah wilayah di Jayapura.
Para pemeluk Islam dari Lembah Baliem tersebut tetap mempertahankan tradisi suku Dani, seperti bakar batu. Dalam tradisi ini, warga Papua biasanya menggunakan daging babi sebagai makanan utama. Namun, warga yang beragama Islam biasanya mengganti daging bagi dengan daging lain, seperti kambing atau ayam.
”Nilai seperti ini yang menarik. Keragaman kuliner dari leluhur saat Ramadhan atau Kebaran tetap dijaga,” ujar Hanro.