Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menemukan bahwa semua bahasa daerah mengalami kemunduran. Revitalisasi bahasa daerah pun mesti dilakukan. Tahun ini, ada 59 bahasa daerah yang akan direvitalisasi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung menggelar aksi dengan membawa poster yang berarti Jangan Malu Berbicara Menggunakan Bahasa Sunda saat peringatan Hari Bahasa Ibu di tepi Jalan Diponegoro, Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/2/2012). Momentum peringatan Hari Bahasa Ibu ini dijadikan sarana ajakan untuk tidak melupakan dan tetap melestarikan bahasa daerah, seperti bahasa Sunda sebagai bahasa daerah setempat, kepada generasi muda.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 59 bahasa daerah di 22 provinsi akan direvitalisasi pada 2023. Revitalisasi menyasar generasi muda, khususnya siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, serta melibatkan pihak sekolah, pegiat bahasa daerah, dan pemerintah daerah. Revitalisasi dilakukan agar bahasa daerah tidak punah.
Program Revitalisasi Bahasa Daerah diinisiasi pada 2021 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pada 2021, program tersebut baru mencakup tiga provinsi dan lima bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa, Sunda, Makassar, Toraja, dan Bugis.
”Kelimanya tampak seperti bahasa besar. Namun, tidak ada jaminan bahasa itu tidak akan mengalami kemunduran. Sebab, semua bahasa ibu di dunia mengalami kemunduran,” ujar Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek Endang Aminudin Aziz, dalam taklimat media Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional, di Jakarta, Senin (13/2/2023).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana taklimat media yang diadakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Jakarta, Senin (13/2/2023). Mereka menyebutkan bahwa ada 59 bahasa daerah di 22 provinsi yang akan direvitalisasi pada 2023, seperti bahasa Gayo (Aceh), Bulungan (Kalimantan Utara), Bakumpai (Kalimantan Selatan), Ogan (Sumatera Selatan), dan Enggano (Bengkulu).
Pada 2022, cakupan program bertambah menjadi 30 bahasa daerah di 13 provinsi. Beberapa bahasa daerah yang direvitalisasi kala itu meliputi bahasa Kenyah (Kalimantan Timur), Maanyan (Kalimantan Tengah), Yamdena (Maluku), Tobelo (Maluku Utara), Kamoro (Papua), Mbojo (Nusa Tenggara Barat), dan Melayu dialek Panai (Sumatera Utara).
Pada 2023, program revitalisasi dilakukan terhadap 59 bahasa daerah di 22 provinsi. Beberapa di antaranya adalah bahasa Gayo (Aceh), Bulungan (Kalimantan Utara), Bakumpai (Kalimantan Selatan), Ogan (Sumatera Selatan), Enggano (Bengkulu), Lampung (Lampung), Jawa dialek Jawa Timur (Jawa Timur), Pamona (Sulawesi Tengah), serta Moi dan Sough (Papua Barat).
Semua bahasa ibu di dunia mengalami kemunduran.
Revitalisasi akan dilakukan antara lain dengan menyusun model pembelajaran bahasa daerah di masing-masing daerah. Model pembelajaran tidak antardaerah tidak bisa disamakan karena kondisi masing-masing bahasa daerah berbeda.
Guru juga akan diberi pelatihan dan kebebasan memilih bahan mengajar sesuai dengan minat siswa. Selain guru, pegiat bahasa daerah juga akan dilibatkan sebagai narasumber dalam proses belajar.
Adapun penggunaan bahasa daerah atau bahasa ibu dapat membantu siswa pendidikan anak usia dini (PAUD) dan kelas-kelas awal sekolah dasar (SD) untuk memahami konsep pembelajaran. Berdasarkan data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), 50 persen siswa di dunia putus sekolah karena tidak paham pelajaran. Sebab, mereka dipaksa langsung menggunakan bahasa nasional yang tidak mereka kuasai dengan baik (Kompas.id, 21/3/2019).
Kemunduran
Revitalisasi dinilai penting untuk menjaga vitalitas bahasa daerah. Pada 2021, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengkaji 24 bahasa daerah. Hasilnya, semua bahasa daerah yang dikaji mengalami kemunduran. Bahasa yang semula kondisinya aman menjadi terancam punah, sementara bahasa yang kondisinya kritis menjadi semakin kritis. Walakin, tidak ada bahasa daerah yang punah.
Endang mengatakan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ada 76 persen penduduk Indonesia yang masih menggunakan bahasa daerah di lingkup keluarga. Sebagian lainnya menggunakan bahasa Indonesia atau asing.
”Ada dua golongan utama yang paling sedikit menggunakan bahasa daerah, yaitu generasi Z dan generasi pasca-Z,” kata Endang. ”Semakin tidak direvitalisasi, bahasa daerah akan semakin cepat punah. Itu sebabnya pola pikir generasi muda perlu dibenahi agar senang bicara dalam bahasa daerah,” ujarnya menambahkan.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Guru kelas II, Maria Yasinta Mau Ghari, tengah memberikan materi kepada anak didiknya dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar Inpres Wudu di Kelurahan Rega, Boawe, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, Kamis (9/2/2023). Guru yang mengajar siswa kelas I sampai III di SD Inpres Wudu menggunakan pendekatan bahasa ibu untuk meningkatkan literasi siswa.
Menurut Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Imam Budi Utomo, ada dua faktor utama bahasa daerah jarang digunakan. Pertama, faktor eksternal, seperti urbanisasi, globalisasi, perkawinan campur, ataupun bencana yang mengakibatkan kematian penutur bahasa daerah. Kedua, faktor internal, seperti sikap bahasa.
”Sikap bahasa itu, misalnya, yang menganggap bahasa daerah tidak keren. Generasi muda agar diajarkan bahwa menggunakan bahasa daerah juga keren. Ada banyak orang luar negeri yang menggunakan bahasa daerah mereka,” tutur Imam.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, bahasa daerah adalah bagian dari identitas dan kekayaan bangsa serta kebinekaan. ”Kalau bahasa daerah punah, kita kehilangan identitas, kebinekaan, dan kearifan lokal. Kita mesti buktikan komitmen menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahan dengan karya nyata berupa program Revitalisasi Bahasa Daerah,” katanya (Kompas, 23/2/2023).