Bunuh Diri Sekeluarga di Apartemen Penjaringan yang Mengusik Kemanusiaan
Peristiwa bunuh diri di apartemen di Penjaringan bukan pertama kali terjadi. Dalam 10 tahun ada tiga kali bunuh diri.
JAKARTA, KOMPAS – Peristiwa bunuh diri di sekitar apartemen Teluk Intan Tower di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, bukan pertama kali terjadi. Dalam 10 tahun terakhir setidaknya ada tiga kali peristiwa bunuh diri di lokasi itu. Peristiwa bunuh diri dilatarbelakangi beragam masalah, seperti depresi akibat tekanan hidup.
Pada Sabtu (9/3/2024), satu keluarga yang terdiri atas empat orang melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 21 gedung apartemen dan jatuh di depan lobi apartemen. Mereka terdiri dari EA (50), AEL (52), JWA (13), dan JL (15).
Pantauan Kompas pada Minggu, lokasi kejadian masih dipasangi garis polisi dan lantainya ditutupi dengan plastik. Kurniawan, salah satu petugas keamanan apartemen, menuturkan, sampai saat ini lokasi kejadian masih ditutup.
”Mungkin setelah polisi melakukan olah TKP, baru garis polisi di buka,” katanya.
Beberapa warga yang melewati lokasi tersebut tersentuh nurani kemanusiaannya atas kejadian bunuh diri sekeluarga itu. Mereka berempati kepada korban dengan menaruh bunga dan mendoakan. ”Saya berdoa supaya mereka tenang,” ucap salah satu penghuni apartemen.
Kepala Polsek Penjaringan Komisaris Agus Ady Wijaya menyatakan, berdasarkan penuturan sejumlah saksi dan barang bukti, termasuk pantauan kamera pemantau (CCTV), ada indikasi kuat keempat korban melakukan bunuh diri dengan melompat dari lantai 21 apartemen.
Dari penuturan sejumlah saksi yang sedang berjaga, diketahui ketika keempat korban jatuh, terdengar suara benturan keras. Saat para saksi menoleh, terlihat ada empat mayat yang tergeletak.
Baca juga : Bunuh Diri Bisa Dicegah, Jangan Abaikan Stres dan Depresi
Sementara dari hasil pengecekan kamera CCTV pada pukul 16.04 WIB, diketahui keempat koban mendatangi apartemen dengan menggunakan mobil Gran Max warna perak dengan nomor pelat B2972 BIQ. Kemudian, para korban masuk ke lobi apartemen dan naik menggunakan lift. Sebelum memasuki lift, EA terlihat mencium kening ketiga korban yang lain. Sementara AEL mengumpulkan semua telepon genggam milik korban.
Pada pukul 16.05, para korban keluar dari lift, tepatnya di lantai 21, kemudian naik ke tangga darurat untuk ke bagian paling atas apartemen. Pada pukul 16.13, para korban jatuh bersamaan persis di depan lobi.
Dari keterangan para saksi, ungkap Agus, diketahui bahwa korban pernah tinggal di apartemen ini. Namun, sudah dua tahun mereka tidak lagi tinggal di sana. Berdasarkan hasil identifikasi dari Inafis, korban terluka parah di sejumlah bagian tubuh.
Sebelum menjatuhkan diri, tangan mereka terikat dengan tali. Tangan EA dan JL terikat dengan tali yang sama. Sementara AEL terikat tali yang sama dengan JWA.
Polisi masih terus menyelidiki kasus ini, termasuk kondisi yang melatarbelakangi tindakan keluarga itu.
Ignatius Alven (21), salah satu penghuni apartemen lain, menuturkan, peristiwa bunuh diri dengan cara melompat dari ketinggian gedung sudah beberapa kali terjadi. ”Selama 12 tahun saya tinggal di sini, setidaknya sudah tiga kali peristiwa bunuh diri,” ujarnya, Minggu.
Alven menyebutkan, selain kejadian ini, dua tahun sebelumnya sudah ada seorang penghuni yang bunuh diri dengan melompat dari lantai 10 apartemen. ”Lokasinya hampir sama dengan peristiwa bunuh diri kemarin,” lanjutnya.
