Oase Kegusaran Perupa Papua
Pendekatan artistik menjadi ruang menyampaikan berbagai ketimpangan dan pergeseran di Papua kepada generasi muda.
Perubahan lanskap alam Papua dan kekayaan di dalamnya terus terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir. Hidupan liar dan masyarakat pedalaman di hutan pelan-pelan tergantikan dengan kendaraan berantai besi.
Masyarakat adat pun terpinggirkan. Masyarakat nyaris tidak percaya lagi akan kokohnya pohon di hutan yang memayungi dari terik matahari. Sebab, pohon-pohon itu dapat serta-merta ditumbangkan mesin penerbas.
Pengelolaan hutan adat sebagai sumber kehidupan masyarakat adat kian tak lagi sama. Kala hutan-hutan beralih fungsi, memori luka tersemat dalam benak.
Baca juga: Memompa Denyut Bahasa Sentani di Jantung Jayapura
”Ini kenyataan yang kitong (kita) lihat semua. Hutan dan air kitong ke mana? Sedih sekali. Ini terjadi karena hutan tidak bisa lagi kitong jaga,” kata Jenita Hilapok, perupa asal Wamena saat pembukaan pameran seni ”Bholuh: dari Tanah” di Jayapura, Papua, Rabu (31/1/2024).
Jenita merupakan 1 dari 10 perupa dari berbagai aliran, mulai dari lukisan, ukiran, hingga keramik yang menyatu dalam satu instalasi yang bertajuk ”Bholuh dari Tanah”. Bholuh yang dalam bahasa Sentani berarti bibit, menjadi simbol kemunculan perupa muda dari berbagai penjuru Papua.
Selain Jenita, perupa lainnya, yakni Geradus Pisa dan Fransiskus Para dari Asmat, George Deda dan Toni Flobetauw dari Sentani, Kostan Korneles Rumbrawer dan Samuel Wabdaron dari Biak, serta Eliyas Hindom dari Fakfak dan Yulyanus Wabia dari Manokwari.
Baca juga: nyaman Ketulusan dan Solidaritas ”Mama Pasar Papua”
Lewat kesatuan instalasi tersebut, kesepuluh perupa ini menuangkan dinamika terjadi di sekitarnya dengan pendekatan artistik. Merekam berbagai kondisi dalam puluhan tahun terakhir di berbagai aspek, mulai dari ketimpangan kondisi ekonomi, politik, sosial budaya, hingga kerusakan ekologi.
Sebanyak apa pun hal lain datang di tanah ini, nilai dari kekayaan budaya kitong tidak akan pernah digantikan dengan budaya lain.
Pada satu bagian lain, Jenita menunjukkan instalasi kepala manusia tanpa badan menghadap tumpukan buku. Instalasi ini sebagai pesan, kebudayaan Papua yang semakin mengalami kemunduran. Beberapa bahasa ibu di Papua telah punah. Ratusan bahasa ibu lainnya terancam punah karena generasi muda kian enggan bertutur.
”Banyak hal yang memengaruhi, termasuk modernisasi yang semakin cepat dalam berbagai aspek dan kitong tidak bisa imbangi,” tutur Jelita.
Baca Juga: Menjaga Hutan, Menyelamatkan Kehidupan Orang Papua
Perupa lainnya, Eliyas Hindom, menunjukkan karya instalasi tentang pergeseran dalam tatanan kehidupan lokal masyarakat Papua. Berbagai kebijakan pemerintah yang kontraproduktif justru menjadi pemicu derita bagi masyarakat Papua di tanahnya sendiri.
Salah satunya, pergeseran pemanfaatan pangan lokal. Eliyas menunjukkan instalasi dari akar-akar pohon dan kulit kayu yang dibuat menyerupai mi instan. Hutan yang dahulu banyak ditumbuhi pangan lokal telah berubah karena berbagai kebijakan.
Demi memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat dikenalkan pada makanan yang lebih praktis. Kepraktisan dari mi instan, kata Eliyas, turut mengubah pola makan generasi muda Papua. Mereka menjadi tidak terbiasa lagi mengonsumsi berbagai jenis pangan lokal,
Baca juga: Survei ”Kompas”: Beras dan Mi Instan Membelenggu Keberlangsungan Pangan Papua
Ungkapan Elyas ini juga dipotret Kompas yang menunjukkan mi instan dan nasi menggeser pangan lokal seperti sagu. Pada survei November 2022, di kampung adat di Zanegi dan Baad, Kabupaten Merauke, terdapat 5 dari 10 warga yang makan mi setiap hari. Separuh responden lainnya mengaku makan mi antara 1 dan 6 kali dalam seminggu. Selanjutnya, khusus untuk konsumsi sagu di kedua kampung itu tergolong sangat rendah, hanya 3 dari 10 warga yang makan pangan lokal tersebut.
”Padahal, pangan lokal kitong itu jauh lebih sehat daripada makanan yang serba instan tadi,” ujarnya.
Pada bagian lain, Elyas juga menunjukkan, instalasi tombak yang tertancap pada batang pohon. Ini menjadi gambaran konflik sosial di Papua yang semakin sering terjadi. Ketimpangan perhatian yang kerap menghadirkan konflik horizontal sesama masyarakat adat.
”Bisa kita saksikan, selama ini berbagai jenis bantuan dan pembangunan sering menghadirkan konflik horizontal karena keadilaan itu tidak dirasakan oleh semua pihak,” ujar Eliyas.
Harapan
Namun, di balik kegusaran ini, kata Eliyas, tetap ada harapan yang perlu disongsong. Salah satu sudut instalasi menunjukkan sebuah cermin yang berdampingan berbagai alat kebudayaan suku-suku di Papua.
Menurut Eliyas, semua hal yang tampak di cermin merupakan gambaran nyata yang tidak dimanipulasi. Dengan begitu, generasi muda Papua saat ini sebagai pewaris kebudayaan yang ada, mengemban tugas mempertahankannya.
”Sebanyak apa pun hal lain datang di tanah ini, nilai dari kekayaan budaya kitong tidak akan pernah digantikan dengan budaya lain,” katanya.
Optimisme itu pun ikut tergambar pada instalasi sayap dan akar pohon. Sayap menjadi simbol kebebasan bagi anak Papua untuk terus berkarya. Sementara, akar pohon yang merambat menjadi simbol harapan yang ada di hadapan.
Baca juga: Papua di Antara Beragam Kepentingan
Kurator pameran, Dicky Takndare, mengungkapkan, pameran bholuh menjadi oase melahirkan bibit-bibit perupa muda di tanah Papua. Pendekatan artistik menjadi media efektif menampilkan dinamika yang terjadi di Papua kepada generasi muda.
Para perupa muda ini datang dari kalangan suku dan aliran seni yang berbeda. Mereka juga dibimbing oleh seniman yang dianggap sebagai orangtua adat di Papua, seperti Regina Bay, Agus Ongge, Yusuf Ohee, Niko Makanuay, serta Denis Koibur.
Hutan membentang terlihat dari pesawat tujuan Wamena-Jayapura, Papua, Rabu (11/12/2018).
”Berbagai proses dilalui mulai berguru kepada para orangtua, berdiskusi, hingga ke tahap produksi dan pameran,” ujar Dicky.
Dicky mengungkapkan, semangat dan potensi seni di Papua perlu terus digali untuk melahirkan bholuh-bholuh baru di bidang seni rupa. Bibit baru tersebut masih terkubur di tengah berbagai dinamika yang terus terjadi di tanah Papua.