Pangan Lokal, Masa Depan Kita
Pengetahuan lokal mengelola sumber pangan adaptif pada kondisi lingkungan jadi modal penting menghadapi perubahan iklim.
Hari Pangan Sedunia dirayakan pada Senin (16/10/2023) di tengah kesulitan air karena meningkatnya kejadian kekeringan dan banjir yang berdampak pada ketahanan pangan. Di Indonesia, El Nino menambah buruk tata kelola pangan, membuat harga beras yang jadi pangan pokok mencapai rekor tertinggi.
”Air adalah Kehidupan, Air ialah Makanan” menjadi tema Hari Pangan tahun ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga memberi pesan, ”Jangan tinggalkan siapa pun”, untuk menyoroti meningkatnya krisis ketersediaan air dan dampaknya bagi kelangsungan produksi pangan.
Tak bisa disanggah, air sangat penting bagi kehidupan di Bumi. Air menutupi sebagian besar permukaan Bumi, membentuk lebih dari 50 persen tubuh kita, menghasilkan makanan, dan mendukung penghidupan.
Volume air yang bisa dipakai untuk keperluan hidup manusia hanya sekitar 2,5 persen, berupa air tawar, dibandingkan total volume air di Bumi yang mayoritas asin dan tidak bisa dikonsumsi langsung. Dari sekitar 2,5 persen air tawar itu, sebagian besar disimpan sebagai gletser, lapisan es, dan pegunungan bersalju.
Baca juga : Darurat Kemandirian Pangan di Kepulauan
Jika dihitung lagi, hanya menyisakan 1 persen air bumi yang tersedia bagi kita untuk kebutuhan pasokan air sehari-hari. Air tawar itu berada di dalam tanah (akuifer), retakan batuan dasar di bawah tanah (air tanah), di danau, sungai, dan aliran air di permukaan bumi (air permukaan).
Dari 1 persen air tawar ini, 42 persen tersedot untuk produksi pertanian, 39 persen air tawar untuk keperluan industri seperti listrik, dan hanya 11 persen yang dipakai di permukiman, perkantoran, dan hotel, serta 8 persen sisanya digunakan dalam kegiatan manufaktur dan pertambangan.
Namun, lebih dari itu, keterhubungan air dengan kehidupan jauh melampaui susunan fisiologis kita. Air mendukung ekosistem, memengaruhi pola cuaca, dan menggerakkan proses geologis di planet ini.
Sebagai contoh, ketika suhu permukaan air Samudra Pasifik tropis lebih hangat dari biasanya, terjadilah El Nino, seperti saat ini. Pemanasan permukaan air ini meningkatkan pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah barat, termasuk Indonesia.
Anjloknya produksi beras di Indonesia di masa lalu hampir selalu berbarengan dengan fenomena El Nino. Tentu saja ada banyak faktor lain yang memengaruhi produksi beras ini. Namun, semakin tinggi anomali suhu permukaan lautnya, semakin kuat El Nino dan juga dampaknya.
Baca juga : Warisan Kolonial di Balik Peminggiran Budaya Pangan Lokal
Mengacu pada laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), El Nino 1997/1998 yang kuat menurunkan panen padi tahun 1998 di Indonesia sebesar 3,6 persen dibandingkan panen tahun 1997 dan 6 persen dibandingkan panen tahun 1996.
Hal ini terjadi akibat kekeringan terparah dalam dekade tersebut. Penurunan produksi padi juga terjadi selama terjadi El Nino kuat pada tahun 2015 dan awal 2016 akibat penurunan curah hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) memprediksi, salah satu dampak El Nino yang melanda tahun 2023 membuat produksi beras nasional berkurang 5 persen. Selain faktor tata kelola dan geopolitik global, penurunan produksi beras nasional ini memicu melonjaknya harga beras hingga mencapai rekor tertinggi.
Jelas kekeringan meteorologi mengacu pada kondisi kurangnya curah hujan dan jadi tantangan besar ketahanan pangan. Fenomena berkebalikan, yakni mendinginnya Samudra Pasifik tropis, akan menyebabkan La Nina yang memicu hujan lebih tinggi dan banjir, yang bisa merusak hasil panen.
La Nina berkepanjangan yang melanda pada 2020, 2021, hingga 2022, misalnya, berdampak pada sebagian komoditas pertanian, terutama tanaman tahunan yang terganggu perkembangannya. Fenomena La Nina juga memicu peningkatan curah hujan di berbagai wilayah, yang bisa menyebabkan banjir dan tanah longsor yang dapat merusak tanaman.
Adaptif iklim
Di tengah menguatnya krisis iklim, yang meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem, transformasi sistem pangan memerlukan upaya untuk mencari sumber pangan yang memiliki daya tahan baik terhadap tekanan air, baik kekurangan maupun kelebihan.
Pengetahuan lokal untuk mengelola sumber pangan yang adaptif pada kondisi lingkungan, termasuk yang beracun, jadi modal penting menghadapi perubahan iklim.
Tanaman pangan utama yang berbasis biji-bijian termasuk yang paling terancam pemanasan global. Studi Zhao di jurnal PNAS (2017), setiap kenaikan suhu global 1 derajat celsius menurunkan produksi gandum 6 persen, padi 3,2 persen, jagung 7,4 persen, dan kedelai 3,1 persen.
Para ilmuwan menyerukan agar kita mencari sumber pangan alternatif yang dianggap bisa lebih adaptif terhadap perubahan iklim.
Laporan di jurnal PLOS Climate pada Rabu (17/8/2022) menunjukkan, tanaman sukun (Artocarpus communis Forst) sangat cocok untuk tumbuh di daerah yang kering dan mengalami kerawanan pangan tingkat tinggi sehingga bisa menjadi bagian dari solusi untuk krisis pangan global.
Sukun hanya salah satu sumber tanaman di Indonesia. Seri liputan Kompas di pulau-pulau kecil Nusa Tenggara Timur, Mentawai, dan Sulawesi Tenggara, yang terbit sejak Senin (16/10/2023), menunjukkan Indonesia kaya beragam sumber pangan lokal lain yang rata-rata memiliki daya tahan yang baik terhadap iklim.
Sagu, misalnya, sangat tahan terhadap cekaman air, bahkan bisa tumbuh di lahan marjinal, seperti di rawa-rawa gambut dan dekat pantai. Selain itu, sagu juga memiliki produktivitas jauh lebih tinggi dibandingkan beras.
Laporan antropolog dari Universitas Leiden, Gerard Persoon (From Sago to Rice, 1992), menyebutkan, satu jam kerja orang Mentawai menghasilkan 2,6 kilogram sagu. Dalam kurun waktu yang sama, beras yang dihasilkan hanya 0,6 kilogram.
Baca juga : Candu Beras dan Mi Instan di Kepulauan
Sementara umbi-umbian lokal ditemukan di hampir semua wilayah kepulauan tahan kering. Sebagian sumber pangan ini beracun, seperti umbi gadung atau disebut kolope di Pulau Muna yang mengandung sianida. Namun, warga lokal memiliki cara menghilangkan racunnya agar aman dikonsumsi.
Di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, ada sejenis kacang koro kaya protein, disebut ippa, yang tahan kering dan amat beracun. Orang Lembata memiliki cara membersihkan racunnya, di antaranya dengan merendam di air laut.
Pengetahuan lokal untuk mengelola sumber pangan yang adaptif pada kondisi lingkungan, termasuk yang beracun, jadi modal penting menghadapi perubahan iklim yang menekan siklus air. Dengan demikian, kembali ke ragam sumber pangan dan budaya pangan lokal menjadi kunci ketahanan kita di masa depan.