Memompa Denyut Bahasa Sentani di Jantung Jayapura
Pendekatan lokal dapat menghidupkan lagi bahasa Sentani yang semakin kehilangan penutur mudanya.
Rutinitas warga hilir mudik dengan perahu menjadi pemandangan sepanjang hari di pesisir Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Danau ini menjadi denyut nadi aktivitas masyarakat, mulai dari nelayan mencari ikan, kaum ibu pergi ke pasar, hingga anak-anak berangkat ke sekolah.
Kamis (25/1/2024) pagi, Alfred Taime (52) memacu perahu fibernya mengantar sejumlah penumpang dari pesisir danau menuju pulau seberang di Kampung Hobong. Moda transportasi ini menjadi andalan warga di pulau yang berjarak 400 meter dari Danau Sentani.
”Rene foi,” ucap warga Kampung Ifar Besar, Distrik Sentani, itu saat berpapasan dengan nelayan yang tengah memancing di danau. Artinya, selamat pagi.
Baca juga: 59 Bahasa Daerah Akan Direvitalisasi
Perjalanan selama enam menit semakin terasa singkat sembari mendengarkan Alfred berguyon dalam bahasa lokal. Canda tawa saling bersahut dari para penumpang.
Di sekitar dermaga, anak-anak SDN Inpres Siboi-boi dan SMP Swadaya Kampung Hobong telah bersiap menyambut guru dan siswa lain datang. Kendati terletak di pulau kecil, dua sekolah di Kampung Hobong ini menjadi lokasi menimba ilmu bagi anak-anak dari tiga kampung di sekitar di kawasan itu, Hobong, Ifale, dan Ifar Besar.
Sembari menunggu jadwal pelajaran, anak-anak bermain dan bernyanyi di halaman sekolah. Musik dan tarian telah lama menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Papua. Biasanya lantunan pop melayu Indonesia timur mereka nyanyikan.
Ada pula anak-anak di tingkat SMP tengah bercengkrama di sudut sekolah. Tampak salah satu dari mereka memimpin rekan-rekannya bercerita. Anak-anak lain turut menyaksikan.
Baca juga: Papua Terapkan Kurikulum Bahasa Ibu
Dari seluruh interaksi ini jarang terdengar bahasa lokal dituturkan. Bahasa Sentani kini nyaris lenyap dari percakapan anak-anak muda. Bahkan, bahasa Sentani diyakini tidak lagi dituturkan secara luas di kawasan danau itu.
Padahal, kawasan ini dianggap sebagai lokasi awal kebudayaan suku Sentani berkembang sejak masa awal peradaban. Bahasa Sentani kini hanya dituturkan para orang tua.
Balai Bahasa Papua mengelompokkan bahasa Sentani dalam rumpun bahasa non-Austronesia. Pengelompokan ini ditujukan pada bahasa yang digunakan di wilayah pedalaman dan pegunungan Papua. Sementara bahasa lokal di pesisir Papua dikategorikan sebagai bahasa Austronesia.
Bahasa Sentani diyakini masih dituturkan oleh 25.000-30.000 orang suku asli. Mereka tinggal pada empat distrik di Danau Sentani, meliputi Sentani, Sentani Timur, Ebungfauw, dan Waibu.
Eduard (12), misalnya, siswa kelas VI SD, mengaku tak bisa berbahasa Sentani. Ia bahkan kesulitan melafalkan hitungan 1-10 dalam bahasa lokal tersebut. Eduard hanya mengetahui beberapa kosakata.
Ketika kebiasaan pelajaran itu diterima terus-menerus, mereka semakin terbiasa. Dengan begitu akan menjadi kebiasaan serta menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, Alfons (16) juga mengalami kesulitan serupa. Sejatinya ia mempunyai perbendaharaan kata yang lumayan banyak. Namun, dia kesulitan merangkai kata dan membentuk kalimat utuh.
”Kalau dengar orang bicara (bahasa Sentani) sebenarnya tidak paham utuh. Cuma karena tahu kata-katanya jadi bisa sedikit paham artinya,” ucap Alfons.
Baca juga: Tiga Tahun Terakhir, Ada 11 Bahasa Daerah di Nusantara Punah
Pergeseran kebiasaan
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan peneliti Balai Bahasa Papua, Yohanis Sanjoko. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan daerah dengan masyarakat yang semakin heterogen turut menciptakan pergeseran kebiasaan. Belum lagi, perkawinan silang dengan orang non-suku Sentani turut memengaruhi penggunaan bahasa.
Danau Sentani cukup dekat dari pusat kota Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, sehingga membuat interaksi dengan orang luar semakin intens pula. Masyarakat pun semakin heterogen.
