Deretan Kasus Bunuh Diri Sekeluarga, dari Depresi hingga Tekanan Ekonomi
Tindakan bunuh diri sekeluarga sudah terjadi beberapa kali. Depresi hingga tekanan ekonomi diduga menjadi pemicunya.
Kasus bunuh diri yang melibatkan anggota keluarga mencuat di berbagai daerah dalam beberapa waktu terakhir. Hasil penyelidikan polisi terhadap sejumlah kasus menunjukkan beragam motif yang melatarbelakangi tindakan itu, mulai dari depresi hingga tekanan ekonomi. Dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak untuk mencegah peristiwa serupa terulang.
Terkini, kasus bunuh diri keluarga dilaporkan terjadi di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (9/3/2024). Dalam insiden itu, empat orang diduga melompat dari apartemen tempat tinggal mereka. Mereka disebut berasal dari satu keluarga yang sama. polisi masih menyelidiki kejadian itu (Kompas, 10/3/2024).
Ditilik lebih jauh, kasus bunuh diri yang dilakukan orang-orang satu keluarga bukan hanya kali itu terjadi. Sejumlah kasus dengan motif beragam terjadi selama dua tahun terakhir.
Baca juga: Bunuh Diri di Apartemen Penjaringan yang Mengusik Nurani Kemanusiaan
Peristiwa bunuh diri dengan rentang waktu terdekat terjadi di Malang, Jawa Timur, Desember 2023. Dalam insiden itu, seorang ayah berinisial WE (44) mengakhiri hidupnya bersama istri dan anaknya, yakni S (40) dan ARE (12) (Kompas, 13/12/2023).
WE ditemukan dalam kondisi terkulai lemah dan berlumuran darah akibat luka sayat benda tajam pada pergelangan tangan kirinya, di rumahnya, pada 12 Desember 2023. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai guru itu akhirnya meninggal di Rumah Sakit Dr Munir.
Jasad istri dan anak WE, yakni S dan ARE, dalam posisi tertata di atas tempat tidur sewaktu WE ditemukan. Mulut ibu dan anak itu mengeluarkan busa dan bau menyengat. Di dekat mereka juga terdapat gelas berisi sisa cairan pembasmi nyamuk beserta kemasannya.
Hasil penyelidikan aparat kepolisian saat itu, WE diduga terjerat utang sehingga terdorong untuk melakukan tindakan tersebut. Namun, besaran utang yang ditanggung belum bisa diketahuinya.
“Kami bisa menyimpulkan sementara, motif yang melatarbelakangi lebih ke arah ekonomi. Beban keuangan. Ada beberapa saksi yang menyampaikan bahwa korban sempat memberi tahu, ’Sepertinya saya tidak bisa mengembalikan (utang)’. Ada kesaksian seperti itu, sekitar satu pekan sebelum peristiwa,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Malang Ajun Komisaris Gandha Syah Hidayat.
Hanya berselang tiga bulan sebelumnya, September 2023, kasus bunuh diri dilaporkan pula terjadi di Cinere, Depok, Jawa Barat. Peristiwa itu menimpa sepasang ibu dan anak bernama Grace Arijani Harapan (68) dan David Aryanto Wibowo (38). Mereka ditemukan mati lemas setelah mengurung diri di ruang sempit.
Baca juga: Bunuh Diri Bisa Dicegah
Aparat kepolisian memastikan tidak ada tindak pidana pada kasus itu. Pasalnya, tak terdapat tanda-tanda kekerasan ataupun bercak darah pada kedua jenazah tersebut. Bahkan, jejak-jejak orang lain juga tak didapati polisi di dalam kediaman korban.
Disiapkan
Di sekitar lokasi kejadian, jejak DNA paling dominan yang ditemukan justru milik sang anak, David. Jejak itu terdapat pada laptop, telepon genggam, serta sejumlah bagian rumah. Temuan-temuan membuat polisi memunculkan dugaan bahwa David seolah telah menyiapkan semuanya, seperti mengunci semua pintu dan menutup semua celah udara.
Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Natanael Elnadus Johanes Sumampouw mengungkapkan, metode retrospektif digunakan dalam penyelidikan kasus tersebut. Cara-cara yang dimaksud meliputi rekonstruksi pikiran, perasaan, dan perilaku, serta memeriksa status mental orang sebelum meninggal (Kompas, 6/10/2023).
Dalam proses penggalian informasi, sebanyak 13 orang yang pernah berinteraksi dengan korban diwawancarai. Hasil wawancara menunjukkan, kehidupan Grace dan David berubah drastis sejak ditinggal ayah dan suami, Stefanus Lukmanto Wibowo, pada 2011.
“Mereka seakan menarik diri dari interaksi sosial,” kata Natanael.
Grace diduga mengalami depresi karena tidak ada lagi penyokong dari segi finansial bagi keluarganya sejak suaminya meninggal. Ia juga tak mampu mengatur kehidupan keluarga dan keuangan sepeninggal suaminya itu. Padahal, ia dikenal suka menimbun barang.
Kondisi serupa diduga dialami David. Ia diduga mengalami gangguan mental akibat depresi dan rasa kesepian. Apalagi ia tak kunjung bekerja sampai akhir hidupnya.
Keadaan itu ditambah lagi perilaku David yang banyak menghabiskan waktu di dunia digital. Situs yang diakses pun menggambarkan rasa depresinya.
”Cuplikan yang sering ditonton David adalah cuplikan film Jepang yang cenderung mengarah ke kematian,” kata Natanael.