Sebelum peristiwa itu, seorang penghuni juga bunuh diri. Namun, lokasinya bukan di depan lobi, melainkan di bagian samping apartemen. ”Kebetulan, yang bunuh diri itu adalah kerabat dari teman saya,” ucap Alven.
Latar belakang peristiwa bunuh diri itu juga beragam. Ada yang karena depresi, ada juga yang terlilit utang. Andi (51), tukang ojek pangkalan yang berada tidak jauh dari lokasi kejadian, mengatakan, ketika peristiwa bunuh diri terjadi, banyak orang yang mengerumuni lokasi kejadian. ”Situasinya sangat ramai. Saya lihat jenazah korban juga sudah ditutupi dengan kain,” ujarnya.
Kedaruratan kesehatan jiwa
Psikiater dari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Bogor, yang juga anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Lahargo Kembaren, menyampaikan, bunuh diri termasuk dalam kondisi kegawatdaruratan dalam kesehatan jiwa. Pada kondisi ini, seseorang biasanya akan mengalami perubahan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku.
Sayang, sering kali (seruan untuk meminta pertolongan) ini tidak cepat ditanggapi oleh orang di sekitarnya.
Ketika orang ingin melakukan bunuh diri, ia biasanya mulai menampakkan usaha untuk bunuh diri, baik berupa ide, tulisan, pikiran, maupun tindakan. Ini yang dinamakan cry for help atau seruan untuk meminta pertolongan. ”Namun, sayang, sering kali ini tidak cepat ditanggapi oleh orang di sekitarnya,” lanjutnya.
Baca juga : Bunuh Diri Bisa Dicegah
Tidak jarang, ketika ada orang yang merasa depresi dan ingin mengakhiri hidupnya, justru ditanggapi dengan sikap sinis. Kurangnya rasa bersyukur, kurang ibadah, atau bahkan adanya pengaruh dari hal-hal gaib kerap disangkutpautkan.
Lahargo mengatakan, tanda sederhana dari risiko bunuh diri harus segera disadari. Orang yang ingin bunuh diri biasanya juga menunjukkan pesan-pesan kematian, seperti menulis keinginan untuk mati atau membuat wasiat. Bagi mereka, mengakhiri hidup jauh lebih baik daripada melanjutkan hidup. Mereka merasa, ketika meninggal, orang di sekitarnya juga tidak akan ada yang peduli.
Pada situasi ini, risiko bunuh diri sudah masuk pada fase awal. Jika tidak diatasi, risiko bunuh diri semakin meningkat pada fase sedang. Di fase ini, seseorang sudah memiliki rencana untuk bunuh diri, misalnya membeli tali, membeli benda tajam, atau menyiapkan pestisida dan obat-obatan yang akan digunakan untuk sarana bunuh diri (Kompas.id, 11/9/2021).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, setiap tahun setidaknya 703.000 orang melakukan bunuh diri. Bunuh diri menjadi penyebab kematian terbanyak keempat pada kelompok penduduk usia 15-29 tahun. Sebanyak 77 persen kasus bunuh diri terjadi di negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Dari catatan WHO, bunuh diri sangat berkaitan dengan gangguan mental, khususnya terkait depresi dan efek konsumsi alkohol. Kejadian bunuh diri biasanya akan meningkat di saat krisis yang menimbulkan tekanan dalam hidup, seperti masalah ekonomi, putus hubungan, ataupun penyakit kronis.
Wakil Ketua Perlindungan Anak Daerah Bekasi Novrian menuturkan, anak sangat rentan menjadi korban ketika ada permasalahan rumah tangga. Oleh karena itu, ketika ada indikasi masalah keluarga yang berisiko melibatkan anak, keluarga terdekat harus lebih peka untuk mendampingi keluarga tersebut.
”Anak juga harus dipisahkan sementara kepada orang yang lebih cakap merawat anak agar mereka tidak menjadi korban kekerasan akibat permasalahan rumah tangga,” katanya.
*****Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi Anda melakukan tindakan serupa. Jika Anda mengalami depresi atau bermasalah dengan kesehatan jiwa, segera hubungi psikolog atau layanan kesehatan mental terdekat.