Singkong, Andalan Warga Yogyakarta Meredam Hegemoni Beras
Harga beras lagi-lagi melambung tinggi. Masyarakat pun tak berdaya oleh gejolak bahan pangan utama itu. Adakah solusi?
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·4 menit baca
Setiap kali harga beras naik, kelimpungan dipastikan melanda seantero negeri. Urusannya bahkan bisa panjang dan merembet ke banyak hal jika tak cepat ditangani, termasuk dapat mengganggu perekonomian nasional.
Selama beras masih memegang hegemoni mutlak dalam asupan karbohidrat masyarakat, selama itu pula komoditas tersebut akan rentan memunculkan prahara. Apalagi, data menunjukkan, produksi beras nasional sudah ngos-ngosan untuk mengimbangi kebutuhan yang terus meningkat.
Pada 2023, produksi beras tercatat sebanyak 30,89 juta ton, menurun dari produksi 2022 yang sebanyak 31,54 juta ton. Adapun kebutuhan rata-rata bulanan beras sekitar 2,6 juta ton (Kompas, 14/2/2024).
Ketika suplai sulit mengejar permintaan, solusi lain yang bisa ditempuh adalah memangkas permintaan. Salah satu caranya adalah melalui diversifikasi sumber karbohidrat masyarakat sehingga mengurangi ketergantungan pada beras.
Ide ini sebenarnya telah diapungkan sejak lama oleh berbagai kalangan, hanya saja tak pernah betul-betul diniatkan dan dijalankan secara masif. Pasalnya, begitu harga beras kembali stabil, urgensi menyebar sumber karbohidrat ini pun seketika lenyap.
Masyarakat juga seolah langsung lupa segala kesulitan akibat terlalu menggantungkan pangan pokok pada satu komoditas itu saja. Padahal, masyarakatlah yang memegang kunci solusi dari masalah ini.
Banyak alternatif
Dekan Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Eni Harmayani, Jumat (23/2/2024), mengatakan, kenaikan harga beras saat ini perlu digunakan sebagai momentum untuk mengembangkan diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat. Apalagi, Indonesia memiliki banyak alternatif pengganti beras sebagai sumber karbohidrat.
Pangan itu di antaranya singkong, jagung, ubi jalar, sorgum, talas, kentang, ketan, sukun, dan pisang. ”Semua itu relatif mudah tumbuh dan dibudidayakan di negara kita,” ujar Eni.
Namun, masalah terbesarnya, masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi nasi tiga kali sehari. Ungkapan ”belum makan kalau belum kena nasi” masih menjadi moto hidup banyak orang.
Padahal, kata Eni, diversifikasi sumber karbohidrat juga penting bagi tubuh manusia. Menggantungkan asupan karbohidrat pada satu sumber saja dalam jangka panjang dapat menimbulkan risiko penyakit degeneratif, seperti diabetes.
Dalam hal memangkas ketergantungan pada beras, diversifikasi karbohidrat akan mencegah gejolak harga saat terjadi kekurangan pasokan. Menurut Eni, dampaknya akan signifikan jika hal itu bisa terwujud.
Perhitungan sederhananya, jika setiap orang mengganti satu porsi makan nasinya per hari dengan sumber karbohidrat lain, kebutuhan beras nasional dapat dipangkas sepertiga atau 33 persen. Surplus beras itu kemudian dapat diekspor, yang akan menguntungkan bagi petani sekaligus menambah devisa negara.
Namun, dia mengakui, tak mudah mengubah kebiasaan makan masyarakat karena hal itu juga terkait dengan konstruksi sosial-budaya. Karena itu, pendekatannya harus dilakukan melalui strategi sosial-budaya pula. ”Harus ada program yang tersistematisasi untuk diversifikasi pangan,” ucapnya.
Dalam hal ini, DI Yogyakarta memiliki modal sosial besar untuk menyeimbangkan bandul sumber karbohidrat tersebut. Masyarakat DIY sudah sejak lama mengenal pangan-pangan pokok selain beras, terutama yang berbahan singkong.
Selain langsung digoreng, direbus, atau dikukus, singkong di DIY juga bisa diolah lanjutan menjadi makanan pokok berupa tiwul, gogik, sawut, atau growol. Bahkan, umbi-umbian itu dapat pula dibuat menjadi mi yang disebut mie lethek.
Peningkatan penjualan biasa terjadi setiap harga beras naik.
Kota Yogyakarta pun memiliki pasar khusus yang menjajakan singkong dan ubi jalar, yakni Pasar Telo Karangkajen di Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan. Telo artinya ketela atau singkong dalam bahasa Jawa.
Pasar ini merupakan simpul distribusi kedua komoditas palawija tersebut ke sejumlah pasar lain di Kota Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Pedagang-pedagang pengecer memperoleh pasokannya dari pasar yang berdiri sejak tahun 1857 itu.
Menurut Sudras (42), pedagang di Pasar Telo Karangkajen, saat ini dia bisa menjual sekitar 1,5 ton singkong per hari dari biasanya 1 ton per hari. Jumlah itu meningkat sejak Desember, saat harga beras mulai bergejolak.
”Banyak pedagang pengecer yang biasanya hanya beli 80 kilogram (kg) jadi 100 kg. Peningkatan penjualan biasa terjadi setiap harga beras naik,” ujarnya.
Hal ini mengindikasikan setidaknya sebagian warga sudah bisa beralih ke sumber karbohidrat selain beras. Harga singkong yang jauh di bawah beras menjadi ”insentif” utama peralihan itu.
Di Pasar Telo Karangkajen, singkong ukuran besar dibanderol Rp 4.000 per kg, sedangkan ukuran kecil Rp 3.000 per kg. Bahkan, ada pedagang yang menjual dengan rentang harga Rp 2.000-3.500 per kg, bergantung kualitas.
Namun, selain singkong dan ubi jalar, DIY juga kaya akan berbagai sumber pangan alternatif beras. Eni mengungkapkan, FTP UGM pernah melakukan survei dan menemukan setidaknya ada delapan jenis umbi-umbian lain yang masih dibudidayakan masyarakat di DIY.
Umbi-umbian itu di antaranya gembili, ganyong, garut, suweg, dan porang. Semua tanaman tersebut berpotensi menjadi bahan makanan alternatif selain beras. ”Tinggal bagaimana kita serius mengupayakannya,” katanya.
Namun, langkah yang tak kalah penting, menurut Eni, adalah mulai membiasakan masyarakat melakukan diversifikasi sumber karbohidrat tersebut. Hal ini, misalnya, bisa dilakukan melalui anjuran-anjuran di berbagai media atau contoh dari figur-figur panutan.
Selain itu, penting pula meningkatkan martabat pangan lokal yang kerap dipandang sebelah mata. ”Saat ini, anak-anak muda malah lebih mengenal makanan luar negeri ketimbang makanannya sendiri,” ujarnya.