Kasus di Kalideres
Salah satu kasus dugaan bunuh diri sekeluarga yang paling menjadi perhatian terjadi di Kalideres, Jakarta Barat, November 2022. Ada empat korban dalam peristiwa tersebut. Mereka adalah pasangan suami istri Rudyanto Gunawan (70) dan Renny Margaretha (68); Dian Febbyana Apsari Dewi (42), anak mereka; serta Budyanto Gunawan (69), adik Rudyanto. Pemeriksaan kepolisian menunjukkan tidak ada unsur pidana yang mengakibatkan sekeluarga itu meninggal (Kompas, 9/12/2022).
Ketiadaan unsur pidana diperoleh setelah melalui metode investigasi kriminal secara ilmiah (scientific crime investigation). Sejumlah ahli turut dilibatkan dalam kasus itu, seperti dokter forensik, psikolog forensik, digital forensik, hingga sosiolog agama. Adapun kematian para korban justru disebut sebagai kematian wajar.
Dilihat dari urutan kematiannya, tim kedokteran forensik menganggap empat korban itu meninggal secara alami. Rudyanto menjadi korban yang meninggal paling awal akibat pendarahan pada saluran pencernaannya pada awal tahun 2022. Renny yang mengidap kanker payudara menyusul setelahnya pada Mei 2022.
Setelah itu, Budyanto meninggal akibat serangan jantung, sedangkan Dian mengembuskan napas terakhir karena gangguan pernapasan. Keduanya sama-sama meninggal pada Oktober 2022.
Baca juga: Kematian Ibu dan Anak di Cinere Murni Bunuh Diri
Ketua Umum Psikologi Forensik Reni Kusumawardhani menjelaskan, hasil otopsi psikologi para korban juga mengarah pada kematian wajar. Pasalnya, tidak ada data dan indikator yang merujuk pada kecenderungan bunuh diri, kematian tidak wajar, ataupun kecelakaan. Kesimpulan semacam itu diperoleh sesudah mengumpulkan data melalui orang-orang terdekat, barang bukti, dan kondisi tempat kejadian guna mengetahui latar belakang para korban.
Itu dicontohkan dari profil kepribadian Rudyanto yang diduga bersikap pasrah atas kondisi fisik yang renta dan cenderung mengikuti keputusan anggota keluarga lain. Setelah meninggal, salah satu faktor Rudyanto tidak dimakamkan adalah keterbatasan ekonomi.
“Sebagai orang kepribadian yang ingin tampil baik dan unggul, ekspektasi Renny untuk pemakaman suaminya yang layak tidak terwujud karena keterbatasan dana. Di sisi lain, perilaku keluarga tersebut yang menutup diri dari kerabat mengakibatkan adanya rasa sungkan untuk minta bantuan,” papar Reni.
Bisa dicegah
Bunuh diri adalah puncak dari berbagai persoalan kesehatan mental. Berdasarkan data Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (International Association for Suicide Prevention/IASP) pada 2020, lebih dari 800.000 orang di seluruh dunia atau satu orang setiap 40 detik meninggal karena bunuh diri (Kompas.id, 10/9/2020).
Masyarakat perlu mengenali tanda-tanda kecenderungan individu melakukan bunuh diri, seperti ucapan, ide, atau niat mengakhiri hidup, serta menyebutkan alat dan waktu untuk mengakhiri hidup.
Namun, korban bunuh diri bukan hanya pada mereka yang melakukan bunuh diri. Orang-orang terdekat dari orang yang meninggal karena bunuh diri pun akan terdampak hingga berisiko melakukan percobaan bunuh diri juga. Bunuh diri orang yang terdampak bunuh diri sebelumnya itu terjadi akibat trauma kehilangan, stigma masyarakat, munculnya masalah keluarga atau lingkungan, dan terjadinya peniruan sosial (social modelling).
Depresi adalah gangguan jiwa yang paling sering muncul pada orang yang punya pikiran, niat, atau melakukan bunuh diri. Bahkan IASP menyebut 50 persen dari mereka yang melakukan bunuh diri mengalami gangguan depresi mayor di saat kematiannya. Padahal, depresi adalah penyakit yang bisa dicegah dan bisa disembuhkan.
Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Indria Laksmi Gamayanti menyatakan, bunuh diri dapat dicegah. Pikiran tentang kematian dan menyakiti diri adalah masalah kesehatan jiwa yang perlu mendapatkan penanganan intensif dari psikiater dan psikolog klinis agar tak berujung pada tindakan bunuh diri.
Karena itu, kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa di masyarakat perlu terus dibangun. Masyarakat perlu mempelajari dan memahami berbagai hal yang bisa memicu masalah kesehatan jiwa dan penanggulangannya hingga kasus-kasus bunuh diri bisa dicegah.
”Masyarakat perlu mengenali tanda-tanda kecenderungan individu melakukan bunuh diri, seperti ucapan, ide, atau niat mengakhiri hidup, serta menyebutkan alat dan waktu untuk mengakhiri hidup,” katanya.
Saat mendeteksi adanya kecenderungan orang yang ingin bunuh diri, masyarakat bisa segera mencari bantuan dari psikiater atau psikolog klinis terdekat. Dengan kepedulian masyarakat tersebut, kasus bunuh diri di lingkungan sekitar kita bisa dicegah.
*****
Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi Anda melakukan tindakan bunuh diri. Jika Anda mengalami depresi atau bermasalah dengan kesehatan jiwa, segera hubungi psikolog atau layanan kesehatan mental terdekat.