”Bahasa Melayu-Papua menjadi jalan tengah sebagai bahasa sehari-hari,” ujar Yohanis.
Sayangnya, hal ini yang membuat bahasa Sentani yang semakin terpinggirkan, seakan sulit dibendung. Keluarga yang seharusnya menjadi penjaga bahasa ibu ini justru turut larut dalam penggunaan bahasa Melayu-Papua di lingkungan rumah tangga.
Jurang besar penggunaan bahasa lokal di lintas generasi ini sehingga membuat Balai Bahasa mengategorikan bahasa Sentani mengalami kemunduran. Kondisi dalam bahasa terbagi atas kategori aman, stabil, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah.
Kategori ini tidak terlepas dari sikap tidak positif dari penutur bahasa Sentani. Umumnya, para penutur muda, dengan usia 20 tahun ke bawah, hanya paham, tetapi tidak fasih dalam penuturan bahasa daerah. Bahkan, anak-anak cenderung tidak lagi mengenali bahasa daerahnya.
Di sisi lain, bahasa Sentani dengan karakteristik yang khas turut menjadi tantangan. ”Jika pada umumnya bentuk kalimat dasar tersusun dari subyek-predikat-obyek, dalam bahasa Sentani yang merupakan rumpun bahasa non-Austronesia sedikit berbeda dengan susunan subyek-predikat-obyek. Ini juga memengaruhi tingkat kesulitan mempelajari bahasa ini,” kata Yohanis.
Baca juga: Kabupaten Jayapura Terapkan Pembelajaran Bahasa Daerah Berbasis Adat di 141 Sekolah
Pendekatan lokal
Dengan situasi-situasi seperti ini, Balai Bahasa menyusun sejumlah upaya untuk mengenalkan kekayaan budaya kepada penutur muda. Hal ini menjadi ikhtiar agar bahasa yang mengalami kemunduran terhindar dari kepunahan.
Saat ini ada 428 bahasa daerah yang hidup dan tersebar di wilayah Papua. Angka ini berarti sekitar 60 persen dari 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Riset terakhir menunjukkan, dua bahasa daerah Papua, Tandia dan Maes, telah dinyatakan punah.
Sejak 2021, semangat menjaga bahasa digaungkan lewat Merdeka Belajar. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Balai Bahasa mengintervensi pendidikan bahasa daerah di lembaga pendidikan formal.
Di Kabupaten Jayapura, Balai Bahasa bermitra dengan pemerintah daerah setempat melalui sekolah adat yang dirintis oleh pegiat adat Sentani, Origenes Monim. Program revitalisasi bahasa yang masuk dalam kurikulum pendidikan diajarkan lebih fleksibel, mulai dalam bentuk cerita, tarian, nyanyian rakyat, serta mop Papua atau komedi tunggal.
Monim menyebut, sejatinya program sekolah adat yang dirintisnya telah berdiri sejak 2016. Kolaborasi dan dukungan Pemerintah Kabupaten Jayapura akhirnya membuat pengenalan kebudayaan Sentani dengan pendekatan lebih fleksibel diformalkan.
”Karena basic saya adalah seorang pemahat, saya memperkenalkan kebudayaan Sentani melalui pahatan, seperti tifa, alat makan tradisional, hingga perlengkapan tari lainnya. Selain itu, di sekolah adat juga berfokus pada pengenalan kekayaan lain, seperti tarian dan nyanyian rakyat,” ujar Monim.
Baca juga: Penutur Muda Diperbanyak untuk Mencegah Kemunduran Bahasa Daerah di Papua
Tarian, nyanyian, hingga mop Papua dapat menjadi media efektif mengenalkan bahasa Sentani. Budaya ini melekat dalam kehidupan masyarakat lokal. Budaya menyanyi dan menari di atas perahu di Danau Sentani masih dipertahankan hingga kini oleh masyarakat setempat.
Bentuk-bentuk kesenian lokal ini masuk kurikulum muatan lokal yang saat ini telah menjangkau 141 sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA di Kabupaten Jayapura. Setiap akhir tahun pula akan diselenggarakan Festival Tunas Bahasa Ibu di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
Dengan modul pembelajaran yang serupa di berbagai tingkatan, Monim berharap bahasa serta kebudayaan Sentani bisa dipahami berkelanjutan. Tidak hanya oleh suku Sentani sendiri, tetapi juga pendatang.
”Ketika kebiasaan pelajaran itu diterima terus-menerus, mereka semakin terbiasa. Dengan begitu ini akan menjadi kebiasaan serta menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Saya meyakini bahasa ini tidak akan pernah punah,” ucapnya penuh optimistis.