Jurus Silat Mahasiswa Palangkaraya Kritisi Drama Pesta Demokrasi
Seruan moral dilayangkan mahasiswa di Palangkaraya terkait Pemilu 2024. Mereka prihatin terhadap rusaknya demokrasi.
Seruan moral dan kritik dari mahasiswa di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, soal Pemilu 2024 bermunculan. Aksi-aksi itu muncul sebagai bentuk keprihatinan soal drama pesta demokrasi yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Rabu (11/2/2024), puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Palangkaraya kembali melakukan aksi damai.
Digelar di Tugu Soekarno, kali ini ada yang berbeda saat aspirasi itu disampaikan. Pertunjukan silat disajikan dua mahasiswa, Krispinus Seran (20) dan Paskalis Saputra (23).
Baca juga: Gerakan Mahasiswa dan Akademisi Dianggap Bentuk Kegeraman atas Situasi Demokrasi
Krispinus mengenakan pakaian hitam-hitam dengan sabuk putih di pinggangnya. Ia mengenakan papan nama di dada dengan tulisan ”Demokrasi Indonesia”. Paskalis mengenakan pakaian serupa. Namun, papan namanya bertulisan ”Oligarki”.
Dalam pertunjukan itu, Krispinus beberapa kali kena bogem. Dia juga dibanting dan ditendang lawannya. Krispinus mencoba melawan. Namun, Paskalis terlalu kuat.
Akan tetapi, di tengah hantaman bertubi-tubi, semesta tidak meninggalkan Krispinus. Suara-suara dukungan sayup-sayup terdengar. Semua menjadi energi. Disalurkan lewat satu serangan telak, Paskalis kena batunya. Dia tumbang tak mampu lagi merundung.
Lebih dari sekadar hiburan di ujung aksi, mahasiswa menganggap momen itu adalah gambaran demokrasi Indonesia saat ini. Nasibnya babak belur di ujung tanduk dihajar oligarki.
Namun, bukan berarti, demokrasi tidak berdaya. Dukungan banyak pihak berpotensi membantu demokrasi menjungkalkan oligarki.
”Demokrasi bisa diselamatkan jika semua pihak menjalankan perannya baik-baik dan tidak melanggar etika, apalagi aturan,” kata Ketua Presidium PMKRI Cabang Palangkaraya Rahel Dewi Sartika.
Aksi tersebut, kata Rahel, dilakukan sebagai bentuk keprihatinan terhadap wajah pesta demokrasi yang rentan rusak. Majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, misalnya, dinilai sebagai pelanggaran.
Demokrasi bisa diselamatkan jika semua pihak menjalankan perannya baik-baik dan tidak melanggar etika, apalagi aturan.
”Apalagi, sudah jelas Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan ketua dan enam anggota KPU melanggar etik terkait tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden,” tutur Rahel.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir. Adapun enam anggota KPU dijatuhi sanksi peringatan keras, yakni M Afifuddin, Parsadaan Harahap, Betty Epsilon Idroos, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz. Putusan itu diberikan oleh DKPP.
Sanksi tersebut bukan pelanggaran etik pertama oleh para komisioner. Akhir Oktober 2023, Hasyim pernah dijatuhi sanksi peringatan keras dan enam komisioner lain dijatuhi sanksi peringatan. Mereka melanggar etik dalam penyusunan regulasi terkait perempuan bakal calon anggota legislatif.
Kemudian, awal April 2023, Hasyim juga pernah dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir karena melanggar prinsip profesional dan mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu dalam relasinya dengan Ketua Partai Republik Satu Hasnaeni (Kompas.id, 6 Februari 2024).
Meski Hasyim sudah pernah dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir, Heddy Lugito mengatakan, sanksi lebih berat tidak bisa dijatuhkan karena putusan DKPP tak bersifat akumulatif dan berbeda di setiap perkara.
Tak hanya PMKRI, organisasi kepemudaan lainnya juga melakukan aksi damai dengan seruan serupa. Dua hari sebelumnya, Jumat (9/2/2024), puluhan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) membuat empat poin sikap.
Swageri, koordinator lapangan aksi HMI sore itu, menyebut beberapa sikap mereka terhadap demokrasi yang berada di ujung tanduk. Pertama, mereka meminta Presiden RI untuk tidak menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye juga wewenangnya sebagai presiden.
Kedua, mereka meminta agar pemerintah menyelamatkan demokrasi dengan menghentikan segala bentuk kebijakan dan keputusan yang melanggar konstitusi, khususnya soal pemilu.
Ketiga, mereka juga meminta aparatur negara, termasuk Polri dan TNI, bersikap netral dan tidak memihak dalam momentum elektoral 2024. Terakhir, mereka mendesak akademisi dan kelompok intelektual untuk terlibat dalam menjaga demokrasi dari tirani kekuasaan.
”Kalau Presiden terbukti cawe-cawe atau menggunakan faslitas negara, kami akan turun aksi lagi dan meminta dia turun dari jabatannya,” kata Swageri.
Gelombang aksi mahasiswa Palangkaraya sambung-menyambung menyampaikan seruan moral mereka demi menyelamatkan demokrasi. Kritik pun dilontarkan terhadap praktik di pemerintahan yang ditengarai mencederai dan mengangkangi demokrasi. Mereka pun menyoal hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Tragedi Mei, antara Korsel dan Indonesia