Origenes Monim, Menjaga Daya Hidup Kebudayaan Sentani
Pengenalan kebudayaan Sentani secara intens kepada generasi muda akan menjaga daya hidup kekayaan lokal.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
Senyum ceria Origenes Monim (48) menjadi sambutan hangat di dermaga kecil rumahnya di tepian Danau Sentani, Kampung Hobong, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (25/1/2024). Sore itu, ia tengah melanjutkan pengerjaan bangunan sebuah galeri seni, tepat di samping rumahnya.
Pendirian galeri seni ini menjadi bagian dari ikhtiar panjang Monim menjaga daya hidup kebudayaan Sentani yang mulai meredup. Perjalanan merawat kekayaan lokal tidak terlepas dari kekhawatiran Monim atas fenomena yang terjadi di sekitarnya.
”Contoh yang paling mencolok seperti dalam penggunaan bahasa Sentani. Penggunaannya hanya terbatas pada generasi saya. Untuk generasi di bawahnya, ada yang sekadar paham, ada pula yang tidak paham sama sekali,” ujar Monim.
Monim merasa khawatir dengan pergeseran kebiasaan yang membuat penggunaan bahasa Sentani kian terpinggirkan. Padahal, kawasan Danau Sentani sebagai pusat peradaban Sentani seharusnya menjadi pewaris dan penjaga kekayaan kebudayaan yang ada.
Balai Bahasa Papua mengelompokkan bahasa Sentani dalam rumpun bahasa non-Austronesia. Pengelompokan ini ditujukan pada bahasa yang digunakan di wilayah pedalaman dan pegunungan Papua. Sementara bahasa lokal di pesisir Papua dikategorikan sebagai bahasa Austronesia.
Bahasa Sentani diyakini masih dituturkan oleh 25.000-30.000 orang suku asli. Mereka tinggal pada empat distrik di Danau Sentani, yakni Sentani, Sentani Timur, Ebungfauw, dan Waibu. Dengan penutur yang semakin berkuang, bahasa ibu ini dikategorikan mengalami kemunduran.
”Bahasa itu hanya menjadi contoh kecil. Bagaimana dengan kebudayaan lain? Dengan sekolah adat ini, saya berharap semua elemen kebudayaan lain bisa terus didokumentasikan dan hidup dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya.
Sejak kecil, Monim tumbuh di lingkungan yang menghargai dan merawat kebudayaan Sentani. Kakeknya merupakan pemahat yang biasa menghasilkan karya, seperti patung kayu atau alat musik tifa.
Tidak heran sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia juga sudah mahir memahat. Monim banyak memahat patung kayu membentuk figur-figur manusia. Patung-patung ini biasanya dijual kepada para pelancong di kawasan Pantai Hamadi, Kota Jayapura.
Mempelajari budaya itu bisa dilakukan siapa saja. Kendati kamu berbeda, kamu akan tetap bisa mempelajari budaya siapa pun. Dengan begitu, kamu akan bisa menempatkan diri di mana pun.
Kegiatan ini tak pernah sekali pun ditinggalkan hingga Monim tumbuh dewasa. Ia tetap memahat di tengah kesibukannya mengenyam kuliah di Jurusan Planologi Sekolah Tinggi Teknik Jayapura (kini Universitas Sains dan Teknologi Jayapura) pada 1999-2004.
Setelah lulus kuliah dan diangkat menjadi pegawai negeri sipil di lingkup Pemerintah Kabupaten Jayapura pada 2006, Monim mulai membuka sanggar seni.
”Tapi, kan, sanggar hanya bersifat seremonial serta hanya sedikit orang yang terlibat. Setelah itu, saya memikirkan membuat wadah yang bisa mengajak lebih banyak orang,” ucapnya.
Pada 2016, Monim menginisiasi pendirian Sekolah Adat Sentani, tepat di samping rumahnya. Bangunan sekolah yang berada di atas Danau Sentani tersebut menjadi tempat bagi anak Papua belajar berbagai kebudayaan Sentani, mulai dari bahasa, seni memahat, menganyam noken, menari, hingga memasak masakan lokal.
Pada 2019, empat distrik di Kabupaten Jayapura, yakni Sentani, Waibu, Sentani Barat, dan Ravenirara, diterpa banjir bandang. Debit air danau yang meluap saat itu turut serta membuat bangunan Sekolah Adat Sentani hancur.
Musibah banjir itu seakan menjadi penjeda berbagai aktivitas di Jayapura. Semua orang fokus pada upaya pemulihan pascabanjir besar yang ikut menelan lebih dari 100 korban jiwa itu.
Dengan kondisi tersebut, aktivitas di Sekolah Adat Sentani ikut vakum hingga beberapa tahun. Monim tidak patah semangat. Pelan-pelan ia mendirikan bangunan fisik sekolah tersebut.
Momentum akhirnya datang pada 2021 saat Pemerintah Kabupaten Jayapura menawarkan program kemitraan dengan Sekolah Adat Sentani. Metode pembelajaran di sekolah adat diadopsi menjadi kurikulum resmi di 54 sekolah dasar di Kabupaten Jayapura.
Adapun hingga 2024, kurikulum sekolah adat telah menjangkau 141 sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA di Kabupaten Jayapura. Bahkan, kurikulum ini juga menjangkau peserta didik dan tenaga pengajar dari luar suku asli Sentani.
”Mempelajari budaya itu bisa dilakukan siapa saja. Kendati kamu berbeda, kamu akan tetap bisa mempelajari budaya siapa pun. Dengan begitu, kamu akan bisa menempatkan diri di mana pun,” tuturnya.
Monim menyebutkan, pembelajaran dan pengenalan kebudayaan Sentani perlu dilakukan secara intens dari berbagai jenjang pendidikan. Ia berpandangan, pemberian materi secara berulang, dari tingkat dasar hingga atas, akan semakin merawat pengetahuan anak akan kebudayaannya.
”Ketika kebiasaan pelajaran itu diterima terus-menerus, mereka semakin terbiasa dan kenal. Dengan begitu, apa yang mereka pelajari akan menyatu dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Selain itu, ia kini fokus menyelesaikan pengerjaan galeri seni yang akan menjadi etalase berbagai benda kebudayaan suku Sentani. Pengerjaan yang ditargetkan rampung pada pertengahan 2024 ini sekaligus akan menjadi wadah edukasi kekayaan kebudayaan Sentani.
Monim berharap, berbagai ikhtiar yang telah dilakukan akan menjadi fondasi kuat menjaga daya hidup kebudayaan lokal. Ke depan, fondasi akan membentuk ekosistem yang semakin bertumbuh. Dengan demikian, kata Monim optimistis, kebudayaan lokal itu tidak akan pernah punah.
Origenes Monim
Lahir: Sentani, 8 November 1975
Istri: Maria Lali (39)
Pendidikan: S-1 Planologi Sekolah Tinggi Teknik Jayapura, Kota Jayapura (1999-2004)